Aku merasa diriku tertimpa beban tak kasat mata. Jujur saja, aku ingin bertemu dengan Muckle untuk bertanya, apakah ia bisa memulangkanku ke tempat Paman Tom dan adikku, Karl. Aku berharap mereka tak khawatir dengan kehilanganku selama beberapa jam ini.
“Makanlah, ini sudah siang,” ajak Tante Na,”makan siang ada di dapur, Disla bisa mengantarmu.”
Aku mengikuti Disla yang berjalan menuju dapur setengah berlari.
“Apa yang kau rasakan saat menerima suntikan tadi? Aku … tidak, tapi kami semua menerima suntikan sejak bayi agar kami memiliki banyak waktu untuk melatihnya. Aku tak pernah mendengar ada anak seusiamu yang baru disuntik, karena sudah sangat terlambat,” ucap Disla sambil mengambil makanan yang tersedia berupa roti dan daging.
Aku melakukan hal yang sama sebelum menjawab,”aku hanya ada di tempat gelap, berjalan sebentar, lalu, jatuh di atas duri, ketika ada cahaya aku mendekatinya dan tiba-tiba cahaya itu membutakanku dan aku bangun.”
“Apa itu sakit? Ehm… maksudku saat jatuh di atas duri?” tanya Disla setelah menelan kunyahannya.
Aku mengangguk sambil menggigit roti yang kupegang, kukunyah sebentar dan rasanya hambar ”mana senapanku?”
“Ada di meja di ruangan tempat kau menerima suntikan, setelah makan nanti kau akan bertemu dengannya,” katanya sebelum menggigit daging.
Kami menyelesaikan makanan kami dalam waktu sewajarnya dan berjalan pelan menuju aula tempatku menerima suntikan.
“Sebagai balas terima kasih, apakah kau ingin tinggal bersamaku? aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan tak memiliki saudara. Ayahku prajurit kerajaan, ibuku pembuat ramuan sihir, mereka pasti akan menerima baik kedatanganmu,” tanyanya saat kami hampir mencapai aula.
“Terima kasih, aku menerima baik tawaranmu,” ucapku tersenyum senang.
“Nenek, kami pulang,” ucap Disla setelah menyerahkan senapan yang segera kucangklongkan ke punggungku dan juga tas selempang-berisi peluru milikku-yang diberikan Tante Na padaku.
“Tante Na, terima kasih atas segalanya,” ucapku melambaikan tangan pada Tante Na yang mengangguk lalu mengejar Disla.
Disla naik ke kereta kudanya diikuti aku. Setelah naik, bapak yang meperkenalkan diri sebagai hamba keluarga Disla memacu kuda meninggalkan kediaman Tante Na.
“Om Ranks pernah diselamatkan ayahku di medan perang, karena hal itu, Om Ranks memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai budak di keluaragaku, ayahku tentu menolak. Namun karena ia memaksa, ayahku menjadikannya kusir kereta kuda ini. Aku dan Om Ranks tadi sedang dalam perjalanan pulang setelah mengantar ramuan buatan ibuku ke toko-toko kecil di desa,” cerita Disla,”harusnya aku tidak melewati jalan itu sehingga akhirnya diserang serangga menjijikan itu. Hmm… tapi, kalau aku tak lewat sana, mungkin aku tak pernah bertemu denganmu.”
Aku mendengarkan perkataannya tanpa berkomentar. Kereta kuda dipacu dengan kecepatan sedang saat tikungan-tikungan badanku terdorong ke kanan dan kiri.
“Sudah sampai,” ucap Disla setelah perjalanan panjang entah berapa jam itu, aku menyayangkan karena tidak memiliki kebiasaan memakai jam seperti kebiasaan Karl sehingga sekarang tak mengetahui waktu.
Saat keluar aku melihat langit yang kemerahan, pertanda sekarang sudah sore.
“Wah malam turun lebih cepat ya,” ucap Disla merenggangkan badan yang kaku,”ayo masuk.”
Di depan pintu, kami disambut dengan kehadiran ibu Disla, wajahnya mirip Disla namun dalam versi ibu-ibu yang memiliki keriput.
“Ranks, jelaskan padaku mengapa kalian datang terlambat. Jangan berbohong dan membela Disla,” ucap ibu Disla melipat tangan di dada menatap Om Ranks kesal yang sepertinya belum menyadari keberadaanku,”apa Disla meminta untuk berbelok sebentar ke tempat lain sebelum pulang lalu entah melakukan apa membuat kalian pulang terlambat?”
Om Ranks mengangguk dan sebelum Om Ranks membuka mulut menjelaskan sesuatu, tangan ibu Disla meraih telinga Disla lalu menyeretnya, tapi sebelum jauh, ia bertanya padaku,”kamu siapa?”
Ibu Disla sungguh baik padaku, setelah Disla berhasil mendapat kesempatan untuk menceritakan kejadian sebenarnya dan diikuti anggukan setuju dariku, ibu Disla akhirnya percaya. Ia juga menawarkan diri sebagai ibu angkatku.
“Wah, akhirnya aku punya saudara! Kau tidur seranjang denganku. Ayah ada kegiatan jadi takkan pulang hingga seminggu ke depan. Besok juga tak ada pesanan yang perlu diantar lagi. Kita mau ngapain?” tanya Disla di kamar setelah kami selesai makan malam.
“Hoamm… lihat saja besok, sekarang ayo tidur,” ucapku sambil berbaring di kasur yang nyaman itu.
“Oke, selamat malam,” ucap Disla mematikan cahaya di kamar kami.
“Selamat malam juga,” jawabku dan Disla naik ke sebelahku.
Aku memimpikan diriku berada di tanah lapang, di sekitarku hanya ada rumput liar pendek dan di depanku ada bukit kecil, aku berjalan ke depan menaiki bukit, entah berapa lama akhirnya aku sampai di puncak. Di puncak ada sebuah pondok kecil dan aku memasukinya. Pondok itu kosong, tak ada banyak perabotan di dalamnya, yang paling mencolok adalah sebuah meja di tengah ruangan. Di atasnya ada sebuah kotak dengan sebuah tombol di atasnya. Aku mengambilnya dan menekan tombol itu. Sebuah lingkaran muncul di hadapanku dengan jarum yang memutar kemudian berhenti. Lingkaran itu mirip jam, namun bukan angka yang tertera di situ, sebagai gantinya ada gambar tetesan air, sebongkah batu, petir kecil, jam, dan lainnya. Jarum berhenti di api lalu lingkaran itu hilang sementara kotak itu tetap di tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
World of Magic: Healer
FantasySemua manusia bisa jadi penyihir! Filena tanpa sengaja pergi ke dunia lain saat berlibur bersama paman dan adiknya. Tersesat di dunia baru tersebut, Filena memutuskan untuk pergi ke akademi sihir kerajaan, Arial, karena di sana ada Muckle, orang ter...