Langit nampaknya tengah mengadu pada bumi. Sebentar lagi mereka akan bertengkar. Kepulan awan hitam dan dinginnya serayu memaksaku mengakhiri perjalanan hari ini. Nampaknya gambar-gambar yang kubidik cukup untuk makan satu bulan.Tak ingin melewatkan hari. Kembali Kubidik jalanan kota sebelum akhirnya benar-benar menenggelamkan diri diatas kasur yang empuk. Memang marahnya langit membuat kita terkena batunya dan sabarnya bumi mampu membuat benteng-benteng pertahanan untuk kita berteduh.
Sambil mengayunkan kaki, kameraku terus membidik ke segala arah tapi sepertinya lensaku bermasalah, gelapnya awan di penghujung langit disamarkan oleh warna putih yang mendekat dan semakin besar. Seseorang dari ujung sana berteriak agar aku menyingkir. Aku masih saja heran dengan kamera yang harganya lebih dari dua juta kenapa rusak. Semakin lama semakin jelas terlihat ternyata warna putih dari lensaku adalah wujud seorang bidadari mengendarai sepeda menyusut tepat di depanku.
"Awasss!!!!"
Belum sempat aku menghidar sepeda ramping itu berhasil menabrak tubuh ini dengan hentakkan yang dahsyat. Oh, tak lupa dengan tubuh si gadis yang jatuh tepat ke dadaku.
BRAKKK!
Sejenak tubuhku melayang lalu di susul sakit yang menjalar. Beratnya si gadis menambah tulang dadaku seolah terasa patah. Jika saja tadi aku menyingkir ini tak akan pernah terjadi. Gadis itu buru-buru bangkit dan duduk di sampingku.
"Maaf, aku nggak sengaja. Kamu baik-baik saja kan?"
Apanya yang baik-baik saja tersungkur begini harusnya kata baik-baik saja tak berlaku terucap karena yang namanya jatuh tak akan pernah baik-baik saja.
Dia mulai membersihkan tanganku dari debu jalanan dan membantuku duduk. kini kami saling berhadapan. Aku dengan pikiran yang setegah linglung dan sakit, dia dengan perasaaan cemas nan takut. Seorang lelaki divonis untuk kuat, divonis untuk selalu bisa menahan emosi meskipun ingin memaki. Maka yang kujawab hari itu adalah, "Iya, Aku baik-baik saja."
Senyumnya perlahan melengkung, dia buru-buru mengambil botol minum dan memberikannya padaku. "Minumlah.. kata ibu air ini akan menambah semangatmu dan mengembalikan kepercayaan diri."
Mataku tertuju pada botol pink bergambar hello kitty digengamnnya. Dahiku berkerut. Lebih baik tak minum daripada harus mengambil botol pink itu. Kugelengkan kepala seolah berkata tidak. Dia malah kembali mengambil handiplas di ranjang sepeda.
Untungnya lalu lalang jalan tidak terlalu ramai hingga kami tidak jadi pusat perhatian. Gadis itu memperhatikan sikut dan lututku. Tidak ada luka yang begitu parah kecuali punggung yang terasa lelah. Kembali kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Dia tetap tersenyum meski telah jatuh seperti telah diberi nyawa seribu untuk tetap berani.
Marahnya langit kini semakin memuncak dengan tetes hujan yang perlahan jatuh. Kami segera mengemasi barang masing-masing. Sial! Kameraku terpental dan berantakan. Hujan yang semakin deras membuat kami harus segera menepi. Kebetulan ada toko kosong untuk berteduh. Aku dan gadis itu segera ke sana. Semesta membuat kita terjebak hujan berdua.
Dia memandang langit. "Maaf ya, aku bener-bener gak sengaja. Aku lagi belajar sepeda," ungkapnya tiba-tiba.
Sekilas kembali kujawab tidak apa-apa lalu fokus pada kamera lagi. Sedikit bantuan dari tangan mekanik mungkin bisa membuat kameraku kembali lancar.
Kami duduk berjarak. Dia di ujung toko sebelah kanan sedang aku di ujung toko sebelah kiri. Kira kira 2 meter.
"Kamu senang memotret ya?"
Tanyanya lagi yang membuat ku memandanginya. Kali ini aku menjawab, "Iya."Dia kembali bertanya hal apa yang aku suka sedang aku menjawab seperlunya.
"Maaf jika membuat kameramu rusak. Aku berjanji akan menggantinya jika benar-benar terjadi."
Pernyataannya hanya dibalas oleh angin tak bersua. Karena sungguh aku tak ingin banyak bicara.
Gadis ini polos dan lugu. Dia tetap tersenyum meski sering kali ku pasang wajah datar atau kucampakan dengan beberapa kali tak menjawab.
Sejenak hening menyelimuti. Seakan telah abis pertanyaannya kini giliran dia bercerita. "Aku ingin bisa bersepeda, sudah kuusahakan agar tak jatuh tapi aku tetap saja menabrak sesuatu yang akhirnya jatuh juga."
Sumpah! Tak ada yang menanyakan hal itu padanya bahkan tanah pun tak bicara. Ku biarkan saja dia berkata.
"Kata ibu, sebuah usaha tidak akan mengecewakan hasil. Maka dari itu aku terus mencoba sampai jatuh berkali-kali dan yang terakhir adalah jatuh menabrak mu."
Menabrakku adalah pilihan yang tak tepat karena dengan begitu kau akan terjerat pada dimensi takut.
Aku diam mendengarkan ia bercerita banyak hal. Dari pertama ia bersepeda sampai saat ini. Sekilas aku ingin tertawa karena dia bodoh sekali. Entah memang benar-benar bodoh atau hanya sebuah drama agar aku menampilkan ekspresi.
"Serius, aku pernah jatuh ke got dan baunya menyengat sekali."
Aku hanya terkekeh pelan menanggapi ceritanya. Gadis berambut panjang sepunggung itu juga tersenyum menampilkan lesung pipitnya begitu dalam serta gingsulnya yang menawan. Kuyakin siapapun yang melihatnya pasti terpana. Dilihat-lihat mungkin usianya lima tahun lebih muda dariku.
Hening menyelimuti kami namun semesta masih belum memberi kita celah untuk berpisah. Dia mulai bercerita lagi.
"Aku suka menulis. Meluapkan semuanya pada kata adalah hal yang tak bisa terungkap oleh mata sebab semuanya butuh rasa."
Otakku sedikit berpikir di sana. Entah kenapa nalar seolah tak membenarkan kalimat darinya. Dan kali ini dia mulai menarik simpatiku untuk bertanya, "Bukannya mata cerminan dari hati dan tak bisa didefinisikan lewat kata?" kalimat lain akhirnya berhasil keluar dari mulutku selain iya dan tidak.
Dia tersenyum. "Iya. Sebagian orang berpikir demikian. Tapi bagiku, kata adalah sebagian dari rasa dan itu adalah luahan hati. Orang bisa melihat mata dengan berbagai sorot tapi tidak dengan definisi nurani."
Otakku lagi-lagi berpikir. Bicara dengannya mampu membuat logikaku seolah diasah untuk memecahkan kode-kode bumi.
"Maksudnya?"
Dia tertawa. "Nanti kamu paham. Amati saja sekelilingmu. Terkadang mereka diam-diam menghanyutkan."
Katanya dengan senyuman manis seolah memberi pertanda bagiku untuk membongkar rahasia dunia dan aku semakin tertarik untuk memecahkannya.
Kita kembali terdiam dengan pemikiran masing-masing.
Tak di sangka pertanyaan singkat hari itu mampu membuat perjalanan kita menjadi lebih panjang. Kita bertegur sapa lebih dari sewajarnya. Tetesan langit di berbagai penjuru kota menjadi saksi perkenalan tanpa nama hari itu.
Kamu yang terus bercerita tentang perjalananmu bersepeda hingga harus jatuh dan bangkit berkali-kali sedang aku yang mendengarkanmu layaknya bumi yang setia pada langit.
----+++-----
Setelah cerita JSA yang mengaduk emosi sekarang kembali pada cerita baru penuh sensasi"-"
Silahkan tinggalkan jejak dikolom like dan share. Jangan lupa memberi asupan ide di kolom komentar karena tanpa pembaca tulisan bukanlah apa-apa.Salam dari Bumi
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA KAMU TAHU
Ficção Adolescente"Aku tak peduli kamu akan menjadi senja, hujan, atau pelangi sekalipun. Karena yang kamu harapkan tetaplah Bintang. Biarkan aku menjadi bumi yang setia pada langit. Menemanimu baik saat air membasahi diri atau tertawamu yang melukai hati." ...