Satu

1.1K 30 1
                                    


Vella menghentakkan kakinya keras. Apa-apaan bunda seenaknya saja menjodohkannya dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal.

"Ndaa, aku tuh mau wisuda dulu. Mau kerja, lagian aku punya pacar," rengek Vella.

Bunda menggelengkan kepalanya.

"Lanjutin kuliahnya sampai wisuda, tapi sekarang kamu nikah dulu. Atau, seenggaknya tunangan."

"Tapi aku gak mau, Bunda."

"Dia calon imam yang baik buat kamu," ucap Bunda sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya.

Vella berlalu ke dalam kamar. Ia tak habis pikir, kenapa Bundanya selalu kukuh ingin menjodohkannya dengan pria yang tidak ia kenal? Gadis itu meraih kerudung bewarna peach lalu mengambil kunci motornya. Mau tidak mau, ia harus menumpahkan kekesalannya pada Aletta, sahabatnya sejak Smp.

"Aku pergi dulu, Assalamualaikum!" Sejujurnya, ia masih kesal namun tak ingin berlanjut.

Jalanan cukup sepi, ia merogoh ponsel dan mengetik beberapa pesan untuk Aletta.

'TIIINN..!'

Ponsel miliknya reflek terlepas hingga membentur jalanan dengan keras. Ponsel malang, ia retak secara mengenaskan.

"Heh, turun lo!" bentak Vella marah. Ia bahkan menendang pintu mobil bewarna putih itu dengan keras. Lengkap sudah kekesalannya hari ini.

"Iya, kenapa ya Mbak?"

"Masih pake nanya kenapa, lo gak liat gue lagi bawa motor heh?!"

Lelaki itu menggeleng, "Enggak. Saya liat mbak-nya lagi main hp. Dari pada terjadi yang enggak-enggak mending saya tegur aja," ucapnya tenang bagai tanpa bersalah.

Vella geram. Ia memungut ponselnya yang retak dengan tidak sabaran sehingga ponselnya kembali jatuh mencium aspal.

"Liat nih, liat! Mending lo tabrak aja gue tadi, jadi HP kesayangan gue gak rusak!"

"Mbak yakin?" tanyanya. Ia tersenyum kecil. Sangat menyebalkan.

"Enggak lah, bego! Gimana nih HP gue rusak!"

"Boleh saya liat?"

"Gak! Enak aja mau liat-liat HP gue, ntar makin rusak kena bakteri corona dari tangan lo!" sewot Vella kesal. Ia mengelus retakan ponselnya. Matanya berembun melihat kondisi Hp yang menurutnya mengenaskan.

"Mbak jangan nangis. Sini, saya liat dulu Hp-nya. Kalo gak bisa nyala ntar saya ganti," ucapnya.

Vella merasa luluh. Ia menyerahkan ponselnya pada si pelaku yang menurutnya harus dibuang ke black hole sebab bumi terlalu baik mau menampung orang seperti lelaki di depannya.

"Ponselnya masih hidup kok mbak, layarnya juga gak papa. Ini ada pesan dari Tata Sayangku, katanya ditunggu di tempat biasa," ocehnya.

Vella menautkan alisnya, pria di depannya sangat tidak sopan membaca pesan orang lain.

"Lancang banget lo baca pesan gue!" Vella merebut ponselnya secara kasar. Dan lagi, belahan jiwanya kembali terjatuh menyentuh jalan. Tangisnya pecah.

"Mbak kenapa?" ia berjongkok di hadapan Vella yang sedang tersedu menatap benda petak persegi bewarna pink pastel dengan layar retak.

"Nanti saya ganti yang baru. Saya janji," ucapnya lembut.

Vella menggeleng pelan, ia meraih ponselnya lalu memasukkannya ke dalam saku. Percuma saja meladeni pria tak dikenal ini, semakin membuatnya sial.

Tanpa menoleh ataupun mengoceh, Vella memacu motornya meninggalkan manusia menyebalkan itu.

Tanpa di duga, pria itu tersenyum tipis menatap punggung Vella yang kian menjauh.

•••

"POKOKNYA GUE TUH KESEL BANGET, TA! GUE GAK MAUUU!" jerit Vella sebal.

Di sinilah mereka sekarang, di dalam cafe yang ramai. Vella tak peduli akan tatapan pengunjung yang melihatnya miris ataupun orang-orang sok hits yang merekam kekesalannya secara diam-diam. Dirinya hanya butuh Aletta saat ini. Hanya Aletta yang mampu mengerti dirinya setelah Ayah.

"Tenang, kita bakal pikirin jalan keluarnya bareng-bareng," ucap Aletta pelan. Ia memeluk Vella dari samping.

•••

Sore tiba, mau tidak mau Vella harus pulang dan berpisah dengan Aletta.

•••

"Assalamualaikum, Bunda. Aku pulang," ujar Vella seraya membuka pintu dan berlalu begitu saja ke kamarnya.

"Waalaikumsalam, eh anak gadisku sini dulu deh. Nyosor aja kayak bebek kebelet bertelur," oceh Bundanya ngasal. Vella menoleh. Sedetik kemudian matanya membesar.

"Ngapain lo di sini, heh! Tadi udah rusakin hempon gue, sekarang lo mau rusakin tipi gue ya?!" tunjuk Vella. Ia menunjukkan tampang antagonis seperti di film. Namun, ekspresinya tersebut malah membuat Bunda dan pria itu tertawa.

"Liat Dion, Ela ini lucu kan?" tanya Bunda. Pria itu mengangguk.

"Kenalan dulu atuh, jangan ngamuk-ngamuk aja sih, neng. Ntar cepet tua loh," Bunda meraih tangan Vella agar mendekat.

"Aku masih 20, Nda. Masih lama buat jadi tua."

"Saya Dion Arthare, calon suami kamu," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Vella menjabat dengan enggan.

Bodo amat sih, mau Dion Arthare atau Dionosaurus, Vella sangat tidak peduli dan tidak mau ngurus. Ia masih kesal lantaran pria itu yang membuat ponselnya jadi retak dan sekarang apalagi? Ia dengan santainya mengaku sebagai calon suami.

"Oh!" seru Vella dengan nada kesal. Ia melirik Bunda dengan tatapan jengkel.

"Nama kamu siapa?" tanyanya pelan. Vella masih belum sadar jemarinya belum melepas jabat tangan pria di depannya ini.

"Vella Lucinta Luna Mimi Peri Rapunzel."

Bunda mencolek bahu anak gadisnya cepat.

"Queena Vellarentika," ucap Vella cepat.

"Tangan saya kok di pegang terus?" goda Dion.

Tersadar, Vella segera melepaskan dengan cepat sebelum Dion merusak tangannya seperti ponselnya yang malang.

"Ogah banget ya, gue pegang terus. Minggir lo, gue mau tidur!" Desisnya judes lalu berlalu cepat ke kamar.

Sesampai di ruangan bewarna putih itu, ia membuka kerudung dan celana levis lalu menggantinya dengan baju tidur bahkan Vella belum mandi sekalipun.

Pintu kamar terbuka, Bunda berdiri dan menatap Vella yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya.

"Kok udah pake baju tidur? Udah mandi emang?" tegur Bunda. Vella mengerucutkan bibirnya dan menggeleng cepat.

"Jorok banget sih kamu. Mandi sana, trus pake jilbab dan temui Dion. Atau Bunda kutuk jadi butiran debu!" ancam Bunda. Vella hanya mendengus pasrah. Ia meraih handuk dan berjalan ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

Vella lalu...

Next Or No?

Jodoh atau Bukan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang