Ranjang Sahabat

26 0 0
                                    

"Kita, akhiri hubungan ini."

Netraku membulat seketika. Tak ada angin, tak ada hujan Mas Lucky mengatakan itu? Bercandanya sangat keterlaluan.

Apa dia sedang prank? Sekarang bukan ulang tahunku atau tanggal jadian kami, lalu?

"Mas, gak lucu bercandanya." Kuraih tangannya dan dengan kasar ia hempaskan membuatu hampir terjatuh.

"Jangan sentuh, aku! Murahan, kau menjijikan Aziel!"

Netranya memerah kilatan amarah terpancar jelas. Tak ada kelembutan seperti biasanya. Urat-urat menegang di lehernya.

"Mas?"

Tak sanggup kutahan akhirnya air mataku luruh. Orang tuaku tidak pernah membentak ataupun berkata kasar, ada apa dengan dirinya?

"Kita akhiri hubungan tak jelas ini. Benar, kau memang tak pantas untukku. Derajat kita berbeda dan dirimu ...." Mas Lucky menatapku remeh. Dia yang meruntuhkan benteng percaya diriku yang dirinya bangun sejak dulu.

Apa salahku? Aku tak pernah memaksanya untuk menjalin hubungan. Bahkan saat keluarganya menghinaku aku tidak pernah meminta pembelaan darinya.

"Apa salahku?" tanyaku memberanikan diri menatapnya.

Dia menarik syalku yang terhempas langsung ke rumput.

"Lihat! Kau, baru dipakai siapa huh? Butuh uang hingga menjual diri? Katakan!"

Tanda merah di leher yang kututupi kini terpampang jelas. Menjijikkan.

Deg!

Bugh!

Mas Lucky mendorongku kasar. Mulutku terkunci, rasanya cukup sakit. Andai saja aku tak menemui si berengsek itu mungkin ini takkan terjadi.

"Mas, dengarkan penjelasanku dulu." Mas Lucky bahkan enggan menatapku.

"Tak ada yang perlu dijelaskan."

Dia melangkah menuju kuda besinya.

"Argh!" Kesal, kecewa dan sedih kurasakan begitu bercampur.

Kenapa Mas, tak mau mendengar penjelasanku? Kukira dirimu aku mengerti, memahami semuanya bahkan untuk bertanya keadaanku pun dirimu enggan.

Inikah balasan rasa setia selama lima tahun ini? Ke mana janji dan kata manismu dulu? Ke mana dirimu yang selalu membelaku mati-matian? Di mana perhatianmu ketika melihat air mataku jatuh?

Pertama kalinya Mas Lucky, membahas soal derajat di antara kami. Rasanya cukup sakit. Dia yang meyakinkan lalu menghancurkan.

Rasa sakit dan trauma itu masih membara ditambah luka rasa tak dipercaya. Bolehkah kupinta sesuatu? Putuskan kontraku di dunia ini. Jika bunuh diri dihalalkan mungkin jalan itu yang kuambil, tetapi aku tahu azab bunuh diri itu sangat pedih.

***

Satu minggu berlalu. Nomor Mas Lucky, tak bisa dihubungi. Pesan pun tak dibalas bahkan sepertinya nomorku telah diblokir. Sebegitu marahnyakah dirimu?

"Ziel, ada temanmu," ujar Ibu.

Teman siapa? Dila?

Aku segera bangkit. Netraku sembab, bahkan untuk menghindari pertanyaan orang tuaku pun sulit.

Netraku menyipit memastikan siapa yang bertandang.

Dicki, Ira?

"Ada apa?" tanyaku to the point. Aish! Sejak dulu tak bisa yang namanya basa-basi.

Kulirik Dicki menatapku iba. Biarlah, tak diri ini pedulikan tatapannya.

Tak jauh beda dari Dicki, Ira pun menatapku penuh prihatin. Ada apa dengan mereka berdua.

Ranjang Sahabat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang