Di Tengah Kemacetan

55 0 0
                                    

"Sesuai aplikasi, mas!" Kata seorang perempuan yang baru saja memasuki mobilku.

"Ragunan kan, kak?" Tanyaku meyakinkan.

"IYA, MAS, KAN SAYA BILANG SESUAI APLIKASI!" Bentaknya.

Sudah setahun aku menjadi supir taksi online. Pekerjaan ini aku jalani disela-sela waktu kuliah yang kian hari makin membosankan. Selama itu, sudah berbagai jenis penumpang aku rasakan, mulai dari yang normal sampai yang abnormal. Pernah aku mendapati sepasang lelaki setengah mabuk yang tidak malu berbuat mesum di belakangku. Pernah juga aku membawa perempuan yang memintaku menjadi pacar palsunya agar tidak terlalu malu saat menghadiri resepsi pernikahan mantannya. Yang terparah, aku pernah membawa seorang ibu hamil yang air ketubannya pecah di mobilku, untung saja dia mau memberi upah lebih sebagai ganti sudah mengotori jok.

Sedangkan perempuan yang baru saja membentakku, tak taulah dia termasuk customer yang normal atau tidak. Sejujurnya aku terkejut karena pertanyaanku dibalas bentakkan. Walaupun alamat yang ditujukan titik koordinat sudah jelas, aku memang terbiasa menyebut ulang tujuan customer. Bukan apa-apa, beberapa kali aku pernah mengalami kejadian apes menyangkut peletakan titik koordinat. Namun setelah dibentak, tanpa banyak cingcong, langsung kujalankan mobil ke arah tujuan yang tertera.

Belum lama mobil kujalankan, terdengar isak tangis dari bangku penumpang. Suaranya yang pelan dan terasa perih memecah keheningan mobilku. Keadaannya persis seperti sore hari ini. Kelabu. Karena dia duduk tepat di belakangku: sisi sebelah kanan, dan menyandarkan kepalanya di jendela, wajahnya tidak terlihat jelas dari kaca spion tengah. Namun dari suaranya, aku bisa mengira kalau dia menyimpan kesedihan yang mendalam. 

Untuk menjaga kesopanan dan takut dibentak untuk kedua kalinya, kuurungkan niat untuk bertanya dan membiarkan dia dengan kesedihan dan tangisannya. Namun, setelah sepuluh menit berlalu, suara tangisan itu masih tetap terdengar bahkan terasa makin pilu. Di tengah kemacetan sore itu, aku yang tidak pernah tega melihat wanita menangis memberanikan diri untuk membuka obrolan.

"Maaf sekiranya kurang sopan, tapi kalo kaka lagi butuh tempat atau temen curhat, cerita aja ke saya," Kataku lembut menawarkan bantuan.

Perempuan itu tak menjawab, ia terus menangis tanpa menghiraukan tawaranku. Jalan mobilkupun makin tersendat. Seingatku, ada sedikit perbaikan di akhir jalan yang mengakibatkan terganggunya lalu lintas. Akhirnya, di tengah rasa bosan akibat kemacetan yang merayap dan rasa canggung akibat tawaran yang tidak dihiraukan, aku hanya diam sembari mengusir kebosanan dengan memperhatikan orang-orang dengan kesibukanya dari kaca mobil. Mengamati pedagang asongan yang lalu lalang, macam-macam plat nomer mobil dan motor, melihat pedagang kaki lima yang mulai memasang tendanya, apa saja aku perhatikan.

"Mas ngetawain saya?" Kata suara sesenggukan dari belakang sesaat setelah aku baru saja tertawa kecil.

"Nggak, kak, saya nggak ngetawain kakak," 

"Loh itu tadi ketawa gitu," Lanjutnya geram.

Sambil menunjuk kearah sesuatu yang membuatku tertawa, "Saya tadi ngetawain manusia silver itu ka."

"Oh, maaf mas, hari ini saya lagi sensitif, jadi hal sepele aja bisa bikin saya emosi." 

"Iya nggak apa-apa, Kak Alisa."

Perempuan itu kebingungan saat aku menyebut namanya, "Eh, kok mas tau nama saya?"

"Saya liat nama kakak di aplikasi, maaf kalo kurang sopan tiba-tiba sebut nama." Kataku takut-takut.

Dia kembali diam. Mungkin baru sadar kalau namanya pasti tercantum di dalam aplikasiku. Lalu, Sebelum keadaan kembali hening, aku berinisiatif mengajaknya memperhatikan keadaan sekitar. Walaupun tak tau apa dia akan menanggapi atau tidak, setidaknya aku berharap racauanku nanti bisa mengobati kesedihannya.

"Kak, coba deh liat dua anak SMA yang lagi duduk di halte itu," Kataku seraya menunjukkan dua orang anak SMA yang terlihat sedang bercanda, "kalo dari ekspresinya, saya kira si cowo lagi kasih tebak-tebakan receh ke cewe yang masih jadi gebetannya itu. Si cowo itu pasti bilang-"

"Kenapa tau masih gebetan?" Potong suara dari belakang. Aku terkejut, ternyata dia menyimak dan mengikuti obrolanku.

"Eehh ke-kenapa saya tau?" Kataku sedikit galagapan karena tidak menyangka perempuan itu akan menanggapi omonganku, "soalnya si cowo keliatan atraktif banget kak, coba kalo udah pacaran, pasti ga seatraktif itu."

"Coba lanjutin tebak-tebakan cowonya!" 

"Si cowo bilang 'kopi apa yang lebih enak dari kopi starbak?' Gitu, kak."

"Emang kopi apa?" Tanya perempuan itu mulai tertarik.

"Kopi-ntaku menjadi kekasihmu, hehe. Maaf ya receh," Kataku canggung.

Tiada respond yang terdengar dari bangku belakang, hanya dengusan dan suara ingus yang dikeluarkan. 

"Sekarang kakak liat ibu yang lagi nelpon disamping anak SMA itu deh!" Ucapku menujukkan seorang ibu yang mengenakan pakaian dengan warna saling bertabrakan. "Dia pasti lagi nelpon pembantunya untuk mastiin leging loreng-lorengnya udah dicuci buat senam bareng ibu-ibu komplek besok."

Aku tidak yakin. Namun, samar-samar aku mendengar suara tertawa yang sangat pelan. Kemudian, aku mengajaknya untuk memperhatikan manusia silver yang tadi sempat membuatnya salah paham.

"Nah terus, coba kak Alisa liat manusia silver yang barusan bikin saya ketawa! Menurutku, dia sebenarnya tidak nyaman karena harus mengorbankan seluruh tubuhnya dicat sedemikian rupa. Namun di sisi lain, dia gembira karena bisa membuat orang lain bahagia, bisa membuat keluarganya dirumah bahagia dengan membawakan hasil jeri payahnya, dan membuat orang yang melihatnya bahagia, seperti saya tadi."

"Hebatnya, dia selalu mampu menahan rasa tidak nyaman yang sebentar demi kebahagiaan yang tidak sebentar. BTW, menurut kakak, kalo dia dibawa ke toko perhiasan bakalan laku berapa? Terus uangnya bisa dipake buat menghibur ka alisa nggak ya?"

Setelah kalimat terakhirku terucap, perempuan itu bergegas turun dari mobil. Bukan pergi, malah ia masuk kembali kedalam mobil dari pintu depan yang otomatis duduk di sebelahku.

"Thanks ya, mas udah berusaha menghibur saya." Perempuan itu memandangku seraya menyimpulkan senyum. Matanya masih sembap bekas menangis.

Seakan sudah diskenariokan, berbarengan dengan berhentinya tangisan perempuan itu, keluar juga mobilku dari kemacetan. Di sisa perjalanan, perempuan itu menceritakan sebab tangisan dan kesedihannya. Dia bercerita kalau baru saja ditimpa masalah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Aku hanya menyimak dengan sesekali menanggapi ucapannya, karena aku merasa terkadang seseorang hanya butuh didengar dan diperhatikan. Tidak butuh waktu lama, setelah kemacetan tadi, hanya dalam beberapa menit mobilku sudah sampai ketempat yang dia maksud. Sebelum turun perempuan itu berkata,

"Dari omongan mas tadi saya sadar, enggak apa menangis sebentar demi kebahagiaan yang lebih lama. Yah, walaupun pas dirumah saya pasti nangis lagi, tapi seenggaknya saya dapet pencerahan. Sekali lagi makasih ya, Mas . . . Evan."

"Eh, kok kakak tau nama saya?" Tanyaku bodoh.

"Kan nama mas tercantum di aplikasi saya juga. Maaf ya kalau kurang sopan!" Dia tersenyum selagi menutup pintu mobilku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Tengah KemacetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang