Penasaran

1 0 0
                                    

Kicau burung bersautan mengalir melalui angin-angin kamar. Sorot matahari yang jernih menembus kaca jendela yang kordennya setengah terbuka, hangatnya membangunkan tidur lelap Meranti di atas lantai.

Merasa ada hal aneh yang terjadi semalam, Meranti buru-buru beranjak berdiri dan menjumpai patung itu masih tergeletak di tempatnya semula. Tak ada bekas terbakar pada patung juga rak kayunya.

Cuma mimpi, pikirnya, sambil terus mengucek mata. Menggeliat, lalu menguap lebar-lebar.

***

Di kampus, saat Meranti duduk sendirian di atas undak-undakan sambil terus mengamati patung pemberian seorang Nenek di pameran kemarin malam—yang sengaja dibawanya dari rumah, Haris datang dan duduk di sebelahnya tanpa canggung. Dengan tak sopan merebut patung mungil dari tangan Meranti.

"Wah benda apa ini?" Haris mengocok patung itu. "Mirip boneka barbie."

"Balikin gak?!" Meranti meraih kembali patung itu

"Pinjem bentar." Haris menghindarkannya.

"Itu kamu kocok-kocok terus nanti jinnya bisa keluar!"

Haris sontak melemparkan patung itu dan untung Meranti tangkas menangkapnya.

"Hi ... Apa iya? tanya Haris jijik.

Meranti tak kuasa tergelak.

"Badan saja gede, takut juga sama jin."

Haris mengusap-usap telapak tangannya pada kemejanya.

"Ngomong-ngmong, bagus patungnya, Ranti. Beli di mana?"

"Dikasih orang dari pameran semalam."

"Wah, kamu ke pameran gak ajak-ajak aku."

"Gak ada gunanya."

Meranti menggeser duduknya, memisahkan tubuhnya dari Haris yang mulai merapat.

"Kamu masih marah ya, Ranti." Haris mulai mengalihkan pembicaraan.

"Bisa diam, gak?!" Meranti membentak tiba-tiba.

"Kan cuma tanya," balas Haris. "Eh, kayu apa sih itu?"

"Jati Merah Darah." Meranti mengelus patungnya.

"Wah, baru dengar. Oh ya, kamu bukannya ada tugas kuliah mengulas pohon langka? Ulas saja kayu aneh ini."

"Tau dari mana aku ada tugas kuliah mengulas jenis pohon langka?" tanya Meranti heran. Pasalnya, mereka beda jurusan.

"Dari Rima."

Meranti diam sejenak, senyum puas mengembang dari bibir mungilnya. Seperti baru menang undian berhadiah.

"Ide bagus. Kamu pinter kalau gak lagi nyebelin."

***

Bertemu di luar jam kuliah dengan Pak Hanif—dosennya, Meranti membahas kayu patung Jati Merah Darahnya di kantin kampus. Menceritakan ihwal ia mendapatkan patung itu. Menanyakan hal-hal yang belum ia ketahui.

"Aku tak tahu kayu apa ini. Seratnya sih, serat kayu jati." Pak Hanif membolak balik benda itu. Mencermatinya. "Jati kelas satu. Tapi kok, merah banget ya warnanya?"

Pah Hanif menghidu benda itu. "Tak ada bau pelitur atau cat. Kayu apa ya ini?"

"Kalau aku tahu gak akan tanya ke bapak," jawab Meranti gemas.

"He he." Pak Hanif tertawa kecil. "Coba kamu riset kayu ini. Kalau berhasil nanti bapak promosikan penemuanmu."

Perbincangan itu tertahan ibu kantin yang datang mengantarkan dua porsi soto ayam beserta minuman.

"Makan dulu," ajak Pak Hanif.

Mereka berdua makan dengan lahapnya.

Di sela-sela menyantap makanan, Meranti bertanya. "Bapak gak tertarik merisetnya?"

"Bapak banyak urusan, Ranti." Dosen muda berumur sekitar tiga puluhan itu menghentikan suapan makannya.

"Kayu ini," Pak Hanif meraih patung yang diletakkan di atas tas Meranti, membolak-baliknya, "Mungkin satu-satunya varietas jati yang pernah tumbuh di dunia."

***

Di rumah, beberapa jam setelah perbincangan itu, Pak Hanif merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Dosen itu terduduk di sofa dengan pandangan berkunang-kunang. Nyeri perlahan menjalar di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa pusing tak tertahankan. Badannya kian melemas.

Anak lelakinya datang dan menanyainya. "Bapak baik-baik saja?"

Pak Hanif membisu. Tak dijawabnya pertanyaan itu. Kelopak matanya perlahan terkatup. Dan, tubuhnya rubuh menimpa tubuh anaknya yang duduk di sampingnya.

***

Di atas kasur, Meranti bergulingan tak tenang. Rasa penasaran kian mengerubuti dirinya. Merasa belum juga menemukan titik terang akan pencariannya. Di perpustakaan kampus, ia sudah membolak-balik tumpukan berbagai buku tentang taksonomi pohon-pohon, bahkan sudah memperbincangkan hal itu pada dosennya.

Iseng-iseng ia mengunggah foto patungnya di Google Picture dan yang muncul malah patung-patung kayu pelituran dan patung dari kayu mahoni.

Meranti terus menggeser layar gawainya, hingga ke bawah. Dengan acak ia mengetuk salah satu gambar patung berbentuk monyet berwarna sama dengan patungnya. Setelah menunggu situs yang dikunjunginya memuat, akhirnya terbuka blog itu dengan nama blog "Klinik Supranatural".

Semakin menggeser, Meranti tersentak menemukan artikel dengan judul, "Mitos Jati Merah Darah."

Meranti menyamankan posisi rebahannya. Membaca dengan cermat artikel itu yang menjelaskan perihal Jati Merah Darah dari sisi supernatural.

Dalam artikel itu dijelaskan bahwa pohon itu bukan sembarang pohon, melainkan wujud dari kutukan turun-temurun sejak jaman kerajaan. Barang siapa yang menemukan kayu itu akan sial seumur hidupnya.

Tak ada penjelasan ilmiah tentang kayu itu. Karena bukan dari sisi supernaturalnya yang Meranti cari, ia mempercepat membacanya dan menilik deretan komentar artikel itu.

Beberapa komentar terlihat tak direspon pemilik blog. Blog itu sepertinya sudah lama tak ditilik pemiliknya. Salah satu komentar pengunjung blog paling baru adalah unggahan sebuah gambar kayu berwarna merah berbentuk balok berukuran sekitar empat kali empat dengan panjang setengah meter.

"Apakah ini Jati Merah Darah? Ini kayu jati, kenapa warnanya merah banget ya?" tulis pengunjung blog itu di bawah gambar yang ia unggah.

Ini dia, pikir Meranti. Meranti pun membalas komentar itu. "Boleh saya lihat kayunya?"

Setelah menulis balasan komentar, Meranti meletakkan gawainya. Ganti menengok patungnya yang diletakkan di atas rak seperti biasanya. Merasa tak ada sesuatu yang ganjil, ia pun merasa tenang dan mengistirahatkan diri.

***

Pagi itu di kampus. "Pak Hanif ke mana sih?" tanya Meranti pada teman kuliahnya.

"Gak hadir. Sakit katanya." jawab Rima.

"Si Curut juga, gak kelihatan dari tadi."

"Cie, mulai luluh nih hatinya." ledek Rima sembari mendorong-dorong bahu Meranti

"Kagak!"

"Dia juga sakit. Aku lihat kemarin waktu basketan ia pingsan dan diantar pulang."

***

Kuliah kosong. Meranti kembali membuka blog yang dibukanya kemarin malam, mengecek sudah ada balasan atau belum atas komentarnya pada salah satu pengunjung blog itu.

Sudah ada balasan. "Boleh, kalau mau lihat, datang saja ke tempat saya." balas pengunjung blog dengan nama "Ayu Mustika".

Setelah itu, Ayu mustika memberikan alamatnya.

Tanpa pikir panjang, Meranti mencangklong tasnya dan berangkat menemui alamat Ayu Mustika—yang ia harapkan dapat membantunya dalam riset tentang kayu Jati Merah Darah yang belakangan ini mengusik pikirannya.

Bersambung...

2019

JATI MERAH DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang