Langit pulau Modo di pagi hari terlihat cerah dan sejuk sama seperti hari-hari biasanya. Para turis yang sudah bangun berjalan kesana-kemari menikmati indahnya pemandangan di pulau yang terkenal menjadi tujuan wisata terkenal di negeri ginseng itu. Semua orang tersenyum senang, sebagian besar ingin merileksasikan diri di pulau Modo tanpa berpikir tentang beban apapun. Terkecuali untuk pria separuh baya yang kini tengah berada di dalam mobil sambil terus mengecek beberapa email masuk melalui smartphone-nya.
Pria tua itu menghela nafas lalu melepaskan kacamata bacanya dan memutuskan untuk memandang keluar kaca mobil. Entah kenapa belakangan ini sulit sekali bagi dirinya untuk menikmati sesuatu—seindah apapun itu. Sekarang, yang bisa menenangkan hatinya hanya satu orang, putri tunggalnya yang sudah menginjak remaja dan semakin sulit untuk didekati. Masa remaja, semua orang pernah mengalaminya.
"Apakah besok kita masih harus melakukan kunjungan, Jeong-ah?" tanya pria itu pada seorang pria muda yang kini tengah menyopir di sampingnya.
Yang dipanggil pun sejenak melirik untuk menjawab pertanyaan atasannya tersebut. "Aaa, ini adalah yang terakhir, Dokter. Jika tidak ada halangan, kita akan memesan tiket pulang ke Seoul malam ini." Jeongin menjawab dengan sopan, tak lupa dengan senyuman yang selalu terpatri di wajahnya.
Pria paruh baya yang berprofesi sebagai dokter itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Setelah hampir sebulan berpindah-pindah kota untuk melakukan kunjungan ke perkampungan untuk mengecek kesehatan warga, hari ini adalah hari terakhir kunjungannya.
Rasa rindu terhadap rumah dan putri semata wayangnya sudah tidak bisa ditahan lagi. Terlebih setiap kali ia ingin menelpon putri remajanya, tak pernah berakhir lama karena putrinya akan selalu beralasan sibuk dengan sekolah. Tapi mendengar suara malaikatnya, sudah cukup untuk membuat hati pria itu tenang.
Setelah melewati jalanan kecil hutan, mobil itu akhirnya sampai di perkampungan kecil pulau Modo yang masih kental dengan budaya tradisional Koreanya. Dokter dan asistennya itu pun keluar dari mobil dan disambut sangat baik oleh warga perkampungan. Tanpa aba-aba, sang dokter segera menghampiri keluarga di kampung kecil itu satu per satu untuk bertanya tentang permasalahan kesehatan mereka.
Tidak memakan waktu lama, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore ketika dokter mengunjungi keluarga terakhir. Betapa beruntungnya hari ini, semua keluarga di kampung itu ternyata memiliki kesehatan yang tinggi. Para warga mengantarkan dokter itu sampai ke mobilnya sambil berlambai tangan dan tak hentinya mengucapkan terima kasih. Sampai—
Dokter itu merasakan bahunya dipegang oleh seseorang, membuatnya spontan menoleh ke belakang untuk melihat siapa pelakunya. Matanya bertemu dengan seorang nenek tua berpakaian kumuh tak layak dan kedua bola matanya yang mengidap katarak—sepertinya sudah buta total. Tapi perhatian dokter lebih tertuju pada seorang bayi yang ada di dalam gendongan nenek itu.
"Aku mohon, tolong dia." Si nenek menunjuk pada bayi dalam gendongannya. Bayi malang itu menangis kencang, membuat dokter itu memperhatikan bayi itu dengan seksama.
"Dokter Han, maaf aku mengganggu tapi kurasa... kita harus pulang sekarang. Ini adalah penerbangan terakhir untuk malam ini," Jeongin menginterupsi dengan nada ragu, tapi berhasil mengalihkan atensi dokter bermarga Han itu untuk beberapa detik dari si bayi.
"Jeongin, cepat keluarkan semua perlengkapan bedah. Aku akan melakukan operasi pada bayi ini." titah Dokter Han. Perintahnya sukses membuat kedua mata kucing Jeongin membulat kaget.
"T-Tapi Dokter Han, kau memiliki rapat dengan rumah sakit besok..."
"Kita akan pulang besok."
Dokter Han berjalan, merangkul si nenek tua yang buta itu pergi. Jeongin yang tak tahu menau pun sebagai asisten akhirnya memutuskan untuk melaksanakan perintah dari atasannya saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Time Turner
FanfictionTahu tentang alat time turner di film Harry Potter? Antara percaya dan tidak, bahwa alat tersebut ada. Sebagian orang percaya bahwa time turner itu ada dan bisa digunakan. Tetapi, untuk orang yang realistis dan agamis pasti tidak akan percaya. Han...