Wanita itu, Anna, datang kembali ke ruko. Mengambil gamis dan hijab seragam komunitas pengajiannya. "Aku menyukai jahitanmu, Mbak Citra. Rapi, pas di badan."
"Suamiku bilang penjahit langganan pegawai Pemda bermasalah. Kemungkinan besar mereka akan memilih penjahit baru. Aku pikir Mbak akan tertarik mengikuti lelang seragam baju Pemda di balai kota. Mbak bisa menghubungi nomor ini untuk presentasi."
Dia menuliskan nama lembaga pemerintahan penyelenggara lelang dan nomor kontaknya.
****
Aku berhasil memenangkan lelang membuat seragam pegawai Pemda. Presentasi dan contoh pakaian yang kubawa membuatku mampu menyisihkan beberapa konfeksi besar peserta lelang. Setelah membuat MoU dan menerima uang muka, aku membeli tiga mesin jahit dan mengunjungi beberapa kantor marketing pabrik tekstil mencari jenis kain dengan tekstur terbaik sesuai permintaan. Awal yang baik harus diimbangi dengan hasil yang baik.
Bersama dua karyawanku, Dian dan Syamsul, kami berkeliling ke beberapa kantor dinas untuk mengukur pas badan pegawai. Aku tak memusingkan keluhan beberapa orang dari mereka yang merasa kesal gajinya dipotong untuk membuat seragam, meski kutahu alasan dibaliknya. Banyak aparat yang memakai seragam tak sesuai peraturan Mendagri.
Dinas Sosial, aku membaca plang besar sebelum masuk ke lobi gedung. Seperti biasa, aku bersama Dian dan Syamsul melakukan tugas di ruangan yang berbeda. Para pegawai wanita tak nyaman berada di ruangan umum saat melakukan ini.
Pekerjaanku selesai lebih awal karena pegawai wanita tak sebanyak pegawai pria. Kami sedang mengobrol bersama salah satu staf saat seseorang datang menghampiri,
"Maaf, Bu Citra. Pak Kadis mendadak harus rapat dinas dengan Pak Walkot. Saya lihat Pak Syamsul masih kerepotan karena bapak-bapak masih mengantri."
"Bisakah Ibu yang mengukur beliau?"
Aku berdeham kurang nyaman. Sejak hijrah sepuluh tahun lalu, aku mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk menjaga jarak dengan lawan jenis.
"Jika Ibu kurang nyaman, saya bisa temani." Wanita yang belakangan kuketahui bernama Bu Siska dari Sekretariat Dinas menemaniku ke satu ruangan yang berada paling ujung.
Dia mengetuk dan membuka pintu setelah sebuah suara mempersilakannya masuk.
Ruangan besar terhalang kaca riben terbagi menjadi dua bagian; satu bagian dengan satu set meja rapat dan proyektor di atasnya, satu bagian lain meja kerja, dan satu set sofa. Seseorang tampak sedang membaca dokumen dari balik dinding kaca.
"Silakan masuk, Bu. Saya menunggu di sini." Bu Siska duduk di salah satu kursi di meja rapat.
"Lho, kok?" Aku tak nyaman.
"Tenang saja, Pak Kadis nggak gigit, Bu." Dia tersenyum menenangkan.
Aku mengucap salam saat memasuki ruang lainnya. Seketika aku terkejut saat kepalanya terangkat naik dan tersenyum.
"Selamat datang, Citra. Sejak menerima jadwal pengukuran seragam pegawai, aku tak sabar menanti kedatanganmu."
Pria itu melangkah maju yang otomatis membuatku mundur beberapa langkah.
"Bukankah kau harus mengukur badanku? Ayo, aku sudah siap." Dia merentangkan kedua tangannya ke samping.
Dengan tangan gemetar di bawah tatapan teduh netranya, aku mengukur lingkar pinggang pria ini.
"Kamu tetap cantik seperti dulu, Citra," rayunya dengan suara lirih.
"Berbalik," perintahku sambil mengukur lebar bahunya.