Sore itu langit terlihat cerah dan hangat ketika Ghaza dan teman-temannya sedang asik bermain basket di sebuah taman yang terletak tepat di tengah komplek perumahan.
Sebenarnya yang bermain hanyalah teman-temannya sedangkan ia memutuskan untuk berperan sebagai penonton karena suasana hatinya yang sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Di sampingnya ada Fawwaz yang turut menjadi penonton setelah lelah bermain dan digantikan oleh Danish yang datang terlambat. Lelaki dalam balutan kaos biru itu mengusap peluhnya dengan handuk yang terdapat di dalam tas lalu meneguk sebotol air mineral yang tersisa setengahnya saja.
Pandangan Fawwaz yang semula bergerak liar menyaksikan permainan teman-temannya di lapangan teralihkan begitu saja ketika mendengar suara helaan dan embusan nafas berat yang berasal dari sampingnya.
"Kenapa, brotha?" tanyanya ketika melihat Ghaza berulangkali melakukan hal yang serupa.
"Hmm...."
"Sakit lo?" Fawwaz menyenggol bahu lelaki di sampingnya pelan guna menyadarkan dari lamunan. Terbukti dengan respon lelaki itu yang tersentak pelan.
"Elo, Waz. Udah lama di sini? Bukannya tadi si Danish ya di samping gue?"
"Udah sampai mana aja tadi lamunan lo? Jauh banget kayaknya, gue tukeran main sama Danish aja lo kagak ngeh. Mikirin apaan dah lo?"
"Bukan apa-apa." Jawab Ghaza sekenanya.
"Elah, macam perempuan aja lu, tiap ditanya jawabnya nggak pa pa padahal ada apa-apa. Jadi, rumus itu berlaku juga buat lo, nggak?"
"I'm ok! Beneran. Lagian It's not a big problem."
"Then Smile!" Seru Fawwaz. Tangannya mulai sibuk mengibaskan-ngibaskan baju yang dipakainya agar dapat mengurangi rasa gerah sehabis berlarian merebut bola di lapangan tadi.
"..."
"You said that isn't a big problem, right? Then smile! Wajah lo kusut banget tauk! Siapa pun juga tahu kalau lo lagi ada masalah kali. Tapi brotha, sebesar apapun masalah yang sedang lo alami jangan sampai orang lain baca semua itu dari wajah lo.
"Kenapa?"
"Terutama di depan orang terdekat lo. Mereka juga pasti akan terpengaruh dan bakal mikir apakah salah satu alasan yang membuat muka lo jadi nggak enak dipandang gitu adalah mereka walau pada nyatanya bukan dan gue sedang tersedot ke dalam pemikiran itu...," hening.
"Etdah! Kenapa jadi gue yang ngemeng begini yang mahasiswa jurusan psikologi kan elo...." Fawwaz sewot seketika.
Ghaza menatap lelaki di sampingnya bingung.
"Sewot amat lu! Emang apa hubungannya dah gue yang mahasiswa psikologi sama omongan lo barusan?"
"Ya, kan setidaknya lo lebih paham hal-hal begituan. Baca ekspresi orang, gerak-geriknya,-"
"Eits, bentar, bentar... ini nih! orang-orang selalu pada mikir begini tiap ketemu mahasiswa psikologi. Teori mah enak, prakteknya nggak semudah itu kali. Lagian ya, materi begituan juga sekilas doang dibahas kalau ada matkul asesmen atau konseling buat memastikan kliennya nyaman untuk cerita ke kita-kita. Mahasiswa psikologi sama aja kali dengan mahasiswa jurusan lain. Kami juga manusia biasa, tahu!" Ghaza bersungut kesal.
Perkataan Fawwaz menyentil egonya sehingga ia pun melupakan masalah yang sedang dialaminya sejenak.
Fawwaz tertawa. Ekspresi jengah Ghaza ketika sedang mengutarakan kekesalannya seakan-akan minta untuk ditertawakan. Lelaki pemilik hidung bangir itu memang selalu bertingkah demikian; sangat mudah tertawa walau untuk hal sepele sekalipun. Kalau kata Hanan hidup Fawwaz itu semacam nggak ada masalah dan beban apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
||ʙʀᴏᴛʜᴇʀꜱ ꜱᴀᴇɴɢʜᴡᴀʟ||
Teen FictionHanya sebuah kisah tentang 13 orang manusia yang dipertemukan oleh beberapa kejadian tidak terduga. 13 anak manusia dengan 13 sifat, sikap dan pandangan hidup yang berbeda bersatu dalam sebuah ikatan yang menyenangkan, menegangkan dan mengenyangkan...