aku

81 13 11
                                    

Dengan sepenuh hati kuperkenalkan, namaku Delima Putri Renaldi. Sering dipanggil Ema. Anak gadis remaja usia 18 tahun yang baru saja melepas status pelajar SMAnya. Meski demikian, aku bukanlah siswi yang memiliki banyak pengalaman seru di masa tiga tahun tak terlupakan itu. Tidak ada prestasi melejit, atau keunggulan dalam olahraga. Walau semonoton itu, setidaknya aku bukan kategori siswa yang senang melanggar aturan sekolah. Itu bukan tabiatku.

Aku hanya remaja biasa yang suka bernyanyi. Sempat mengikuti klub band disekolah bersama dua teman dekatku, sebelum akhirnya ekskul tersebut dibubarkan karena keterbatasan guru pembimbing. Namun hal itu tidak mematahkan semangat kami untuk terus berlatih di ruang musik yang akhir tahun pada angkatan kami terbengkalai begitu saja, itu sungguh miris sekali. Sampai akhir masa pelepasan angkatan kami, kepala sekolah akhirnya mengumumkan akan ada guru baru untuk membimbing ekskul musik. Walaupun aku tidak lagi berada disana, itu menjadi berita bagus yang mengantarkanku menuju gelar alumni sekolah.

Aku hidup bersama keluarga kecilku. Sangat hangat, sangat sederhana dan sangat menjaga satu sama lain. Papaku punya bisnis bengkel di kota kami. Mamaku seorang ibu rumah tangga serba bisa, bisa mengurus rumah, mengurus anak dan suami, mengurus ternak ayam yang berada 20 meter dibelakang rumah, sampai menggantikan posisi Papa sekaligus. Seperti memperbaiki lampu kulkas waktu itu, saat Papa masih mengurus bengkelnya. Jika dibayangkan, Mama adalah gatot kaca rumah tangga yang lengkap dengan gelarnya "otot kawat tulang besi"

Aku bukan anak semata wayang mereka. Ada Mas Agam, dia kakakku. Kita selisih 3 tahun. Tepat tiga tahun lalu Mas Agam tamat SMA, dia memutuskan untuk ikut mengolah bengkel daripada melanjutkan kuliah. Papa tidak melarang, toh setelah Papa pensiun dari bisnisnya nanti, Mas Agam yang akan menggantikan posisi Papa sebagai pemilik Bengkel. Tapi untuk saat ini dia masih menjadi karyawan di bengkel Papa.

Satu lagi adikku, namanya Ragil. Tapi aku dan Mas Agam lebih sering memanggilnya 'Ace' Si Anak Cerewet. Dia masih duduk di kelas satu sekolah dasar, banyak bicara dan suka komen. Aku tau di usianya yang masih tujuh tahun akan memicunya untuk mengetahui banyak hal. Tapi menurutku, dia berlebihan. Sangat menyebalkan. Tetapi Mama? Selalu punya kalimat pamungkas untuk menepis nama beken Ragil yang aku buat dua tahun lalu bersama Mas Agam, waktu Ragil masih berumur lima tahun. Adikmu itu bukan cerewet, dia pandai mengamati sesuatu dari sisi yang berbeda, sedikit lebihnya seperti itulah kalimat Mama.

***

Pagi ini, di meja makan. Hangat dengan siraman surya pagi yang menembus tipis melalui jendela ruang makan kami.

Mama dengan cekatan memindahkan roti dari panggangan. Membiarkan rambut hitam lurusnya tergulung didalam karet berkantong, seperti sanggul kecil. Aku tidak tahu model kuncir rambut apa yang dikenakan Mama hari ini. Karena hampir setiap Mama belanja bulanan untuk keperluan rumah, dia tidak pernah ketinggalan membeli satu kuncir rambut dengan model baru. Papa pernah bilang kepadaku tentang hobi Mama yang suka mengoleksi kuncir rambut sejak SMP. Dengan bukti koleksi kuncir rambut Mama yang sudah menggunung, ucapan Papa tidak membuatku heran. Kalau saja kuncir rambut itu ditata rapi dalam etalase besar, koleksi Mama sudah memenuhi syarat toko aksesoris. Sejak saat itu juga aku hanya memahami tanpa menanyakan bagaimana Papa bisa tau sejak kapan Mama menjadi kolektor kuncir rambut.

"Jam sepuluh nanti jangan lupa cek seleksi mu, Em." Mama mengingatkanku soal pengumuman tes di salah satu perguruan tinggi yang ku ikuti satu bulan lalu.

"Iya, Ma. Kemarin Ema sudah memasang alarm dikamar. Untuk berjaga-jaga jika nanti Ema lupa." Jawabku sambil menata piring dan memindahkan selai ke meja makan.

"Tanpa alarm sekalipun. Mamamu itu sudah cukup, Em. Mama kan pengingat yang handal." Papa datang sambil nyengir. Penampilannya selalu rapi, lengkap dengan kemeja merah maroon dan celana cream. wajahnya yang fresh dengan rambut yang tidak kalah rapinya, sangat sedap dipandang. Tapi..., Dibalik indahnya style seorang laki-laki, disitu pasti ada jasa istri yang siap siaga mengomentari fashion para lelakinya.
Tentu saja Mamaku salah satunya, selalu pas memadukan style keluarga, sampai Papa tampil modis di pagi hari. Dan sepertinya aku harus banyak belajar soal itu kepada Mama, agar kelak_. Ah, itu akan menjadi rahasia kehidupan, aku tidak tahu bagaimana takdirku nanti.

Kamu Satu-satunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang