Pameran Mebel

3 0 0
                                    


Bertepatan dengan selesainya jam kuliah, Haris cepat-cepat menyusul Meranti yang kebetulan lewat depan kelasnya. Ketika sampai pada perempuan itu, Haris meraih salah satu tangan dan menggenggamnya erat. Saking eratnya, perempuan itu kesakitan.

“Lepas!” Meranti mengibaskan tangan kanannya yang tergenggam hingga genggaman itu lepas dari pergelangan tangan.

“Ranti, aku bisa jelasin.” Haris memohon. Wajahnya memelas. Napasnya kembang kepis padahal cuma lari barang dua meter saja.

“Jelasin apa?”

“Tadi pagi. Sebenarnya aku sama dia gak ada apa-apa.” Haris berusaha kembali menjangkau tangan perempuan itu tapi buru-buru ditampik olehnya.

“Lah, apa urusannya sama aku?”

“Ranti, aku tahu kamu cemburu.”

Meranti tersenyum pahit. “Maaf, Ris. Aku capek. Aku mau pulang. Dan yang harus kamu tahu dan kamu ingat, aku gak pernah cemburu kamu dekat dengan siapapun, terserah. Kamu gak perlu merasa bersalah seperti ini.”

“Beri aku waktu, Ranti.” Haris memohon iba.

Meranti berpaling dan meneruskan perjalanan pulangnya, menghiraukan Haris yang terus berusaha menjelaskan.

Ia begitu ingin meledak tiap kali berhadapan dengan lelaki itu. Kesebalannya kian bertambah tiap Haris bersikap seolah-olah Meranti mencintainya. Berpikiran bahwa dengan berbicara dengan perempuan lain, membuat Meranti cemburu. Padahal tak ada secuil pun perasaan suka dalam hati Meranti padanya.

Mereka memang pernah dekat sewaktu awal-awal kuliah. Belakangan, Meranti tahu bahwa Haris bersikap seperti itu kepada banyak wanita. Tak tahu apa maksudnya, apa maunya.

Banyaknya tugas kuliah ditambah gangguan-gangguan dari Haris menambah jumlah bobot kebosanannya. Kebosanan yang mau tak mau harus ia pikul. Kebosanan yang menyiksanya pelan-pelan

Ketika sampai pada pertengahan jalan pulang, sebuah spanduk baliho besar di pinggir jalan menghentikan langkah kaki Meranti. Ia mengamati saksama baliho bergambar aneka perabot dan kerajinan tangan dari kayu juga foto grup band papan atas yang akan tampil sebagai bintang tamu dalam pameran yang akan diselenggarakan malam ini.

Mengunjunginya merupakan ide yang bagus, pikirnya. Lumayan untuk melepas sejenak beban hidup.

Malam harinya, dengan tas selempang hitam polos, Meranti menerobos kerumunan pengunjung pameran mebel yang bejibun dan berdesakan.

Musik pop mengalun dari permainan grup band yang lebih banyak penonton daripada pameran mebel yang sebagai tujuan utama acara. Tak heran, yang tampil adalah grup band papan atas, "Onah". Apalagi acaranya tidak dipungut biaya.

Meranti lebih tertarik pameran mebel daripada pertunjukan musik. Berjalan sambil melihat-lihat pameran, ia takjub akan keindahan aneka mebel dan kerajinan tangan dari bermacam-macam kayu yang dipoles dengan berbagai jenis pelitur. Yang paling membuat ia tak juga mengalihkan pandangan adalah sebentuk ukiran khas Jepara pada sebuah permukaan meja yang dilapisi kaca. Ukiran itu bermotif ular naga sedang bertarung melawan elang. Begitu berseni dan menawan dengan warna merah transparan, mempertegas maksud gambar ukiran, memberikan kesan penuh tenaga dan keberanian.

Setelah puas berkeliling, Meranti mendekati stan pameran yang memamerkan aneka suvenir. Ada patung-patung kecil, gantungan kunci dari kayu, dan lain-lain.

Meranti tertarik pada ukiran patung kayu kecil berwarna merah darah, berwujud perempuan dengan mata terpejam yang berdiri dengan rambut yang panjangnya selutut. Diletakkan tersendiri di atas sebuah kotak hitam.

"Kayu apa ini, Nek?" Meranti menunjuk benda itu. Bertanya pada seorang Nenek penjaga stan pameran.

"Kayu jati," jawab si Nenek singkat. "Jati merah darah," lanjutnya.

"Diwarna merah darah, begitukah maksudnya?"

"Tidak. Ini alami, Nak. Jika kau belah, dalamnya akan tetap merah."

Meranti manggut-manggut, pura-pura percaya untuk menghormati Nenek itu. Tentu ia tak percaya begitu saja. Meranti adalah mahasiswa fakultas kehutananan dan baru kali ini ia mendengar ada jenis pohon jati namanya Merah Darah. Memang, ada jenis jati yang berwarna merah namun tidak semerah dan sepekat patung yang memikat hatinya itu.

"Ini dijual?"

"Dijual," kata nenek itu singkat.

"Berapa harganya?"

"Untuk kamu, cuma-cuma. Ambil saja."

Meranti memegang patung itu dan tiba-tiba melemparkannya karena merasakan ada sesuatu yang menyengatnya.

"Auw! Benda ini nyetrum, Nek!"

Si Nenek mengambil patung mungil yang terlempar di antara manik-manik dan menyerahkannya lagi pada Meranti.

"Tidak, hanya perasaanmu saja. Ambil dan lekas pulang."

Meranti menerimanya dengan ragu-ragu setelah mencolek beberapa kali benda yang disodorkan padanya itu. Merasa tak ada lagi listrik yang mengaliri, barulah ia mengambil dan buru-buru memasukkan ke dalam tas selempangnya.

***

Malam ini begitu tenang. Sedikit gerah, namun tak terlalu terasa oleh Meranti sebab angin tipis dari kipas angin yang sudah lemah daya putarnya meniupi tubuhnya yang tengkurap di kasur.

Suara berderik dan bau sangit membangunkan tidur malamnya. Meranti yang heran beranjak dari ranjangnya mencari sumber suara dan bau itu. Takut ada listrik atau benda elektroniknya korsleting.

Dengan lelah dan kantuk yang sangat, Meranti berdiri dan menuju saklar lampu.

Setelah lampu kamarnya dinyalakan, ia mendapati patung yang diletakkannya di atas rak, perlahan mengeluarkan api. Asap putih mengepul memenuhi ruang tidur. Benda itu semakin terbakar dan apinya semakin membesar. Dalam kobaran api itu tampak sesuatu berwarna merah menggeliat-geliat. Asap tebal menyusut seketika dan sesuatu yang menggeliat itu makin jelas terlihat.

Penasaran, Meranti mendekati benda itu.

Mulanya, benda yang mirip jeli berserat itu membentuk sepasang tangan manusia, kemudian tubuh, kemudian kaki. Perubahan bentuk itu terjadi secara perlahan. Benda itu kemudian berhenti sejenak. Lalu, sebuah kepala dengan bagian wajah lengkap muncul tiba-tiba dan menatap tajam mata Meranti. Menyapa Meranti dengan suara yang sangat serak.

"Selamat malam, Meranti."

Mereka saling pandang sejenak. Makhluk merah aneh itu berkedip beberapa kali. Bola matanya terlihat hitam pekat dan mulai mengeluarkan bau anyir dari tubuhnya. Sementara Meranti melongo, napasnya tertahan begitu lama. Tak tahan lagi, Meranti menghela napas dalam dan kemudian,

"Aaaaaaa.....!" Meranti yang sedari tadi mau teriak tapi tak bisa—serasa ada cakar yang mencekam leher—akhirnya berhasil memekik sekencang-kencangnya.

"Gedebug!" Ia jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Sampai pagi.

Bersambung...

2019

JATI MERAH DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang