Cursed

3 1 0
                                    

Keesokan harinya, Lucy dan Felix sudah mulai bersekolah di sekolah baru mereka. Ah...Lucy paling tidak suka proses ini. Proses perkenalan dan membuat teman baru. Gurunya—Mrs. Vallen, menjelaskan beberapa hal tentang Lucy, lalu menyerahkan tanggung jawab memperkenalkan diri selanjutnya kepada Lucy.

Gadis pemilik pupil mata berwarna cokelat tua itu perlahan mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri melihat keadaan kelas. Semua mata tertuju padanya, tapi ia hanya diam. "Lucy?" tanya Mrs. Vallen. Lucy tetap berekspresi ketakutan seperti sedang melihat hantu. Ternyata, memang hal tersebut yang sedang ia lihat.

Tepatnya, gadis piano itu yang ia lihat. Namun, gadis itu tak membalas Lucy. Dia hanya menatapi salah satu anak laki-laki di kelas Lucy. Tatapan dengan niat mencelakai. Tangannya yang samar-samar, terlihat ingin menekan leher anak itu dengan keras. Lucy tak tahu harus bagaimana, yang jelas ia harus cepat bertindak.

"Ti-tikus!!! Mrs! Ada tikus!" ucapnya. Satu kelas menjadi kacau dan ricuh. Beberapa anak ada yang naik ke atas kursi karena ketakutan. Lucy melihat ke sekeliling, mencari hantu itu. Namun, ia tak dapat menemukannya. Mungkin, ia tak suka kegaduhan.

Bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Lucy menutup lokernya dan menghela napas panjang. "Hey," seorang anak laki-laki membuyarkan semua pikiran Lucy dalam seketika. "Hai," Lucy membalas ramah.

"Lucy, kan? Aku Julian."

"Julian? Kenapa?"

"Tadi kau membuat keributan kan?"

"Ha? T-tidak juga tuh...Aku hanya takut karena melihat tikus..." Lucy sedang diterpa badai pikiran di kepalanya. Ia tak ingin orang lain tahu kalau ia bisa melihat makhluk gaib. Apalagi Julian sedang tersenyum dengan liciknya. Bukankah wajar jika Lucy curiga dengannya?

"Kau bisa melihat hantu kan?" tanya Julian dengan senyuman. "A-apa maksudmu?" Julian mendekatkan wajahnya pada Lucy, membuat gadis itu menjadi lebih tertekan dan sulit berpikir. "Tidak apa-apa kok, jika kau tidak mau bilang. Karena aku sudah tahu. Aku juga lihat hantu yang tadi ingin mencekik Justin," ucap Julian. Lalu ia tersenyum.

"Dah, itu saja yang ingin kukatakan." Ia kemudian meninggalkan Lucy sambil melambaikan tangannya. Tentu Lucy masih kebingungan dengan ucapan Julian. Lelaki itu tidak memberikan kesempatan bagi Lucy untuk bertanya lebih lanjut. Ya, sudahlah.

"Lucy!" seorang pria melambaikan tangannya pada Lucy. Orang itu adalah Felix. "Mau pulang? Aku mau ke café dengan teman-teman baruku. Kau mau ikut?" ajaknya. Beberapa kawan Felix berdiri di belakangnya, membatu. Lucy memperhatikan gerak-gerik kawan-kawan kakaknya itu. "Niel yang menyuruh aku untuk mengajakmu!" ucap Felix dengan polosnya.

"Bodoh! Kenapa kau berkata seperti itu..." tutur Niel. Cowok itu segera memalingkan wajah begitu ia tersadar kalau Lucy sedang memperhatikannya. "Café yang mana?" tanya Lucy. "Dekat dari sini," jawab felix. "Yeah, sure," Lucy memutuskan untuk ikut Felix dengan teman-temannya. Entah mengapa ia merasa harus menjaga kakaknya yang ia anggap bodoh itu.

Lucy menyeruput cappuccino miliknya untuk yang kesekian kali sejak pembicaraan para lelaki itu dimulai. Ia merasa bosan dan berpikir untuk pulang. Masalahnya, Lucy satu-satunya perempuan di meja itu. Lagipula, hari juga sudah sore, dan ia harus berlatih bermain piano, walau sebenarnya ia tidak ingin. Ia merapikan barangnya dan berdiri. "Mau pulang?" tanya Felix. "Iya. Mau latihan," jawab Lucy dengan senyuman. Tentu para pria terkecuali Felix terpana melihat senyuman Lucy.

"Kau mau berlatih apa?" tanya salah satu teman Felix, Raphael. "Piano," jawab Lucy. "Wah...kau bisa main piano ternyata. Gimana nih, Niel?" ucap Raphael menggoda Niel. "Mana ku tahu. Kau bertanya apa kepada siapa dengan maksud apa," Niel meminum es teh manisnya dengan pipi merah seperti tomat.

"Bicara soal piano, jadi ingat itu, ya?"

"Ingat apa?"

"Itu loh, yang baru-baru ini terjadi. Kau orang sini, tapi kau tidak tahu?"

"Apa?"

"Pem-bu-nuh-an."

"Pembunuhan? Apa maksudnya?" tanya Lucy kembali duduk di kursinya. "Ada seorang gadis yang biasa bermain piano di acara-acara penting atau pesta-pesta. Orang-orang sini sering mempekerjakannya karena ia bermain sangat bagus. Terlebih lagi, katanya dia cantik. Lalu, dua tahun lalu, katanya dia ditemukan meninggal," jelas Raphael.
.
Masi lanjut;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hoodwink-trappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang