Aku melihat pantulan bayanganku di cermin. Menimbang apakah aku sudah layak untuk dilihat orang lain. Setelah memperhatikan setiap detail hasil riasanku, kusemprotkan setting spray pada wajahku. Menikmati sensasi dingin nya, lalu mengipas - ngipas wajahku dengan tangan.
Hari ini merupakan hari yang sangat biasa. Bangun tidur, mandi, makeup, berangkat kuliah. Hari dimana aku menjalankan rutinitasku tanpa sesuatu yang spesial.
Sebelum berangkat, kusempatkan diriku untuk berdiri memandangi rak sepatu. Sama seperti hari - hari biasaku lainnya, aku selalu menghabiskan banyak waktu untuk sekedar memilih sepatu. Pandanganku terjatuh pada sepasang sneaker berwarna abu yang tersimpan berdebu di sudut rak. Teringat orang pemberi sepatu itu hanya membuatku bergidik. Sepatu itu adalah hadiah ulang tahun dari mantan pacarku. Orang yang telah kupacari selama 3 tahun, namun harus putus karena ternyata dia mengkhianati aku.
Bicara tentang pengkhianatan, rasa pahit yang kurasakan bukan karena aku marah bahwa sesuatu yang aku cinta direbut orang lain. Tapi lebih kepada rasa cringe sepert ingin mentertawakan diri yang dengan mudahnya dapat dibodohi. Mengingat kejadian itu rasanya seperti melihat foto - foto alay milikku di facebook.
Tak ingin selalu merasa cringe setiap kali melewati rak sepatu, kuputuskan untuk menyingkirkan sepatu abu itu.
"Ma, sepatu yang ini boleh ko mah kasih aja ke keponakan mama. Lebih bermanfaat kayanya kalau dia yang punya." Ucapku kepada mama sambil menarik sepasang sepatu heels coklat dengan tinggi 3 cm.
"Boleh nanti mama kirim kerumah keponakan mama ya." Jawab mama, memandangiku dari sudut meja makan.
Keadaan jalan menuju kampusku memang seringkali tersendat dengan kemacetan. Dan di sela - sela kemacetan itu, tiba - tiba ponselku berbunyi. Sebuat notifikasi dari grup Whatsapp kelasku. Dosen mengatakan bahwa agenda kelas hari ini dirubah dari pemberian materi tatap muka menjadi sebuah tugas diluar kelas. Aku tidak diharuskan pergi ke kelas, namun aku diintruksikan untuk mendatangi sebuah museum yang ada di kotaku, lalu mengambil data dari tempat tersebut untuk melengkapi tugas laporanku.
Kupinggirkan mobil dan terdiam memutar otak. Notifikasi di ponselku terus berdatangan. Mahasiswa yang lain mulai membuat list museum mana yang akan mereka datangi. Semua mengisi list tersebut dengan cepat. Peraturannya adalah, setiap mahasiswa harus mendatangi museum yang berbeda. Tidak boleh ada satu museum yang didatangi oleh lebih dari 2 mahasiswa.
Tanpa pikir panjang, kutuliskan sebuah museum yang terletak tak begitu jauh dari tempatku saat ini. Sebuah museum yang didalamnya disimpan koleksi perkembangan kebudayaan yanga da di Jawa Barat.
Dan betapa senangnya aku saat mendapati Maudy, sahabatku juga ternyata memilih museum yang sama. Setelah mengatur tempat pertemuan, akhirnya aku kembali menggulirkan mobilku menjemput Maudy, lalu bergegas segera ke museum tempat tujuan kami.
"Sèlènè!" Celoteh Maudy dari kursi penumpang disebelahku.
"Nyebelin lu ya. Terus aja manggil gue begitu. Selene dibacanya Selin tau!" Kataku sambil tertawa.
"Ya lagian nama lu tuh jangan so bule deh. Orang Bandung mana ada yang namanya Selene." Sahut Maudy lagi.
"Kasian bener nyokap bokap gue, lu hina - hina hasil karyanya." Lagi - lagi aku terkekeh. Begitupun dengan Maudy.
Sesampainya di Museum, aku dan Maudy dikecewakan oleh papan besar yang terpajang di depan gedung museum.
"MOHON MAAF UNTUK SEMENTARA TEMPAT INI DITUTUP"
Aku dan Maudy terduduk kembali kedalam mobil. Kembali memutar otak, museum mana yang harus kami datangi. Berkali - kali kami melihat isi grup Whatsapp kelas, dan rasanya hampir semua museum yang ada di kota Bandung sudah ada yang mendatangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine (Berjalin)
RomanceIf your falling in love with their soul without touching their skin, it's true love.