Part. 1 - Perjodohan

14 0 0
                                    

Sebelum membaca subscribe or follow dulu ya kak. ☺️

.

.

.

Menikah dengan lelaki asing tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Di usia nyaris dua puluh dua tahun, menamatkan pendidikan sarjana dan memilih untuk menjadi relawan di sebuah panti asuhan dan rumah singgah, aku nyaris tidak pernah berhubungan rasa dengan lelaki manapun.

Didikan ayah dan ibu untuk selalu menjaga pandangan dan jarak dengan lawan jenis begitu melekat, walaupun sesungguhnya disetiap doa selalu berharap akan berjodoh dengan lelaki yang kucintai.

"Kenapa secepat ini Bu, Naya bahkan belum mengenalnya, dan malam ini akan langsung lamaran." Aku mencoba menolak saat ayah dan ibu memberitahu tentang kedatangan laki-laki itu.

"Dengar sayang, dia bukanlah orang asing, kami sudah lama mengenalnya. Dan sebenarnya rencana pernikahan ini sudah tertunda lama, karena ada sedikit musibah dikeluarga Radit."

Yah, nama lelaki itu Radit, usianya tiga puluh tiga tahun. Pengusaha pakaian muslim yang sudah memiliki beberapa cabang di kota lain. Dan menurut orang tuaku, seharusnya lamaran ini telah berlangsung sejak dua tahun yang lalu, tepat saat ulang tahunku ke dua puluh.

Dan disinilah aku, menggunakan kebaya putih dengan bawahan kain batik coklat bermotif khas Solo.

Banyak yang berkata kalau riasanku sangat cantik, tapi aku tidak peduli. Ayah dan ibu mengatur semua sedemikian rupa, tidak ada kesempatan untuk menolak ataupun menunda. Perjumpaan yang hanya sekali di malam lamaran tidak bisa menimbulkan rasa yang seharusnya ada.

"Sah" kalimat itu pun terdengar, ibu datang menjemputku ke kamar, menuntun keruangan akad yang begitu indah. Menyandingkan dengan lelaki yang telah menyebut namaku beberapa waktu yang lalu.

"Ayo Nay, cium tangan suamimu."

Dan untuk pertama kalinya aku menatap wajah itu dari dekat, mata yang teduh, hidung yang mancung, alis yang nyaris menyatu dan kulitnya yang bersih. Tidak putih, tapi terlihat menawan.

"Naya, kok malah melamun ... ayo cium tangan suamimu." Suara ibu kembali menyadarkanku. 

Seperti terhipnotis aku pun mencium takzim tangan itu, dan dia membalas dengan mencium keningku. Ada desiran aneh saat bibir itu menyentuh kulitku.

Lalu semua ritual pun kami jalani, hingga tiba saat untuk sungkeman kepada kedua orang tua. Aku berpikir kami akan bersimpuh dilantai seperti yang selama ini aku saksikan jika ada saudara atau kenalan yang menikah, tapi tidak ... kami melakukannya dengan berdiri, laki-laki itu seperti kesulitan jika harus berlutut atau duduk dilantai.

Dan semuanya berakhir nyaris tengah malam, akad nikah yang dilanjutkan dengan resepsi ternyata sangat melelahkan. Entah berapa banyak orang yang harus kami salami, dan ketika ibu mengatakan acara sudah selesai aku pun langsung ke kamar, dengan satu tujuan ... mandi air hangat, tubuh dan jiwaku butuh rileksasi.

Nyaris setengah jam, hingga sebuah suara mengetuk pintu kamar mandi. "Naya, kamu masih lama mandinya, saya juga mau mandi Nay."

Astaghfirullah, aku lupa kalau laki-laki itu pasti akan berada dikamar ini juga. Dengan terburu-buru aku kenakan bathdrobe, tak lupa melilit rambut dengan handuk, lalu keluar.

"Maaf kak, aku kelamaan."

"Gak apa-apa Nay, saya bersihkan diri dulu ya, setelah itu kita sholat sunnah."

Dia berlalu tanpa menatapku, dan ini cukup melegakan, karena aku tidak terbiasa berhadapan dengan lawan jenis tanpa menggunakan hijab.

Dan apa tadi, dia bicara sangat kaku, aku seperti berhadapan dengan dosen pembimbing saat mendengar kata "saya" itu.

Mencoba menjalani takdir, itulah yang ada di pikiranku. Ayah dan ibu tidak mungkin salah dalam memilihkan jodoh.

Berpakaian yang baik dan langsung mengenakan mukenah, sholat sunnah adalah ibadah yang pertama kali dilakukan agar Allah selalu memberkahi pernikahan ini. Itu juga yang diingatkan ibu saat mengantarku ke kamar tadi.

Dan pintu kamar mandi pun terbuka, dia keluar, tapi apa ini ... kenapa hanya ada satu kaki, mana kaki kirinya.

"Kamu ... itu maksudnya apa! Ka-kamu cacat!?" Dan semuanya pun menjadi gelap.

Entah berapa lama aku pingsan, tapi saat terbangun ibu sudah duduk di pinggiran ranjang, sementara ayah duduk di kursi meja rias.

"Ibu, dia ... Ayah, katakan kalau ini hanya mimpi. Kalian tidak mungkin menikahkan aku dengan orang cacat kan!"

"Tenang Nay, istighfar ... Radit mengalami kecelakaan dua tahun yang lalu, kaki kirinya terluka parah, bahkan nyaris hancur karena terlindas truk yang menabraknya. Karena itu sebagian harus diamputasi, dan Radit harus menggunakan kaki palsu bawah lutut." Ibu mencoba memberi penjelasan tentang kondisi yang sebenarnya.

"Kecelakaan itu juga yang menunda lamarannya saat itu, bahkan sebenarnya Radit dan keluarganya sudah ingin membatalkan, tapi Ayah meyakinkan mereka untuk tetap melanjutkannya." Kali ini ayah yang bersuara.

Duniaku terasa berputar, apa seburuk ini takdirku hingga menikah dengan orang cacat, dan tanpa bisa ditahan lagi aku meluapkan rasa kecewa, aku menangis, berteriak dan meronta saat ibu ingin memeluk.

"Tapi Naya tidak bisa Ayah, bagaimana mungkin harus menjalani hidup dengan suami yang cacat, Naya ... jijik melihatnya." Akhirnya kata itu terucap juga, dan aku tidak peduli kalaupun laki-laki itu mendengarnya.

Ayah merengkuhku, memeluk erat dan terus memintaku untuk istighfar, hingga laki-laki itu muncul yang entah sejak kapan.

"Kalian bicaralah, dan kamu Nay, Ibu harap kendalikan dirimu, Allah tidak akan meridhoi seorang istri yang bersikap buruk terhadap suaminya."

Suasana pun menjadi hening, seiring keluarnya ayah dan ibu dari kamar, dan tiba-tiba laki-laki itu mendekat.

"Naya, maafkan saya ... saya kira kamu sudah tahu semuanya, tapi ternyata ...."

"Menjauhlah Kak, dan mohon ampuni aku, tapi sungguh ... aku tidak ingin melihat atau mendengarkan apapun darimu saat ini."

Aku berkata tanpa peduli dia akan tersinggung atau tidak. Rasanya tidak bisa diungkapkan, setelah mencoba ikhlas menerima perjodohan ini, tapi kenyataannya sangat menyakitkan.

Dia pun bangkit dari sisi ranjang yang tadi didudukinya, mengambil bantal dan menuju sofa panjang yang sebelumnya selalu aku gunakan untuk membuat karya tulis atau proposal untuk donatur.

Lelah yang luar biasa, dan aku pun tertidur setelah memastikan laki-laki itu berbaring di sofa, dia meringkuk, dan kurasa bukan karena kedinginan, tapi karena ukuran sofa yang tidak cukup menampung tubuhnya. Sudahlah, aku juga tidak peduli bagaimana dia tidur.

Dia SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang