Nabila menutup buku dan mendekapnya. Hari ini adalah tepat minggu ke 3 ia mengikuti asrama di pondok pesantren Daarussalam, milik Kiyai Abdullah. Dan pada hari ini pula, beberapa siswa yang mengikuti asrama kilat seperti dirinya akan diikutkan dalam acara kepramukaan sekaligus berkemah.
Ustadzah Rumy menghampiri Nabila dan memberi tahu bahwa mereka akan segera berangkat.
Akhirnya, dengan di bantu Mas Bejo -salah satu pengurus pondok- mengangkut beberapa peralatan yang ada di sekitar Nabila. Nabila pun segera naik kedalam mobil besar TNI berwarna hijau tua itu.
Karena peserta tidak begitu banyak, maka mobil yang digunakan hanya satu. Di tengahnya mobil diberi pembatas dari peralatan bawaan, seperti tenda, kompor, dan lainnya untuk memisahkan antara perempuan dan laki-laki.
Nabila menundukkan kepalanya dalam-dalam, masih segan untuk menatap sosok dihadapan nya. Lagi pula, ia juga tidak berani menatap yang bukan hak nya.
"Kamu kenapa Nabila? Sakit?". Tanya Livia, salah satu temannya yang kini duduk tepat disebelahnya.
Nabila menggeleng. "Ngga Liv, aku baik-baik aja".
Livia ber oh ria mendengar jawaban dari Nabila.
"Kamu pasti kesenengan kan liat yang di depan kamu itu?". Tuduh Livia dengan sinis.
"Huh? Maksudnya apa Liv?".
"Ck, pura-pura. Itu di depan kamu, anak asrama putra senior. Paling dari tadi kamu liatin dia terus kan? Hati-hati tuh mata!". Ketusnya.
"Astagfirullah, Livia. Kamu jangan sembarangan nuduh. Aku ngga seperti itu. Lagi pula kamu ingat kan apa yang di sampaikan Ustadz Soleh minggu lalu. 'Adalah dosa bila memandang sesuatu yang bukan haknya'. Tolong jangan bilang begitu lagi Livia. Ngga baik". Sergah Nabila, ia begitu kaget dengan tuduhan yang diberikan Livia padanya.
Livia menatap Nabila dengan sinis. Dari awal ia memang sudah tidak menyukai gadis disebelahnya. Sok alim, itu menurut Livia. Dan tanpa berkata apa pun, Livia berdiri dari duduknya kemudian pindah ketengah-tengah barisan. Berbisik sesuatu pada temannya disana.
***
Dengan kecewa Nabila kini duduk sendiri di sebelah peralatan kemah. Ia masih sebal dengan Livia. Entah apa yang di katakan Livia pada teman-teman yang lainnya sampai akhirnya tidak ada satu pun yang membantunya saat ini.
Astagfirullah, Nabila terus beristighfar menenangkan hatinya. Dia sudah dewasa, dia adalah mahasiswi semester 4. Tidak pantas kalau menanggapinya dengan kelakuan anak kecil.
Akhirnya, dengan tekat ia mulai merapikan satu persatu peralatan ke dalam ruang yang tidak begitu besar khusus untuk penyimpanan peralatan mereka.
Sampai pada peralatan terakhir berupa tali, pisau, penggorengan, dan beberapa benda kecil lainnya Nabila masih saja seorang diri. Ketika dalam pertengahan jalan tiba-tiba Livia dan dua orang temannya datang dan menabrak Nabila dengan sengaja, membuat benda-benda yang tadi dalam pegangannya terlepas dan jatuh.
Livia dan dua orang temannya tertawa serta memarahi Nabila yang hanya di diamkan oleh gadis itu sampai akhirnya mereka pergi karena kesal.
"Merasa bodoh kan?".
Sepasang sepatu coklat berhenti tepat didepan Nabila yang sedang jongkok merapikan barang-barang tadi. Orang itu kemudian mengikuti posisi Nabila dan mengambil benda yang paling besar dari barang-barang yang jatuh tersebut.
Nabila tidak menjawab ucapan laki-laki itu. Ia lebih memilih melanjutkan kegiatannya barusan yang kini dibantu oleh orang itu.
Mereka berjalan dalam diam. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan terlebih dahulu sampai mereka tiba di ruang penyimpanan peralatan yang hampir menyerupai aula kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bowled In A Trap
Teen Fiction"Pakai ini!". Perintahnya masih dengan nada dinginnya. Dengan gemetar, Nabila meraih baju kaos dan jaket yang diberikan Akhbar untuknya, kemudian gadis itu memakai kaos tersebut dan menggunakan jaket merah itu untuk menutupi bagian bawahnya. "Apa ka...