BAB 2

10 2 0
                                    

Sungguh benar-benar hal yang ajaib. Baru semalam Shilla mengoleskan salep itu ke bagian kakinya yang kesleo sekarang sudah kembali membaik. Bahkan Shilla sudah bebas menggerakkan kakinya sesuka hati atau berlari seperti pagi tadi di halaman rumahnya untuk sekedar uji coba dan benar saja, tidak terasa sakit sama sekali. Shilla merasa senang kakinya sembuh secepat ini, karena jika tidak entah bagaimana lagi. Ia termasuk gadis yang tidak bisa diam. Sering kali teman-teman nya mengeluh dari ulah Shilla yang bolak-balik ke kantin membeli cemilan atau saat Shilla mengantarkan kertas ulangan kelas 12 yang letaknya di lantai 3 dengan naik tangga padahal sudah tersedia lift. Entah energi dari mana yang shilla dapatkan. Mungkin karena salah satu hobi olahraganya adalah berlari.

Tangan kanan Shilla menggenggam saleb dari Arvan. Sekarang adalah jam istirahat sekolah. Sebenarnya shilla tidak tau kemana dia harus pergi mencari Arvan di saat jam seperti ini. Kebanyakan siswa-siswi menghabiskan waktu mereka di kantin sekolah atau tempat nongkrong favorit mereka yang tentu saja bukan kelas. Tidak menyenangkan jika sudah seharian bekutat di ruangan itu dan tetap tinggal disana di saat yang lain berusaha mengusir kejenuhan.

"Shilla." Suara itu. Shilla sangat mengenalnya. Ia berbalik menoleh ke arah sumber suara kemudian tersenyum ke arahnya. "Gevan."

Senyuman itu dibalas balik ke arah yang memberikan senyuman. "Kamu mau ke atas?" Shilla menghadap ke arah tangga di depannya teringat akan tujuan awalnya tadi. "Oh, iya, nih. Mau ke kelasnya, Kak Arvan. Lo tau dimana kelasnya?"

"Oh, kelas Arvan. Tau kok, gue anterin."

"Oke!" Keduanya berjalan beriringan menaiki tangga. "Lo ada urusan apa ketemu Arvan?" tanya Gevan.

"Oh, itu. Kemaren kaki gue keseleo waktu diparkiran pas mau pulang, terus ditolongin sama, Kak Arvan nih," Shilla menunjukkan saleb yang dibawanya. "Kak Arvan ngasih saleb ini buat ngobatin kaki gue yang keseleo, tapi sekarang mau di kembaliin soalnya udah sembuh. Kemaren udah dikasih tau sih kelasnya dimana. Tapi gue lupa." ucap Shilla sambil menyengir.

"Hah!" Sedikit menaikkan suaranya dan bersamaan dengan langkah Gevan yang terhenti yang membuat Shilla juga ikut berhenti. "Kenapa lo nggak kabarin gue aja sih, gue kan bisa bantuin lo, anterin pulang kek."

Kening Shilla berkerut memandang raut wajah Gevan yang sudah berubah. "Udah gapapa kali, lo gak perlu khawatir. Kaki gue aman. Lagian nungguin lo, keburu kaki gue jadi bengkok, kaya kakinya kambing."

"Tau gitu kita gak usah naik tangga. Kenapa nggak ke lift aja, sih."

"Lo, kayak nggak tau aja gue gimana,"

"Serius?"

"Dua rius malah. Udah, ah kalo gak percaya, terserah."

Gevan meringis mendengar jawaban dari Shilla.

"Kenapa?" Shilla memicingkan sebelah mata. "Kita lanjut naik. Tapi kali ini hitungannya dua tanjakan." Tanpa menunggu, kaki Shilla dengan lincah bergerak sesuai intruksinya dengan langkah 2 tanjakan. Kaki kanan dan kirinya silih berganti menaiki tangga. Shilla ingin membuktikan bahwa dia tak bohong dengan ucapanya dan kakinya memang baik-baik saja.

Sebuah tangan berhasil menangkap lengan Shilla dan tentu saja itu tangan Gevan. "Gue percaya. Udah ya, kita jalan kayak biasa aja."

"Lo sih, nggak percaya kaki gue emang nggak apa-apa." Senyum Shilla mengisyaratkan kepuasaan. "Cewek gak boleh lemah. Dan lo juga jangan mikir gitu. Kalau perempuan itu semuanya lemah. Cewek itu memang butuh dilindungi. Tapi ada kalanya juga cewek berperan buat melindungi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENUNGGU MELODITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang