Secangkir Teh Hangat 1

29 3 2
                                    


Sore itu Frinscha pulang dengan lunglai. Semua pikiran indah tentang dunia pekerjaan yang ia harapkan sudah berantakan. Hari pertama perkenalan, ia sudah diejek karena tubuhnya yang besar. Ia tidak nyaman, tapi apa boleh buat, semua orang tertawa dan berpikir bahwa itu hanya candaan. Ia tidak boleh tersinggung, nanti dikira tidak fleksible dan membosankan. Sepanjang hari, ia hanya mengangkat barang-barang ke sana dan kemari atas permintaan beberapa rekannya, karena mereka berpikir Frinscha pasti kuat karena badannya yang besar. Frinscha mengira bahwa dunia pekerjaan pasti akan banyak orang-orang yang dewasa dan tidak akan menertawakan bentuk badannya, tetapi itu semua salah.

Frinscha pulang dengan tubuh yang lelah dan hati yang lemah. Ia ingin sekali segera tiba di rumah dan merebahkan tubuhnya. Tetapi jalanan kota pun seakan tidak mengijinkannya beristirahat dan terlena dalam lamunan. Padatnya jalanan kota Metropolitan sore itu begitu menyesakkan, suhu yang panas pun seakan ikut mengejek Frinscha. Frinscha melihat ke sekelilingnya, mengharapkan sebuah pemandangan yang menenangkan untuknya, namun seakan semesta tak mengijinkan. Semua terasa berat dan menyesakkan. Apakah benar karena tubuhnya yang besar ini dia akan mendengarkan "candaan" dan tawa orang-orang di sekelilingnya terus menerus? sepanjang hidupnya? Ia pun mulai menyalahkan Mama nya, dalam hatinya, ia mulai menyalahkan keluarganya yang memang berisi orang-orang yang berbadan besar dan sulit sekali untuk mengecilkan badan. Ia juga jadi teringat kata-kata orang-orag di kantornya tadi ketika meminta tolong kepadanya untuk mengangkatkan galon,

"Mbak, OB lagi nggak ada, bisa tolong diangkatkan galonnya? air dispenser habis. Kan Mbak badannya besar, pasi kuat. Biar olahraga dikit, kali aja badannya bisa kecilan dikit, biar gampang jodohnya."

"Apa mungkin mereka mengira aku tidak pernah berolahraga? atau mungkin mereka mengira aku malas? semudah itu mereka menilai hidup seseorang hanya karena bentuk badan." pikiran Frinscha dipenuhi dengan banyak pertanyaan.

Tak terasa, Frinscha sudah berbelok menuju sebuah gang. di ujung gang itu terdapat sebuah rumah yang sederhana. Temboknya bercat putih dan pagarnya bercat hitam. Ia berhenti di depan pagar itu dan membukanya, lalu memasukkan sepeda motornya ke dalam garasi. Dari sana, ia nampak Mama sedang meletakkan dua cangkir teh hangat di meja ruang depan. Ia terdiam melihat sosok Mama nya yang berdaster, memiliki tubuh yang sama besarnya dengannya tapi dengan tinggi yang sedikit lebih pendek. Rambut Mamanya yang pendek berwarna hitam pekat dan tebal. Ia sangat suka tidur dalam pelukan hangat lengan Mamanya yang hangat. Tiba-tiba terdengar Mamanya berkata,

"Nggak masuk, Mbak? Kok bengong aja di luar?"

"Iya, Ma. Frinscha masih naruh helm" Sahut Frinscha terhenyak dari lamunannya

"Mandi dulu terus di minum tehnya. Biar seger" kata Mama

"Iya, Ma. Frinscha taruh tas di kamar dulu" jawab Frinscha

Setelah mandi dan berganti baju, Frinscha duduk di ruang depan, di samping Mamanya yang sudah mulai meniup-niup teh hangatnya. Frinscha memandang Mamanya dan mengingat kebiasaan Mamanya sejak ia masih kecil. Ketika Almarhum Papanya pulang adri kantor, Mamanya selalu menyambutnya dengan secangkir teh, lalu setelah Papa mandi, Papa dan Mama akan duduk berdua dalam diam sambil minum teh hangat berdampingan. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap, hanya sesekali Papa memandang Mama, atau Mama yang memandang Papa, seakan menunggu satu sama lain memulai pembicaraan tetapi tidak ada yang membuka suara. Frinscha mengingat hal itu dan sembari tersenyum kecil, ia mengambil cangkir tehnya dan mulai meminumnya perlahan. Tidak ada suara yang memecah keheningan ini. 

Sesekali ketika rasa teh yang pahit terasa dalam mulutnya, ia pula memikirkan hal-hal yang buruk yang pernah menimpanya. Tetapi setiap rasa manis gula menyerbakkan aromanya dalam lidah, ia pula mengingat masa-masa indah dalam hidupnya. Pikiran-pikiran itu datang dan pergi bergantian seakan menemaninya menghabiskan secangkir tehnya.

Secangkir teh yang tidak memiliki suara dan kata, tetapi memberikan banyak makna dalam kehidupan. Masa-masa minum teh dalam diam yang seakan nampak canggung dan aneh ini, tapi untuk Frinscha malah menjadi masa di mana Mamanya memberikan perhatian paling khusus padanya. Dalam diam, secangkir teh membantu Frinscha mengingat kembali bahwa hidup dan kehidupan bukanlah sesuatu yang harus dirasakan menyenangkan saja. Seringkali sesuatu yang manis, hanya terasa sekejap saja dan terasa pahit kemudian. Tetapi pahit itu tidak melulu menyakitkan, tetapi juga bisa membilas racun-racun dalam diri kita. Dan ketika kita memahami makna keseimbangan antara manis dan pahit kehidupan, maka yang terasa adalah rasa hangat yang menyebar dalam hati dan pikiran kita. 

Secangkir teh hangat buatan Mama memang yang terbaik.

Selamat merayakan waktu minum teh mu...


Secangkir Teh Hangat Buatan MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang