3 - Sasaran

50.4K 3.9K 122
                                    

"Hari ini, kita kedatangan murid baru yang akan menempati kelas 3C," ujar Pak Gurdyn, dijawab oleh keramaian bisik-bisik dari mereka yang menempati ruang makan. Aku mengangkat sebelah alis, kalau sampai heboh begitu, pasti Xylone jarang kedatangan murid baru.

Ah, dan sekadar informasi, sistem asrama ini menggunakan sistem usia—tidak jauh berbeda dengan akademi pada umumnya. Dimulai dari murid berusia tiga belas tahun yang akan masuk ke kelas 1, empat belas tahun yang masuk ke kelas 2, dan seterusnya hingga sampai ke kelas 6.

"Namaku Varrelisa Arianel, usiaku 15 tahun." Suaraku terdengar cukup lantang ketika aku memperkenalkan diri. Syukurlah, telapak tanganku sudah keringatan sejak tadi.

Sebelum memutuskan untuk melompat dari podium untuk menghindari tatapan-tatapan yang dilemparkan ke arahku, Pak Gurdyn mendadak bertanya, "Apa yang membuatmu masuk sini?"

Apa dia memancing?! Aku mengerang dalam hati, tetapi apa boleh buat? Semua tatapan ini harus disingkirkan secepat mungkin. "Aku ... aku pemilik sihir hitam."

Ruang makan seketika menjadi tak ubahnya acara lomba bersorak-sorak. Siapa yang berteriak, "Bohong!" paling kencang sambil menunjuk-nunjuk hidungku niscaya akan menjadi pemenangnya.

"DIAM!" Pak Gurdyn mengambil langkah cepat dan tepat untuk berseru menghentikan kehebohan. Wajahnya merah padam dan memercikan api. Tak lama selepas itu, warna kulitnya kembali berubah normal. "Varrelisa memanglah pemilik sihir hitam setelah pemilik sebelumnya, Frestuen, memindahkan sihir hitam padanya."

"Apa buktinya?" Salah satu murid bertanya lancang.

Pak Gurdyn melirikku, matanya berbinar menantang. Sial. Tidak seharusnya seorang kepala sekolah merasa terprovokasi. "Buktikan."

Aku ragu beberapa saat. Kekuatan ini belum pernah kugunakan sama sekali! Namun, sebab sudah ikut terprovokasi (terima kasih atas ulah Pak Gurdyn), aku memutuskan tidak ada salahnya mencoba sekarang. Kupejamkan mata, berkonsentrasi agar kekuatanku bertumpu di satu titik—di jari telunjuk; gerakan dasar bagi penyihir yang ingin melakukan sihir biasa.

Atap asrama menjadi targetku. Entah dari mana datangnya, api hitam muncul di tengah atap dan merayap cepat ke arah dinding. Para murid sontak berdiri dan menjauhi meja masing-masing, mengambil posisi untuk melidungi diri sekaligus bertahan dari serangan apa pun yang hendak datang.

Aku diam-diam bersiul kagum. Tidak heran Asrama Xylone menjadi asrama sihir terbaik. Jika ini di sekolah lain, barangkali para muridnya sudah kocar-kacir.

Api kemudian padam setelah Pak Gurdyn menyuruh seorang guru untuk memadamkannya lewat sihir air.

"Mau bukti lagi?" tanya Pak Gurdyn, semakin terdengar menantang dari sebelumnya. "Apa kalian baru percaya ketika asrama ini hancur?"

Keheningan menjawabnya. Akhirnya, akhirnya, Pak Gurdyn mempersilakan aku turun dari podium dan duduk di mana pun yang kusuka.

Sayangnya, sepertinya tidak ada yang suka jika aku duduk di mana pun.

Dengan hati-hati aku berjalan di antara meja-meja makan berbentuk bulat yang menampung kurang lebih lima orang murid. Tatapan yang kuterima tak jauh-jauh dari kebencian, seolah aku baru meninju wajah ibu mereka—atau kesinisan, yang kuputuskan untuk menafsirkannya sebagai rasa iri.

"Pasti dia bohong."

"Mana mungkin api dari sihir terkuat dan paling mematikan bisa dipadamkan?"

"Ha! Aku lebih cocok jadi pemilik sihir hitam."

"Bahkan aku bisa mengeluarkan api lebih hebat tadi."

Aku bukan orang yang tergolong sabar, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan cibiran-cibiran para murid asrama. Ugh, ini mimpi buruk buat murid baru.

Black MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang