FL | 02

103 16 0
                                    

✿✿✿

Sikapnya acuh. Tak sedikitpun merasa bersalah karena telah melakukan kesalahan setelah malam-malam kelayapan di luar, masuk ke klub bersama teman-teman nakal tanpa memikirkan diri sendiri.

Gadis itu.

Iqbaal mengeram.

Dia benar-benar keterlaluan. Nakal dan liar.

(Namakamu) mendesah malas. Kedua kakinya diangkat naik ke sofa, ia lalu merebahkan diri sambil bermain handphone. Mengabaikan Iqbaal yang sedang mondar-mandir tidak menentu.

Sikap tak peduli dari (Namakamu) membuat Iqbaal berhenti dari aktivitas tak bergunanya. Ia berdiri tak jauh dari sofa tempat (Namakamu) berbaring. Ia berkacak pinggang sambil menatap gadis itu dengan sorot tajam.

"Bisakah kau sekali saja tidak berulah?"

Dari suaranya terdengar marah. (Namakamu) sadar benar akan hal tersebut, namun ia tetap cuek karena ia tahu bahwa Iqbaal tidak akan bisa menyentuhnya barang sehelai rambutpun.

"La la la."

Iqbaal menangkup wajahnya. Astaga, rasanya ia ingin mengamuk habis-habisan di rumah ini. Ingin sekali ia hancurkan semua isi-isinya.

(Namakamu) melirik kearah Iqbaal. "... aku sudah cukup baik kok." Jawabnya datar lalu kembali bermain dengan handphonenya.

"Tidak." Iqbaal melepas kacamata frame miliknya untuk memijat pangkal hidungnya. "Kau nakal... dan kau sangat liar." Kelopak sipitnya terkatup selama melakukan pemijatan.

(Namakamu) mendesah kasar. "Sadarlah, aku nakal gara-gara siapa?" Ia bangun dengan cepat. Kembali duduk seperti awal memasuki rumah. "Kaulah yang menjadi gara-gara kenakalanku." Iqbaal menatapnya dengan tangan terjuntai di sisi tubuhnya. Kacamatanya masih berada dalam genggaman. "... kau dan Paula."

"Ada apa ini?"

Kedatang seseorang mengintrupsi perdebatan mereka. (Namakamu) melayangkan tatapan sinis kepada si pendatang.

Iqbaal memutar kepalanya kebelakang dan menatap Paula yang baru saja pulang dari Rumah Sakit. "Hanya masalah kecil." Jawabnya lalu tersenyum sebagai sambutan atas kepulangan istrinya.

Paula menilik tangan Iqbaal, di mana saat ini (Namakamu) sedang susuk anteng disofa ruang tamu. "Sekarang apa lagi, (Namakamu)?" Tanyanya.

Gadis itu mendecih pelan, masa bodoh dengan pasutri tersebut dan ia memilih pergi dari tempat memuakkan ini. Berlari meniti tangga dengan penuh kekesalan dan meninggalkan Iqbaal dan Paula berduaan.

Hening.

Iqbaal mengenakan kembali kacamata kotak miliknya. "Anak itu ketahuan bermain di klub." Jelasnya sejujur mungkin, ia tak suka berbohong selagi tidak ada yang memaksa.

"Bagaimana bisa?!" Tentu saja Paula terkejut. Walaupun (Namakamu) adalah adik tirinya bukan berarti dia tidak sayang, bahkan lebih ia sayang daripada menyayangi adiknya sendiri.

Ayah Paula dan ibu (Namakamu) menikah empat belas tahun yang lalu,pada saat usianya sepuluh tahun. Ia mendapat ibu tiri baik hati serta adik manis yang memanggilnya dengan sebutan kakak.

Sekarang adik kecilnya kini sudah tumbuh menjadi gadia dewasa berparas jelita. Dari usia tujuh tahun hingga beranjak usia dua puluh satu tahun. Selama hidup bertahun-tahun bersama, menjalani kehidupan normal layaknya saudara kandung. Mereka sangat dekat dan sering berbagi dalam segala hal.

Bahkan kedekatan mereka melebihi saudara kandung.

Namun sayang, sejak satu tahun belakangan ini (Namakamu) telah banyak perubahan. Tidak ada lagi adik kecil manis milik Paula. Dia telah berengkarnasi menjadi gadis jahat penyimpan kebencian.

Entah benci kepada siapa, tetapi yang Paula tahu (Namakamu) hanya benci kepada ibu dan ayah tirinya dengan alasan pilih kasih. Mereka memang pilih kasih, ini dan itu selalu Paula yang dinomor satukan, sementara (Namakamu) tersisihkan seperti anak tiri.

Biarpun disikapi tak adil, kasih sayang (Namakamu) terhadap Paula tidak berubah sedikitpun. Mereka saling menyayangi sepanjang masa, hingga akhirnya perubahan drastis (Namakamu) terjadi setelah Paula menikah dengan Iqbaal.

Sayangnya Paula tidak menyadari kebencian (Namakamu) terhadap dirinya. Ia bahkan tidak tahu sama sekali bahwa (Namakamu) membenci dirinya, yang ia tahu (Namakamu) sayang padanya.

Antara benci dan sayang. (Namakamu) terjebak dalam dua perasaan yang saling berlawanan. Benci dan sayang berpadu menjadi satu kepada sang kakak.

"Syukurlah ketahuan olehmu." Paula tersenyum lega. Sebagai kakak ipar Iqbaal sudah menjalankan tugas layaknya seorang ayah. Dia suami terhebat, tidak sia-sia ia menangis dan memohon kepada sang ayah untuk dinikahkan dengan Iqbaal.

"Hanya kebetulan, kalau bukan karena Aldi maka aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi kepada (Namakamu)."

Paula mendekat kepada Iqbaal. "Aku tidak bisa mendidik (Namakamu) tanpamu. Terimakasih atas bantuanmu." Ia lantas menarik suaminya. Memeluk erar tubuh tegab tersebut.

Iqbaal menatap mengelus puncak rambut Paula. "Kita sudah berjanji kepada ayah dan ibu agar selalu menjaga (Namakamu). Aku hanya menjalankan amanah, tidak lebih dari itu." Ujarnya.

Wanita berkemeja putih itu menadahkan kepalanya. Menatap paras tampan suami nya melalui ujung dagu yang lancip itu. "Maaf ya karena (Namakamu) sering merepotkanmu. Aku tidak bisa meninggalkan (Namakamu) begitu saja di rumah itu, sudah menjadi tugasku untuk merawat dan melindungi dia. Kalau tetap di rumah itu aku tidak akan tahu ayah akan melakukan apa saja kepada (Namakamu)... ayahku terlalu berbahaya untuk (Namakamu)."

Senyum tipis tersungging di bibir merah milik Iqbaal. "Ya, aku mengerti."

Paula kembali memeluk tubuh Iqbaal usai mendapatkan jawaban singkat. "Aku lelah sekali." Keluhnya. Menjadi dokter tidaklah mudah, namun berkat profesi itulah ia mengenal Iqbaal. Gara-gara sakit mata. Sederhana sekali.

"Kalau lelah di bawa istirahat."

"Mandi dulu lah."

"Hn."

Pipi Paula mengembung. "Kenapa jutek? Sedang ada masalah?" Kalau tiba-tiba cuek tidak lain lagi pasti ada masalah.

"Masalah kantor." Jawab Iqbaal cuek.

Paula menghela nafas. "Sepertinya aku harus bicara dengan ayah agar posisimu diangkat lagi."

"Itu tidak perlu." Lelaki itu langsung menolak rencana Paula. "... menjadi tangan kanan ayahmu saja sudah lebih dari cukup. Aku tak mengharapkan lebih dari itu." Karena pada dasarnya ia sendiri tidak tahu akan berapa lama lagi mengabdikan dirinya kepada Champion Corp.

"Harusnya kau tak menolak sayang. Tapi mau bagaimana lagi. Apapun itu akan aku lakukan asal kau nyaman." Paula kembali memeluk Iqbaal. Menikmati kehangatan tubuh sempurna tersebut dengan wangi khas Iqbaal Watson.

Senyum Iqbaal tadi telah lama memudar. Tatapan tajam itu mengarah kepada dirinya, jangan kira ia tak sadar. Tingkat kepekaanya begitu tajam sehingga dengan mudah mengerti terhadap apapun. Entah itu keadaan atau perasaan seseorang.

Gadis itu menyaksikan adegan yang membuat hatinya panas, jantunya berdetak hebat, emosi meluap-luap. Genggaman erat pada pagar besi pembatas lantai atas menjadi pelampiasan dari berbagai perasaan yang ia derita

Berani sekali perempuan itu memeluk Iqbaal nya. Tidak akan ia maafkan dan tak akan ia beri ampun!

Iqbaal terdiam menatap mata (Namakamu) yang berkilat membunuh. Dia belum masuk ke kamar rupanya, malah menyaksikan kemesraan mereka sebagai pasangan sah yang diakui Negara.

(Namakamu) pergi menghilang dari balik pagar besi setengah pinggang. Iqbaal tahu bahwa gadis itu tidak akan pergi kemana-mana lagi, pasti kamar tujuannya saat ini.

✿✿✿

To Be Continue

Ayo mampir ke work aku yang lain juga yah

Btw, aku bru aj publis crita baru tentang Lisa klo mau baca silahkan mampir ke akun aku

Forbidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang