Akhir Yang Sama

13 1 0
                                    


Dia terus berlari, berlari dan berlari. Nafasnya kian memburu, namun keadaan tidak mengizinkannya untuk berhenti sejenak. Langkahnya mulai terseok lantaran duri-duri halus rerumputan mengores kakinya yang tak tertutupi alas apapun. Pakaiannya kotor dan berantakan. Sesekali ia menengok ke belakang untuk memastikan keadaannya lalu kembali menghadap ke depan dan berharap ada sedikit celah untuknya bersembunyi.

Ah! Sebuah pohon tua yang berakar dengan lubang lebar ditengah akarnya tampak cukup untuk tempat persembunyian sementara. Wajahnya sedikit berbinar, ia banyak berharap pada pohon tua itu. Dengan cepat ia sedikit memutar dan masuk ke lubang akar pohon itu. Ternyata memang cukup lebar dan dalam. Tapi ia belum boleh berlega diri, dengan nafas yang sedikit diatur, ia mencoba menahan nafasnya semampunya.

Kedua tangannya kian erat menggengam satu sama lain, berusaha setenang mungkin kala suara berat sosok yang mengejarnya terdengar. Suara berat itu kian menggelegar murka diikuti sumpah serapah, ancaman, dan makian tanpa henti.

Matanya terpejam rapat dengan tangan yang saling menggenggam semakin erat satu sama lain. Tak lama kemudian suara sosok tadi terdengar kian mengecil yang menandakan bahwa mungkin sosok itu sudah menjauh. Sebelah matanya membuka, mencoba mengintip lalu memastikan keadaannya.

Tidak ada suara apapun kecuali helaan nafasnya yang masih memburu, detak jantungnya bahkan bisa didengarnya. Apa tempat ini sesunyi ini?

Kedua matanya sudah membuka dan kepalanya sedikit dikeluarkan untuk memastikan lebih lagi. Bisa saja sosok tadi hanya menjebaknya dengan pura-pura pergi dan ternyata bersembunyi tak jauh darinya. Tidak ada apapun selain tumbuhan yang sudah menghuni tempat ini.

Srek... Sebuah suara membuatnya kembali masuk ke lubang akar pohon itu. Ia terdiam sejenak lalu kembali melihat keluar. Ah, hanya suara pergerakan daun kering karena angin saja rupanya.

Seluruh indranya masih waspada dengan sentuhan, suara, cahaya, apapun itu yang bisa membunuhnya. Setelah beberapa saat, akhirnya ia membiarkan tubuhnya beristirahat. Helaan nafasnya berat ketika tubuhnya bersandar pada pohon tua itu. Matanya terpejam dengan tangan yang masih saling menggenggam satu sama lain.

Beberapa waktu lalu keadaannya tidak seburuk ini. Beberapa waktu lalu ia masih bisa tertawa bebas dengan teman-temannya. Ia masih ingat bagaimana hidupnya saat itu yang jauh dari hal-hal buruk. Hanya dalam hitungan jam semuanya berubah. Lingkungan sekitarnya menjadi penuh dengan warna merah pekat-darah-dan dimana-mana tercium bau amis yang menyengat. Orang-orang yang ia kenal menghilang, entah sudah ikut tergeletak-tak bernyawa-bersama yang lainnya, atau mungkin masih hidup dan bersembunyi sambil menunggu malaikat maut menjemput. Ah, mungkin juga sedang berpesta ria di suatu tempat, menertawakan tubuh-tubuh tanpa nyawa di tempat lain. Ia tidak tahu dan tidak sempat mencari tahu karena ia sendiri sedang dalam keadaan terburuk-menurutnya.

Ia sendiri sebenarnya masih bingung dengan dirinya yang bisa berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Ia terbangun dengan satu tangannya terikat pada tiang besi di sebuah gubuk tua aneh-yang didalamnya terawat dan penuh dengan alat-alat aneh-yang dikelilingi hutan yang sama anehnya. Ia terlalu takut untuk berteriak, untungnya tubuh dan pakaiannya masih utuh meskipun kotor. Matanya melihat pecahan kaca tak jauh darinya dan mencoba memutuskan ikatan pada tangannya. Tangannya terluka parah tapi ia tidak peduli. Ia baru menyadari ada sosok lain yang terus mengawasinya ketika ia berhasil memutuskan ikatan itu. Ia berlari ketika sosok itu mendekatinya, berlari dan terus berari sampai berakhir di pohon tua ini.

Sampai di titik ini ia masih bingung memilih, ikut menunggu dijemput malaikat maut atau bertahan hiudp. Tapi... Untuk apa ia bertahan hidup? Atau selama ia bisa hidup, apa hanya akan diisi dengan menunggu dan menunggu? Ia bahkan tidak tahu dimana tempat ini, tempat yang sepertinya tidak punya celah untuk keluar sedikitpun.

Ah, benar. Ada satu cara. Daripada menghabiskan sisa waktu untuk menunggu kematian, kenapa ia tidak berusaha bertahan hidup saja? Ia tahu sedikit banyak mengenai alat-alat aneh di gubuk tadi. Ia mencoba menduga jika sosok tadi adalah penyuka hal-hal semacam itu. Benar, biarlah ia bertaruh pada kesempatan kecil-yang nyaris nol-itu. Setidaknya ia sudah berusaha bertahan. Toh, tanpa ditunggu pun kematian sudah mendampinginya setiap waktu.

Baiklah, sudah diputuskan ia akan memilih jalan itu. Jalan nekat yang seharusnya pilihan terakhir. Helaan nafas pelannya menandakan awal dari pertaruhannya pada jalan itu. Berusaha tenang, ia keluar dari tempat persembunyian sementara itu dan berjalan-sengaja-dengan suara.

*****

Tidak, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Ini... Terlalu kejam! Berkali-kali ia diambang kematian, berkali-kali juga ia selamat. Sosok itu terlalu... sempurna. Ah, bukan! Sosok itu terlalu misterius.

Entah sudah berapa kali ia mencoba bunuh diri, tapi sosok itu selalu mencegahnya. Sosok itu selalu mengatakan bahwa hanya dia yang boleh membuatnya merasakan sakitnya diambang kematian. Bukankah itu terlalu kejam?

Awalnya ia berpikir, jika ia bisa menjadi 'anak baik' bagi sosok itu, ia akan dibawa keluar dari tempat aneh ini. Ia akan kabur di perjalanan dan setidaknya bisa bebas dari sosok itu. Semua rencananya hancur dan ia justru terjebak-entah sampai kapan-di tempat aneh ini. Mainan, katanya? Huh, jadi sebenarnya ia hanya mainan? Ia bahkan lebih rela mati daripada hidup di tempat seperti ini dengan sosok itu yang tidak pernah berhenti 'memainkan'nya.

Bodoh. Ia bodoh karena mengikuti rencana nekat yang ia pikirkan sendiri. Seharusnya ia tidak berpikir sesederhana itu. Ia terlalu meremehkan sosok itu. Seharusnya ia bisa menebaknya dari cara sosok itu yang membiarkannya lari dan memilih mengejarnya setelah agak lama. Atau sebaiknya ia menyerah saja? Pasrah dengan keadaannya saat ini?

Ya, mungkin dengan cara itu, ia bisa lebih cepat dijemput malaikat maut. Itu lebih baik daripada terus diperlakukan kejam oleh sosok itu. Tapi... sosok itu juga yang menghalangi kematian menghampirinya setelah mendekatkannya dengan kematian, berkali-kali. Ia lelah, berlari menghindar masih lebih baik daripada seperti ini.

Percuma saja ia meratapi. Sosok itu tidak akan pernah peduli dengan yang ia rasakan karena penderitaannya merupakan hiburan yang menyenangkan bagi sosok itu. Ia sudah mati rasa. Ia sudah benar-benar menjadi 'mainan yang baik' untuk sosok itu, menjadi boneka hidup tanpa jiwa. Pandangan matanya kosong, pikirannya hanya digunakan untuk melakukan semua perintah sosok itu. Tubuhnya hanya digerakkan sesuai dengan kemauan sosok itu. Ya, benar-benar menjadi boneka hidup.

Ia tidaklagi memikirkan cara untuk membebaskan diri karena itu mustahil. Dunianya sudahhancur bersama dengan perlakuan-perlakuan yang ia terima. Benar-benar hancur.Inilah keadaannya sekarang, keadaan yang entah kapan akan berakhir. 






*****

Hai, gaes! Ge balik! Maaf karena lama menghilang. 

Terimakasih sudah membaca. 

Klik tanda bintang jika suka, simpan di perpustakaan dan daftar bacaan jika berminat. 

Nantikan kisah-kisah lainnya!! 

Sekali lagi terimakasih... 

Sepenggal KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang