Ada yang dikenang,
ada yang dilupakan,
ada yang memohon agar segera dimakamkan.————
Ayo Pulang!
————
Tuk Tuk Tuk
Terdengar suara ketukan kayu dari setiap langkah Mbah Rasyid. Kakinya sudah tidak kuat lagi menopang berat tubuhnya, kepada kayu yang dipungutnya kemarinlah ia berpegang. Tidak ada suara yang ia ucapkan. Hanya suara kayu itu saja. Ketika ia merasa begitu lelah untuk sekadar jalan pulang, ia istirahatkan tubuhnya sejenak. Menikmati semilir angin juga tawa anak kecil yang bersahutan.
Begitu saja cukup.
Di usianya yang senja, tak ada lagi yang ia pinta dari Maha Kuasa. Kecuali satu. Ia ingin cepat bersama teman-temannya. Pulang, ke tempat sebenarnya ia kembali. Sudah terlalu lama ia hidup di dunia. Kini dunia bukan tempatnya lagi. Hutan yang dulu jadi teman mainnya sudah hilang menjadi bangunan berbeton. Sudah terlalu lama pula ia memikirkan apa makna dari kehidupan.
Terlalu lama beristirahat membuat Mbah Rasyid terlena dalam nostalgia. Ia melihat ke arah sekumpulan anak laki-laki yang berkumpul di pelataran rumah. Dulu ia pun seperti itu. Hanya saja yang ia pegang bukanlah benda yang bisa mengeluarkan aneka suara dan gambar bergerak, hanya sebuah mushaf. Kini untuk memegang mushaf saja tangannya sudah gemetar tak karuan. Kalau begitu untuk apalagi ia masih bertahan di dunia? Dulu, ia bisa bolak-balik mengangkut dua ember penuh air tanpa merasa berat. Kini sekadar menyentuh air untuk wudu saja ia sudah kedinginan.
Jelas, tubuhnya pun telah berubah.
Badannya sudah membungkuk, napasnya sudah tertatih, langkahnya sudah terseok.
Tinggal menunggu ajakan pulang dari Yang Kuasa.Setelah berlama duduk di teras orang lain, Mbah Rasyid mulai bangkit. Mengetukkan kayu pegangannya lebih dulu. Bersiap kembali untuk pulang ke rumah. Di rumah pun semua sudah berbeda. Lantai yang terbuat dari tanah sudah berganti keramik yang terkadang membuat langkahnya tergelincir. Tak ada lagi rumah gubuk, tak ada lagi bocor tiap hujan. Tidurnya selalu damai namun sarat rasa kesepian. Tak ada lagi seseorang yang mengisi ruang kosongnya.
Istrinya lebih dulu menemui Yang Kuasa. Mbah Rasyid sudah lupa kapan istrinya meninggal, yang jelas sudah begitu lama. Sampai Mbah Rasyid merindu di tiap napasnya. Istrinya adalah bagian dari kehidupannya.
"As—sala—mu—alai—kum.", dengan terbata ia mengucap salam ketika sampai di pintu rumahnya.
Perlahan ia menghirup aroma dalam rumah yang kini lagi-lagi tak sama. Rumahnya kini ditinggali oleh anak dan cucunya. Namun sepi. Anaknya sedang berjualan di pasar, lalu cucunya sedang pergi bermain. Ia sendiri. Mendekati sebuah figura dengan foto mendiang istrinya yang telah berkeriput. Ia usap sebentar dengan hati yang berbisik,
Ayo pulang..
Bediri kembali ia pergi ke kamarnya mengambil tayammum, ia gosokkan perlahan debu tersebut ke tangan dan wajahnya. Bergetar tubuhnya. Untuk mengakhiri kesakitan yang ia alami, berujarlah ia dengan tersendat-sendat. Melafalkan kalimat suci,
"Asy—hadu al—laa ilaa—ha ila—llaah wa asy—hadu an—na muha—mmadar—rasulu—llaha."
Sejenak napasnya tenang, namun detik berikutnya ia sudah kehilangan napasnya.
Pada akhirnya ia pulang dengan sebuah senyuman. Mempersiapkan untuk bertemu Yang Maha Kuasa, Rasulnya, istrinya, dan kawan-kawannya yang lebih dulu berada dipangkuan-Nya.
—Ayo Pulang! bagian 1 selesai—
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Pulang!
General FictionSudah terlalu lama ia di dunia. Kini dunia bukan tempatnya lagi. Jadi... Ayo pulang!