Cerita pendek ini pernah diterbitkan di Majalah Ultraprima edisi 25 dengan versi yang sedikit berbeda.
(Aula sekolah. Upacara pembukaan tahun ajaran baru.)
Bertahun-tahun setelah hadir di dunia ini, aku dapat mengambil satu kesimpulan: setiap orang punya hal-hal ‘mengagumkan’ tersendiri untuk dibanggakan.
Apapun itu.
Tidak percaya?
Coba perhatikan pojok sayap kanan aula ini. Yah, meskipun aku juga tidak mendengarnya dengan jelas, tapi dari binar mata Hyer aku dapat menyimpulkan kalau gadis semampai ber-eye smile itu sedang heboh menceritakan weekend ala-ala bersama kawan adamnya yang bejibun. Sepintas aku mendengar bahwa dia baru pulang dari pantai apalah itu dan sekarang sibuk mendecit tentang kulit porselennya yang mencoklat dan daftar endorse betapa-baik-tampan-gentleman-keren-uwu-dan-suka-menabung kawan adamnya.
Berani sumpah, aku tidak berniat menguping! Hanya saja, telinga yang baru saja kubersihkan ini terlalu sensitif bahkan pada suara dengung lebah sekalipun. Apalagi ‘lebah’-nya banyak. Ya, macam yang di pojok sayap kanan aula itu.
Nah, masih belum percaya juga?
Ayolah, zaman millenial seperti ini, tanpa perlu dibantu oleh laporan langsung dari si pelaku--selagi punya mata dan telinga super bersih plus sehat--kita bisa tahu kehidupan orang lain dengan mudah tahu?!
Sebagian informasi yang kuceritakan padamu dari akun instogremnya. Jadi beneran dan ga kaleng-kaleng. Setidaknya benar dengan mengesampingkan fakta apakah media sosial benar-benar tempatnya menampilkan realitas hidupnya atau realisasi dari kehidupan yang bagai mimpi baginya.
Jadi, sekarang coba beralih pada barisan bocah berseragam lengkap, klimis nan wangi di hadapan. Baik laki-laki maupun perempuan, dari yang pendiam, agak cerewet hingga pintar bonus cerewet, aku yakin mereka punya hal yang mereka banggakan. Mungkin bukan hal yang perlu dibanggakan dalam kasus anak biasa-biasa saja sepertiku, tapi dalam lingkup hidup mereka, yang berprestasi-punya-banyak-kertas-dispen-disayang-guru-nilai-tambahan-bertebaran-dan-bebas-dari-masalah adalah goals hidup terbaik yang mereka punya dan harus dibanggakan.
Kalau soal yang ini, aku pernah dengar sendiri dari mereka saat dapat tugas wawancara rubrik ‘Our Star’ untuk majalah sekolah. Salah satu dari mereka dengan mantap berkata bahwa akademik adalah hal yang harus diapresiasi dan sangat membanggakan dalam hidupnya.
Aku setuju sih, siapa juga yang tidak senang dengan nilai bagus? Tapi ada satu hal yang membuatku pundung sehabis wawancara. Bagaimana tidak? Dia bilang bahwa akademik adalah hal yang paling pantas untuk dibanggakan. Garis bawahi paling pantas. Hih! Rasanya saat itu juga aku ingin menjejali mulut bersenyum manis si bintang dengan kamera Nikon di genggaman. Namun urung kulakukan karena ingat bahwa kamera itu baru berumur seminggu dan aku yang dipercaya merawatnya.
Jadi, aku melempar senyum malas--yang nyerempet senyum meremehkan--dan pergi setelah mencamkan dalam hati untuk memberinya pengertian suatu hari. Tapi sayangnya, sosok itu juga yang sekarang sedang berpidato di mimbar tentang pentingnya akademik. Cih. Mengapa harus memilih sosok panutan yang tidak layak dianut itu sih!
Soal akademik, bukannya aku tidak suka karena segala tetek bengeknya memusingkan. Tapi merasa bahwa akademik adalah hal yang paling pantas dibanggakan juga tidak baik menurutku. Kan tidak semua orang unggul dibidang akademik. Sama saja dengan mendiskreditkan kemahiran pada bidang lain dong?
Karena membicarakan mereka mudah sekali membuatku naik darah, kita lanjutkan ke gerombolan selanjutnya saja. Yang di sayap kiri itu biasa disebut sebagai rombongan malaikat karena mereka dengan sigap mengulurkan tangan untuk membantu saat ada masalah di sekolah. Terkadang aku ingin jadi kloningan mereka, tapi kemudian teringat sebuah fakta bahwa aku bukan tipe orang yang tulus. Jadi aku memilih say goodbye.
Meski disebabkan kerendahan hati dan sikap berbuat baik dibalik layar--sehingga secara otomatis keberadaan mereka kurang terekspos--aku paham bahwa seluruh sekolah tahu bahwa tingkah laku mereka patut dibanggakan di tengah kehidupan yang kelam ini. Kehidupan yang gemerlap di pusatnya, namun kelam di cabang-cabangnya.
Selanjutnya kita bisa beralih ke barisan belakang. Sedikit olahraga merenggangkan tulang leher tidak apa-apalah. Mereka yang duduk berdempet dibarisan belakang itu meski kelihatan urakan dan tidak terurus, diam-diam jadi role model-ku soal keberanian dan percaya diri loh. Kenapa? Karena mau se-terhormat apapun seseorang, namun dengan lancang berani menekan dan mendikte orang-orang barisan belakang, harus siap beradu argumen dengan mereka.
Itu suatu keberanian yang mengagumkan tau! Apalagi buat remaja-remaja bau parfum berkedok bedak bayi macam kita. Yang selalu merasa bahwa apa yang orang dewasa arahkan baik, tak mau membantah bahkan takut, padahal sama sekali tidak. Berargumen, asal kau benar itu baik tau! Daripada harus tenggelam dalam lubang hitam tak berujung? Hiiy. Sayangnya, mereka dicap kurang baik hanya karena berani berargumen. Aku benar-benar heran kenapa pikiran manusia bisa sedangkal itu.
Tapi mari kembali ke awal cerita ini dimulai. Bahwa setiap orang punya hal-hal istimewa versi pribadi. Punya pendapat yang berbeda-beda.
Karena ini semua ini bukan tentang negatif atau positif. Bukan juga tentang prestasi dan sensasi. Hanya tentang: hargai orang, karena mereka punya hal mengagumkan untuk mereka banggakan. Terlepas dari negatif atau positifnya, dan dalam golongan prestasi atau sensasinya.
“Kalau kau sendiri, apa yang bisa dibanggakan?”
“Ada. Terlepas itu negatif atau positif kan? Tapi kuharap hal-hal ‘membanggakan’ dari setiap individu dapat terus bertransformasi. Yang belum baik menjadi baik, yang sudah baik terus berbenah. Aku sependapat soal hargai pendapat, tapi yang kurang selalu bisa ditambah kan?”
“Benar. Selalu. Bisa. Untuk. Berubah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hal Mengagumkan
Short Story[1/1] Bertahun-tahun setelah hadir di dunia ini, aku dapat mengambil satu kesimpulan: setiap orang punya hal-hal 'mengagumkan' tersendiri untuk dibanggakan. Percayakah kamu? Photo credit: rawpixel.com