Enam

839 70 13
                                    

Hari ini aku pergi kepasar bersama Eren. Ia diberi tugas untuk membeli beberapa bahan makanan oleh staf dapur. Aku memilih ikut dengan niat membangun hubungan pertemanan dan kepercayaan dengan pria manis itu.

Soal uang, Erwin memberiku banyak sekali koin emas pagi tadi. Katanya untuk berjaga siapa tahu aku ingin berbelanja berbagai macam keperluan. Aku mengangguk saja, lagi pula uang-uang itu cukup berguna untukku bersenang senang.

"Ayo beli itu" kata Eren seraya menggengam tanganku erat. Biar tidak hilang katanya, mengingat pasar luar biasa ramai pagi hari. Pria Jaeger itu menunjuk pada pedagang yang tengah menawarkan daging panggang yang dipotong kecil-kecil dengan saus madu dan bumbu yang baunya membuatku meneguk ludah.

"Apa itu namanya?" tanyaku pada Eren yang sudah memesan. Di berikannya satu tusuk padaku yang kuterima dengan senang hati.

"Entahlah, ini juga pertama kalinya aku membeli" kata Eren seraya membayar makanan kami. "Ayo jalan lagi"

Aku mengangguk dan memilih mengikuti.

"Apa yang harus kita beli pertama?" tanyaku pada Eren yang mulai menarik daging terakhirnya dari tusukan menggunakan gigi. Ada noda saus dipipi putihnya. Astaga, anak ini lucu sekali.

"Ayo cari kentang disana" kata Eren seraya menunjuk sebuah kios sayur dengan jari. "Biasanya aku beli disana, dan mereka memberi diskon khusus untuk orang-orang kita"

Aku mengangguk saja, agak risih sebenarnya dengan noda di pipi Eren yang membuatnya nampak seperti anak kecil. Kuraih sapu tangan dari saku, lalu ku berikan pada pria itu. Bukannya mengambil sapu tangannya, Eren malah menatapku bingung.

"Ada saus, dipipimu" kataku seraya mengunyah daging terakhirku. Eren tersenyum, malah menggunakan sapu tangan itu untuk mengusap pipiku.

"Dipipimu juga ada saus" Kata Eren seraya tersenyum.

Sial. Pipiku panas sekali.

Eren mencubit pipiku gemas, tidak sakit tapi cukup membuat pipiku semakin panas. Ku tepis pelan tangannya dari pipiku lalu berbalik. Melangkah lebih dulu kearah kios yang sejak tadi memang hendak kami tuju dengan menahan malu.

Rasanya ingin menghilang saja.
***

Setelah urusan kami selesai, Eren mengajak kami mampir sebentar disebuah kedai. Kebetulan sekali, mengingat ini sudah tengah hari dan perutku keroncongan minta diisi. Eren meninggalkan aku sendirian yang baru memesan minuman, karena ia harus mencari kereta kuda untuk kami pulang mengingat barang yang kami beli cukup lumayan banyak dan berat. Aku menatap sekitar, mendapati beberapa aksesori yang dijual pula di kedai itu.

"Apa yang kamu lihat?" kata Eren sembari duduk dikursi tepat dihadapanku. Aku reflek menoleh, lalu menunjuk salah satu aksesoris disana.

"Gelang itu, nampak bagus sekali"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gelang itu, nampak bagus sekali"

Eren mengangguk setuju, entah mengapa pipinya nampak tersipu. Mungkin gara gara ia baru saja terkena panas matahari tadi.

"Nanti kita beli. Sekarang ayo makan" kata Eren seraya mengambil buku resep.

Kami memesan beberapa daging dan dessert. Memakannya perlahan seraya berbincang. Sesekali membicarakan orang-orang. Siapa sangka, mengobrol dengan Eren akan semenyenangkan ini.

Setelah isi piring kami tandas, kami pun bergegas menuju karsir. Eren membelikan dua buah gelang satu warna hitam satu lagi warna biru muda, selain itu ia juga membelikan kalung untuk Mikasa. Untuk oleh-oleh katanya.

"Padahal aku punya uang untuk beli sendiri"

"tidak masalah" kata Eren setelah membayar gelang dan makanan yang kami beli "Anggap saja tanda pertemanan"

"Terimakasih"

Eren tersenyum, dielusnya rambutku pelan. "Ayo cepat, kereta kudanya sudah menunggu"

Aku hanya mengangguk
***
Perjalanan menggunakan kereta kuda ternyata melelahkan sekali. Belum lagi setelah sampai, aku langsung disambut dengan celotehan Levi yang isinya adalah ceramah tentang kebersihan.

Kadang aku heran, mengapa orang orang bilang Levi itu pendiam.

Akhirnya akupun berakhir disini. Didepan tumpukan dokumen di ruang kerja Erwin.

"Kenapa aku harus mengerjakan ini?"

"Permintaan Levi. Lagi pula tak ada salahnya anda belajar administrasi"

"Tidak mau Erwin. Ini sulit, kepalaku pening. Coba liat, tulisannya rapat-rapat, bahasanya juga baku sekali. Aku tidak mau"

Erwin terkekeh pelan. Padahal aku tidak tahu bagian mana dari perkataanku yang lucu. Aku serius merasa pening melihat tumpukan laporan yang menggunung.

Hebat sekali mereka yang bekerja di bidang administrasi.

"Maaf ya, tapi saat ini saya kekurangan orang yang bisa dipercaya untuk membantu saya mengurus ini. Sebenarnya ini sudah dibagi dengan yang lain"

Aku menghela napas, berakhir mengangguk. Bagaimanapun aku tidak tega pada Erwin, apalagi ketika melihat bawah matanya yang menghitam. Mungkin tidak ada salahnya membantu disini, sekalian mengumpulkan informasi.

Aku mulai memilah dokumen, memberikan cap jika diperlukan. Masalah tanda tangan, ku berikan pada Erwin. Meskipun aku sendiri bisa menirunya. Bagaimanapun itu termasuk tindakan ilegal.

Kebanyakan disini adalah laporan mengenai keadaan dinding yang semakin rawan. Banyak titan yang bisa menerobos masuk padahal dinding tidak sedikitpun berlubang. Jika perkiraanku benar, aku harus bergerak lebih cepat dari sekarang.

"Erwin--"

"Iya?"

"Kalau ku bilang titan itu manusia seperti kita, apa yang akan kamu lakukan?"

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Believe Me Levi! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang