Oleh : Wilarwigen#BERITA PAGI HARI#
"Pak, Pakne! Ini sarapannya," kata Marini sambil menenteng rantang di tangan kanan. Sementara tangan kiri membawa ceret berisi teh panas yang langsung dicampur dengan gula pasir. Ia berjalan menghampiri Purnomo, suaminya yang sedang merapikan galengan sawah
Purnomo menghentikan cangkulannya sebentar begitu mendengar suara istrinya yang memanggil. Lalu kembali menekuni pekerjaannya. Pagi itu masih pukul tujuh seperempat tapi suasana di sawah sudah cukup terik. Hamparan sawah masih kosong dari tanaman pokok seperti padi ataupun jagung. Yang ada hanya beberapa pohon pisang di tepi galengan sawah yang berbatasan dengan tersier
Tersier adalah jalan air yang memang khusus dibangun untuk kepentingan para petani. Namun di awal musim kemarau ini aliran airnya tidak bisa lancar seperti biasanya. Sawah di petak 03 milik Purnomo hanya ke jatah dialiri pada Minggu petang dan Jumat pagi. Selebihnya bila ingin mendapatkan air harus berkorban menyedot air dari sumur yang digali di pojok sawah. Artinya itu akan menambah biaya operasional. Biaya untuk pengadaan mesin diesel, bensin untuk bahan bakarnya dan juga waktu yang penuh menunggu di sawah. Karena kadang ada petani yang nakal memindahkan selang air sedotan ke petak sawahnya. Sungguh tak tahu malu.
Marini sedikit menyingkap daster motif kembang bakung yang dipakainya setinggi betis, karena galengan sawah yang dirapikan suaminya masih basah. Lumpur hitam itu pun menempel di kaki kanan kirinya. Suatu hal yang biasa bagi Marini. Ia tidak merasa jijik maupun enggan melakukan aktivitas di sawah. Ia empat puluh tahun yang lalu sudah terlahir sebagai anak petani. Ia dilahirkan sebagai anak kedua tetapi akhirnya menjadi anak pertama karena kakak laki-lakinya meninggal di usia 6 tahun akibat serangan thypus. Maka ketika ia diperistri Purnomo yang jua seorang petani ia langsung bisa menyesuaikan apa yang seharusnya dilakukan.
Marini berbelok ke arah kiri, menuju gubuk kecil yang biasa digunakan untuk istirahat sebentar. Di gubuk yang terbuat dari empat batang bambu yang ditancapkan di tanah itu terselip cething bambu yang biasa dipakai Marini untuk memetik lombok atau kangkung ataupun apa saja yang ditanam suaminya sebagai tanaman selingan. Atapnya hanya ditutupi baner bekas yang dibeli di pasar desa. Sudah cukup untuk sekedar berteduh.
"Pakne! Istirahat dulu, sarapan!" teriak Marini.
"Iya, Bune, bentar lagi," jawab Purnomo sambil mengusap peluh yang menetes di dahinya. Caping bambunya sedikit bergeser karena gerakan tangannya.
"Mumpung masih anget, Pakne."
"Ya, ya aku cuci tangan dulu."
Tidak berselang lama Purnomo sudah membersihkan tangannya dan siap menyantap sarapan buatan istrinya. Menu sarapan yang sederhana namun terasa nikmat disantap di pinggir sawah. Pagi itu Marini membawa serantang nasi hangat dengan lauk ongseng terong, sambal kencur, tempe goreng dan kerupuk asin.
Setelah suaminya duduk sambil bersandar di tiang bambu, Marini menyodorkan sarapan di depan suaminya.
"Aku pake piring daun saja, Bune."
Marini langsung tanggap. Ia berdiri dan berjalan ke tepi galengan di pinggir tersier. Dengan gesit tangannya menyobek dua lembar daun pisang dan membawanya ke gubuk. Ia buka rantang dan menyiduk nasi ke atas daun. Di pinggirnya ia letakkan seonggok ongseng terong dan dua iris tempe goreng.
"Langsung ditambahkan sambal, Pakne?"
"Ya, tapi sedikit saja, gampang nanti tambah lagi."
Marini ikut menemani sarapan dengan daun pisang. Beberapa petani yang di sawah juga sedang menikmati sarapannya masing-masing. Sering dari kejauhan mereka saling berbasa-basi menawarkan sarapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTEMUKAN SURGA DI RUMAHKU
Short StoryKUTEMUKAN SURGA DI RUMAHKU OLEH : WILARWIGEN #Blurb# Berumah tangga puluhan tahun tanpa sebuah pertengkaran berarti adalah sesuatu banget bagi Marini. Namun ketika prahara datang dari tato anak semata wayangnya? Bukankah api neraka t...