BAGIAN 1

413 13 5
                                    

Udara pagi ini terasa cerah, meski di ujung mata memandang kabut masih terlihat menyelimuti. Dinginnya hari bercampur sinar matahari, membuat angin menggeliat seperti kegelian. Sesekali hawa dingin berhembus, kemudian kembali senyap. Kicau burung bersahutan ketika melintasi cakrawala sambil menunjukkan keahlian terbangnya.
Seorang gadis berambut panjang dan bermata indah tampak betul-betul menikmati suasana hari ini di atas punggung kuda putihnya. Sesekali lari kuda dipercepat, lalu kembali berhenti. Bibirnya langsung tersenyum cerah melihat pemuda yang tadi bersamanya tertinggal jauh.
"Apakah Dewa Bayu kini menjadi pemalas, Kakang? Coba lihat! Dia seperti habis berlari mengitari separo jagad!" ejek gadis berbaju biru sambil tertawa kecil, begitu seorang pemuda berbaju rompi putih sampai di dekatnya.
Pemuda berwajah tampan berambut panjang itu hanya tersenyum kecil. "Apakah kudamu hendak mengadu lari dengan Dewa Bayu, Pandan?"
"Jangan, main-main, Kakang! Melawan kudamu, sama saja bohong!" kata gadis berbaju biru yang memang Pandan Wangi.
Sedangkan pemuda yang menaiki kuda berbaju hitam mengkilat itu sudah pasti Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. "Mungkin kau malu...," kata Rangga.
"Malu pada siapa?" tanya Panda Wangi.
"Malu pada Dewa Bayu."
"Huuu, enak saja!" rungut Pandan Wangi.
Pemuda itu masih tersenyum lebar.
"Kakang Rangga..." panggil Pandan Wangi.
"Hm...."
"Kudengar berita burung itu...." Pandan Wangi sengaja tidak melanjutkan kata-katanya dan menunggu perubahan sikap Rangga.
"Kabar burung apa...?" tanya Rangga, menanggapi.
"Ketika Kakang berada di selatan beberapa waktu yang lalu...."
"Oh, ya. Lalu, kenapa?" tanya Rangga sama sekali, tidak menunjukkan keterkejutannya.
Dan agaknya itu membuat Pandan Wangi sedikit kesal. "Aku tidak suka!" rungut Pandan Wangi terdengar ketus dan agak marah.
Seketika Rangga memalingkan muka seraya menatapnya heran. "Pandan! Kau bicara tentang apa? Aku hanya sekadar membereskan persoalan biasa...," kata Rangga.
"Tapi tidak harus bersama-sama gadis itu, bukan?"
Rangga terpaku sejenak, lalu tersenyum dan baru dimengerti, apa yang membuat perubahan sikap kekasihnya.
"Tertawa! Senang, ya?!" dengus Pandan Wangi, dengan wajah ditekuk terbakar api cemburu.
"Baiklah. Kalau aku salah, maafkan...."
"Memang Kakang salah!"
"Ya, ya...."
"Nanti pasti akan diulang lagi!"
"Tidak. Aku janji. Tidak..., ketika itu kau sendiri salah juga. Kenapa saat kuajak, tidak mau. Padahal selama di perjalanan aku selalu memikirkanmu...," Rangga mencoba berkilah, sambil berusaha menyenangkan hati Pandan Wangi.
"Huh...!" Pandan Wangi hanya mencibir mendengar kata-kata Rangga yang bernada merayu.
Rangga jadi tersenyum lebar. "Lagi pula, mana mungkin aku terpikat gadis lain. Selama ini, belum pernah aku bertemu gadis secantikmu...," lanjut Rangga merayu.
Pandan Wangi kembali mencibir, tapi hatinya berbunga-bunga.
"Betul! Entah juga kalau aku bertemu bidadari dari Swargaloka, mungkin...."
"Mungkin langsung kepincut! Betul, kan?!" Wajah Pandan Wangi semakin kesal saja.
"Yaaah, mungkin saja...!" sahut Rangga enteng.
"Dasar mata keranjang!" umpat gadis itu.
Lagi-lagi Rangga tersenyum lebar. Namun...
"Heh?!"
Mendadak senyum pemuda itu hilang ketika pendengarannya yang tajam menangkap sesuatu. "Ada pertarungan di depan sana! Kudengar suara anak kecil yang berteriak ketakutan. Mari kita cepat ke sana!" kata Pendekar Rajawali Sakti.
Langsung saja Rangga menghela kudanya dengan cepat, meninggalkan Pandan Wangi yang masih terselimut cemburu. Sementara meskipun kesal, tapi gadis itu agaknya tak ingin tertinggal. Segera saja kuda putihnya dihela.
Seorang lanjut usia bertubuh kurus terbungkus pakaian compang-camping tengah berhadapan dengan beberapa orang berpakaian serba merah. Tubuh laki-laki itu penuh luka bacokan, pertanda sudah bertarung selama puluhan jurus. Sepasang matanya menatap tajam dan garang penuh kemarahan ke arah para pengeroyoknya. Gerahamnya bergemeletuk dan tubuhnya bergetar hebat. Tangan kanannya yang sudah menggenggam tongkat kayu, ragu-ragu diayunkan ketika salah seorang dari pengeroyok menyandera bocah perempuan berusia tujuh tahun dengan golok menempel di leher.
"Cepat berikan peta itu! Atau kepala bocah ini menggelinding!" ancam salah seorang pengeroyok, seorang laki-laki berhidung besar dan berkulit hitam. Mulutnya tampak menyeringai lebar.
"Keparat kau, Tunggul Ijo! Lepaskan dia. Bocah itu tidak tahu apa-apa dengan urusan ini!" desis orang tua itu geram.
"Hehehe...! Wiranata! Kau kira aku bodoh, heh? Aku tahu, kau berniat hendak mewariskan pusaka itu padanya!" sahut laki-laki bernama Tunggul Ijo sambil menyeringai lebar.
"Sudah! Babat saja leher tua bangka itu, kalau tidak menyerahkan peta itu," teriak salah seorang kawan Tunggul Ijo menggenggam sebilah parang.
Wajah laki-laki itu tampak geram, penuh nafsu membunuh. Sementara tiga orang lainnya mulai tidak sabar, ingin menghabisi orang tua itu. Senjata mereka sudah diayun-ayunkan dengan sikap mengancam dan wajah menyeringai lebar.
"Kakek, tolong aku...! Tolong, Kek. Aku takut..," rintih bocah itu dengan suara pilu dan ketakutan.
"Hehehe...! Kau dengar itu, Tua Bangka Peot?! Sekali gorok saja, maka lehernya akan putus. Dan kau akan kehilangan dia! Hehehe.... Ayo, serahkan peta itu!" hardik Tunggul Ijo disertai tawa mengejek.
"Tunggul Ijo! Kau benar-benar manusia keparat! Apakah kebisaanmu hanya mengancam anak kecil? Ayo, hadapilah aku kalau kau memang benar tidak takut!" geram kakek yang dipanggil Wiranata.
"Phuiih! Jangan mengalihkan perhatian, Wiranata! Siapa yang takut pada manusia semacam kau?! Dengan sekali hantam, kau akan hancur berkeping-keping!" dengus Tunggul Ijo.
"Lalu kenapa tidak kau lakukan?"
"Hehehe...! Dasar Tua Bangka Goblok. Aku masih membutuhkan peta yang ada padamu itu. Kalaupun kau katakan hilang, berarti pernah ada padamu. Dan kau boleh mengingatnya, lalu menggambarnya kembali untukku. Cepat, Tua Bangka! Aku tidak banyak waktu untuk mendengar ocehanmu!" ancam Tunggul Ijo.
"Tunggul Ijo! Berapa kali harus kukatakan, aku sama sekali belum pernah...."
"Setan!" Kata-kata Wiranata mendadak terhenti ketika Tunggul Ijo membentak garang. Sepasang biji matanya seperti hendak mencelat keluar dari sarangnya. "Kau mau mengulur-ulur waktu, heh?! Ayo, berikan peta itu! Atau anak ini bakal mampus! Kuhitung sampai tiga!" lanjut laki-laki berhidung besar ini. Mata golok langsung ditempelkan lebih dekat di leher si bocah itu.
"Kakek..." Anak perempuan itu merintih lirih dengan tubuh gemetar. Keringatnya mengucur deras dan wajahnya sepucat mayat.
"Satu...!"
Ki Wiranata kebingungan dengan hati geram.
"Dua...!" Tunggul Ijo agaknya mulai tidak sabar ketika belum juga melihat tanggapan orang tua itu. Dan....
"Kisanak! Hanya pengecut yang bisanya menakut-nakuti bocah tidak berdaya...!"
Mendadak terdengar suara sahutan. Nadanya pelan, namun cukup menusuk telinga Tunggul Ijo.
"Heh?!"
Tunggul Ijo berpaling. Demikian juga keempat kawannya. Dan tahu-tahu sepasang anak muda-mudi telah berada di tempat itu di atas punggung kuda masing-masing. Yang pemuda menunggang kuda hitam, sedang gadis berbaju biru menunggang kuda putih.
"Siapa kalian?!" hardik Tunggul Ijo geram.
"Malaikat dari langit yang akan menghukum perbuatanmu!" sahut gadis berbaju biru itu dengan wajah bersungguh-sungguh, seraya melompat dari punggung kudanya. Tindakannya diikuti oleh pemuda yang menunggang kuda hitam.
"Setan! Kau kira bisa menakut-nakuti kami, heh? Sebaiknya lekas pergi. Dan jangan mencampuri urusan orang!"
"Kalau tidak, kenapa..." ejek gadis itu, seperti menantang.
"Kepala kalian akan menggelinding!" ancam Tunggul Ijo dengan wajah dibuat seram.
"Hihihi..! Lucu sekali. Ada beberapa ekor kambing dungu yang hendak berlagak di hadapan dua ekor harimau!"
"Keparat!" Bukan main geramnya Tunggul Ijo mendengar kata-kata gadis berbaju biru ini. Dia sudah hendak melompat dan menerjang, namun seorang kawannya mencegah.

145. Pendekar Rajawali Sakti : Sengketa Tiga Potong PetaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang