Ki Sentanu, Sri Kuning, dan tiga orang muridnya tiba di pintu gerbang Perguruan Naga Jenar. Dan di situ mereka telah ditunggu beberapa orang yang sama sekali tidak dikenal Ki Sentanu. Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi putih, membawa pedang bergagang kepala di punggung. Di dekatnya terlihat seorang gadis cantik berbaju biru, bersenjatakan pedang pendek dan kipas baja yang terselip di pinggang. Lalu seorang lagi adalah laki-laki berusia lanjut. Dia didampingi seorang bocah perempuan berusia sekitar tujuh tahun.
Wajah Sri Kuning langsung geram melihat gadis berbaju biru. Melihat senjata kipas yang terselip di pinggangnya, gadis putri Ki Sentanu sudah langsung menduga kalau mereka berasal dari Perguruan Arghaloka.
"Bagus! Setelah tadi putra gurumu mengacau, kini datang lagi tiga orang dari kalian. Huh! Aku tidak akan memberi ampun lagi!" dengus Sri Kuning melompat menyerang pemuda berbaju rompi putih itu.
Sikap Sri Kuning tentu saja membuat pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung. Namun pada saat itu juga gadis berbaju biru yang sudah pasti Pandan Wangi, sudah langsung melompat memapak serangan Sri Kuning.
"Hiyaaa...!"
Plakk!
Sri Kuning terkejut setengah mati. Kepalan tangannya ternyata ditangkap Pandan Wangi yang langsung menariknya ke bawah. Sri Kuning kontan terjerembab ke bawah karena tidak menyadari tenaga gadis berbaju biru itu begitu tinggi. Namun begitu menjejak tanah dia masih mampu mengirim tendangan keras ke arah perut. Tapi Pandan Wangi tidak kalah sigap. Tangan kanannya cepat menangkis dan cepat sekali menangkap kaki Sri Kuning. Dan tiba-tiba saja tubuh putri Ki Sentanu itu terpental jauh ke belakang.
Tap!
Manis sekali Sri Kuning membuat gerakan berputar, lalu mendarat indah di tanah.
"Setan! Kau boleh mampus sekarang juga!" maki Sri Kuning geram. Gadis itu langsung mencabut pedang dan siap menyerang kembali.
Sring!
"Sri Kuning, tahan seranganmu...!" bentak Ki Sentanu tiba-tiba.
Tapi gadis itu agaknya telah dibakar amarah. Maka tidak dipedulikannya bentakan ayahnya. Tubuhnya terus mencelat menyerang si Kipas Maut.
"Yeaaa...! Mampus...!" desis Sri Kuning geram seraya memainkan jurus 'Pedang Membelah Angin'.
Pandan Wangi hanya mendengus dingin, lalu melompat ke samping kiri. Kepalanya cepat ditundukkan untuk menghindari sabetan pedang lawan. Kaki kanannya cepat menghantam ke arah perut. Sri Kuning terkesiap. Namun dengan geram pedangnya segera dikibaskan. Dan dia bermaksud menebas kaki Pandan Wangi.
Wutrt!
Tapi siapa sangka kalau serangan itu hanya tipuan belaka. Sebab tiba-tiba Pandan Wangi menarik pulang tendangannya. Dan dengan berpijak pada kaki kiri, tubuhnya mencelat ke atas sambil berputar bagai gasing. Lalu cepat bagai kilat Pandan Wangi meluruk, melepaskan pukulan telak ke dada.
Desk!
"Ikh...!"
Disertai jeritan keras, Sri Kuning terjungkal ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa remuk terkena hantaman keras. Cukup keras pukulan Pandan Wangi barusan. Walau tak dialiri tenaga dalam, namun cukup membuat dada Sri Kuning terasa nyeri.
"Sri Kuning, cukup...," hardik Ki Sentanu, langsung melompat untuk mencegah anak gadisnya yang hendak menyerang kembali dengan amarah meluap-luap.
"Ayah, minggirlah. Aku masih mampu menghadapi orang-orang celaka ini!" desis Sri Kuning geram.
"Cukup Anakku! Mereka bukanlah orang-orang Arghaloka. Kau salah sangka..!" jelas Ki Sentanu dengan suara keras.
"Mustahil! Senjata kipas gadis itu telah cukup membuktikan kalau mereka dari Perguruan Arghaloka!" bantah Sri Kuning, tak mau kalah.
"Sri Kuning! Sedikit banyak aku mengerti ciri-ciri jurus mereka. Dan gadis ini sama sekali tidak memperlihatkan jurus-jurus Perguruan Arghaloka!"
Sri Kuning terdiam, walau masih tetap memandang sinis pada gadis berbaju biru muda itu. Sementara Ki Sentanu melangkah mendekati mereka.
"Nisanak, maafkan atas sikap kasar putriku. Aku Sentanu, Ketua Perguruan Naga Jenar. Adakah sesuatu yang bisa kubantu untuk kalian?" sapa orang tua itu disertai senyum kecil.
Pandan Wangi hanya bersikap tidak acuh. Namun Rangga cepat membalas salam hormat Ki Sentanu. "Ki, namaku Rangga. Dan ini Pandan Wangi. Sedangkan orang tua ini adalah Ki Wiranata, dan cucunya bernama Diah Kumintir. Maafkan juga kesalahan kawanku tadi. Dia terlalu menuruti amarahnya saja...," ucap Rangga setelah menjura membalas penghormatan Ki Sentanu.
"Tidak apa, Rangga. Silakan mampir ke gubuk kami!"
"Terima kasih...!"
Ki Sentanu kemudian mengajak mereka memasuki bangunan utama Perguruan Naga Jenar. Kecuali Sri Kuning, mereka pun segera melangkah. Ketua Perguruan Naga Jenar itu berjalan paling depan. Sementara Sri Kuning agaknya masih tetap tidak mau bertemu mereka. Gadis itu masih merasa kesal, meski menyadari kalau dialah yang seharusnya salah dan terlalu gegabah.
"Nah, Rangga. Kalau boleh kutahu, apa yang menyebabkan kedatanganmu di tempatku ini...?" tanya Ki Sentanu ketika mereka telah duduk di ruang penerimaan tamu.
"Sebenarnya bukan aku yang mempunyai keperluan denganmu, Ki. Tapi Ki Wiranata yang memerlukanmu. Ada sesuatu yang ingin ditanyakannya padamu...," jelas Rangga.
"Oh, begitu? Ki Wiranata, apa gerangan yang ingin kau tanyakan padaku?"
"Eh! Begini, Ki Sentanu Soal..., pusaka peninggalan Ki Sendang Bodas...," sahut Ki Wiranata.
"Ki Sendang Bodas, ah iya! Aku tahu. Belakangan ini, soal itu memang santer sekali dibicarakan. Lalu, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Ki Sentanu, aku adalah keturunan langsung dari Ki Sendang Bodas. Dan oleh sebab itu, aku memiliki hak atas warisannya yang berupa sebuah kitab pelajaran ilmu silat dan sebuah senjata sakti bernama Kyai Tunggul Manik. Kedua pusaka itu berada di suatu tempat tersembunyi, dan hanya bisa ditemukan lewat petunjuk sebuah peta. Yang menjadi masalah, kini peta itu dipotong menjadi tiga bagian. Aku harus mencari dua potong peta itu lagi, namun tidak tahu harus ke mana mencarinya. Mungkin Ki Sentanu bisa membantu menunjukkan, di mana kedua potongan peta itu berada...?" tutur Ki Wiranata.
Mendengar itu wajah Ki Sentanu tampak berubah sesaat. Air mukanya terlihat kaget, namun buru-buru menguasai diri dan kembali bersikap wajar. "Ki Wiranata, aku hanya ketua sebuah perguruan silat biasa dan jarang berhubungan ke dunia luar. Murid-muridku saja sudah cukup membuat waktuku banyak tersisa. Memang pernah berita itu kudengar. Namun sayang sekali, aku tidak tahu kelanjutannya...."
"Ki Sentanu. Kudengar kau pernah punya hubungan dengan orang-orang terdekat Ki Sendang Bodas...?" pancing Rangga.
"Ah! Berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Rangga. Mana mungkin aku mendapat kehormatan begitu besar untuk menyangkutkan nama beliau yang terhormat dengan namaku!" tampik Ki Sentanu seraya tersenyum lebar.
"Sayang sekali...," desah Rangga sambil menggeleng dan tersenyum hambar.
"Sebenarnya Ki Wiranata hendak mewariskan pusaka itu pada cucunya, namun kini mengalami jalan buntu. Sekarang, dapatkah kau memberitahukan siapa kira-kira yang menyimpan kedua potong peta yang tersisa, Ki?"
"Hm. Bagaimana kalau kalian coba tanyakan pada Ki Mugeni? Siapa tahu dia mengetahuinya...."
"Ki Mugeni Ketua Perguruan Arghaloka...?" Rangga mencoba meyakinkan. Ki Sentanu mengangguk cepat.
"Hm.... Terima kasih, Ki. Mungkin kami akan ke tempat itu nanti...," ucap Rangga.
"Ah! Kenapa mesti buru-buru? Hari telah menjelang senja. Dan sebentar lagi malam tiba. Kalian boleh bermalam di sini kalau suka...!"
Rangga tersenyum, langsung memandang ke arah Ki Wiranata. Orang tua itu tidak tahu apa yang harus dikatakan. Hatinya telah keburu kecewa atas jawaban tuan rumah. Baginya, kata-kata Ki Sentanu seperti penuh basa-basi. Dan hari kecilnya mengatakan, Ketua Perguruan Naga Jenar itu telah berdusta. Ingin rasanya keinginan Ki Sentanu yang hanya basa-basi itu ditolak. Namun melihat keadaan Diah Kumitir yang kelihatan letih dan terkantuk-kantuk, dia tidak tega untuk meneruskan perjalanan
"Rangga, kalian tentu lelah seperti juga Diah Kumitir. Dan tawaran Ki Sentanu rasanya sulit sekali ditolak...," kata Ki Wiranata.
"Aku pun tengah memikirkannya. Baiklah. Kalau kau pun setuju, rasanya kami tidak bisa menolak...," sahut Rangga.
Wajah Ki Sentanu tampak gembira. Bibirnya mengembangkan senyum mendengar jawaban tamu-tamunya. "Syukurlah, aku gembira sekali bisa menyambut kalian. Dan murid-muridku akan mengantarkan ke kamar kalian masing-masing...!"
Setelah berkata begitu, Ki Sentanu menepuk tangan dua kali. Maka tak lama, tiga orang muridnya segera datang ke dalam ruangan itu. "Coba kalian tunjukkan kamar bagi tamu-tamu kita ini...."
"Baik, Guru...!"
"Nah, Rangga, Ki Wiranata, dan kau Pandan Wangi. Silakan. Anggaplah seperti di rumah sendiri...!" lanjut Ki Sentanu.
"Terima kasih," sahut Rangga dan yang lain seraya tersenyum kecil. Mereka pun segera mengikuti ketiga murid Ki Sentanu, keluar dari ruangan ini.
Ki Sentanu tersenyum kecil menatap kepergian tamu-tamunya. Lalu setelah beberapa saat, dia menepuk tangannya sekali.
Tak lama seorang muridnya segera menghadap, langsung menjura hormat.
"Kemari...!"
Orang itu mendekat. Dan Ki Sentanu segera membisikkan sesuatu di telinganya.
"Mengerti...?!"
"Mengerti, Guru!"
"Bagus. Sekarang juga, kirim dua orang kawanmu untuk mengkhabarkan ini pada mereka!"
"Baik, Guru!" sahut murid itu cepat segera berlalu dari ruangan. Dan baru saja Ki Sentanu hendak keluar ruangan, Sri Kuning muncul dengan wajah cemberut. Gadis itu segera duduk seenaknya di depan orang tua itu. Dipandanginya Ki Sentanu sekilas, lalu mendengus dingin seraya mengalihkan pandang.
"Jangan bersikap seperti itu, Sri. Kita wajib menghormati tamu...," ujar Ki Sentanu, segera melangkah mendekati putrinya dan duduk di sebelahnya.
"Huh, peduli amat dengan mereka!"
Ki Sentanu tersenyum kecil. "Bagaimanapun, kau harus menjaga sikap terhadap tamu kita. Mereka pembawa keberuntungan!" kata Ki Sentanu.
"Keberuntungan apa?" tanya Sri Kuning seperti asal keluar saja suaranya.
"Kita tidak perlu repot-repot lagi mencari sepotong peta yang selama ini raib entah ke mana!" jelas orang tua itu.
Mendengar hal ini wajah gadis itu tampak penuh perhatian. "Benarkah?!"
Ki Sentanu mengangguk.
"Ayah bermaksud memintanya pada mereka?"
Tanpa menjawab, orang tua itu tersenyum lebar. "Ki Wiranata adalah keturunan langsung Ki Sendang Bodas. Dan kedatangan mereka ke sini justru menanyakan kedua sobekan peta yang tersisa...."
"Lalu?"
"Hei? Apa kau kira ayah akan menyerahkan yang sepotong itu pada mereka? Susah payah kita mencari sobekan peta itu ke mana-mana, lalu tiba-tiba saja datang sendiri melalui perantara. Mana mungkin akan kita biarkan begitu saja!"
"Ayah akan merebutnya?"
"Apa kau kira ada cara lain untuk mendapatkannya dari orang tua itu?"
"Ayah! Bila hal ini diketahui berbagai kalangan, maka nama perguruan kita akan cemar...," sahut Sri Kuning khawatir.
"Itulah sebabnya, kita akan buat kalau kejadian ini bukan dilakukan perguruan kita!" sahut Ki Sentanu cepat, seraya tersenyum penuh arti.
Sri Kuning menghela napas pelan, kemudian bangkit dari duduknya. "Terserah ayah saja...," desah gadis itu pendek, langsung meninggalkan ruangan ini.
Ki Sentanu tersenyum-senyum sendiri, membayangkan rencananya yang menari-nari di benaknya!
![](https://img.wattpad.com/cover/239104190-288-k680276.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
145. Pendekar Rajawali Sakti : Sengketa Tiga Potong Peta
AçãoSerial ke 145. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.