tes seleksi

45 10 2
                                    

Jam dinding ruang keluarga menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit. Rumah semakin lengang. Tidak ada kesibukan didalamnya. Hanya suara televisi dengan berita yang lagi-lagi tentang kasus kriminal. Aku dan Mama menyimak cukup detail setiap topik berita yang dibawakan repoter cantik dilayar televisi rumah. Dari berita bapak memperkosa anak sendiri, anak yang membunuh ayahnya akibat tidak dibelikan motor, ibu kandung membuang anaknya, menantu menyiksa mertua, pembegalan motor berujung kematian, juga koruptor. Semua terdengar menyeramkan.

Kulihat mama begitu khitmat menyaksikan berita tersebut. Aku tidak tega untuk mengganti saluran televisi ke acara yang lebih seru dan menghibur. Toh jarang-jarang jam segini Mama sudah santai didepan televisi. Tidak ada jadwal padat yang menumpuk dipundaknya, tidak ada mencuci baju, tidak ada jadwal belanja bulanan, tidak ada jadwal membersihkan kandang ayam, juga jadwal pekerjaan kecil lainnya. Semenjak aku sudah lepas dari status pelajar, sedikit lebihnya aku bisa membantu satu atau dua pekerjaan Mama di pagi hari menuju siang. Terbayang sudah seberapa hebat Mamaku bergelut dengan semua pekerjaan rumah sendirian. Belum lagi ada kendala yang merusak rencana awal, Mama dengan sigap harus memanuver rencana dua langkah kedepan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dari dulu Mama tidak mau Papa memperkerjakan asisten rumah tangga. Itu akan memicu perbedaan pendapat untuk menyelesaikan pekerjaan yang sesuai rencana dan harapan Mama. Meski Mama tau dia sebagai tuan rumah bisa saja menyuruh asisten rumah tangga bekerja sesuai harapannya. Tapi itu salah satu hal yang harus diperhatikan Mama, dia tetap memilih mengerjakannya sendiri untuk hasil yang pas dihatinya. Sementara aku? sama sekali tidak menghawatirkan skill Mama, She is a hero of my family.

Sekian suasana hening.

"Hati mereka dimana ya, Em? Mama tidak habis pikir dengan orang-orang yang setega itu membunuh dan membuang anak sendiri." seru Mama tidak berhenti menatap miris berita yang baru saja berganti topik.

"Mereka yang memiliki latar belakang berbeda-beda, Ma. Mungkin saja salah satu dari mereka mengalami gangguan kejiwaan atau stres? Seolah hidup yang mereka rasa hitam, sampai akhirnya mengontrol hatinya untuk bertindak sevatal itu. Atau bisa jadi mereka tidak mau menanggung malu akibat hubungan gelap. Yang pasti mereka mengalami tekanan emosional berat sampai melampiaskannya sekejam itu." Usul Ku menebak-nebak.

"Bagaimanapun juga Mama sedih melihat orang-orang yang tidak punya hati nurani seperti itu!" Suara Mama terdengar begitu kesal.

Aku mengangguk menghargai tanggapan Mama. Memang sudah sewajarnya orang tua untuk selalu menyayangi anak-anaknya, mengasuh, membesarkan dan mendidik mereka. Tapi apa daya dengan sifat manusia yang selalu mementingkan diri sendiri. berfikir seolah dunia ini sempit, gelap dan sepi. Sampai tugas mengasuh dan mendidik anaknya pun dia lupakan. Bagaimana perasaan anak-anak itu ketika jatuh ditangan orang tua yang tidak tau diri? Apa perasaan orang tua yang mengalami tekanan mental selalu berujung dengan tragis? Apa setiap manusia yang memiliki kehidupan berbeda akan membuat hati mereka juga buta? Aku tidak tahu. Aku hanya merasa prihatin dengan fakta tersebut. Aku manusia biasa dengan pertanyaan-pertanyaan kecil tentang bagaimana jadinya jika hal itu terjadi kepadaku, apa mungkin aku melampiaskan semuanya dengan hal yang sekeji itu?

"Mama sayang sama kamu, Em." Tiba-tiba Mama menatapku melo. "Mas Agam, Ragil, Papa. Kalian semua."

Aku terbisu. Lebih tepatnya mencerna ucapan Mama yang kenapa tiba-tiba mengatakan hal itu dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Bukankah memang seharusnya Mama menyayangi kita? Mama sering mengatakan kalimat tersebut setiap hari. namun untuk sekarang? Kenapa aku tidak bisa menanggapi kalimat Mama?

Kamu Satu-satunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang