Kubuka pintu yang telah puluhan kali kulewati. Pintu kaca bening bertahtakan pegangan besi tanpa hiasan apapun selain papan tanda OPEN berwarna merah cerah. Suara khas dari lonceng tua yang beradu dengan sisi atas pintu tiap kali dibuka menyambutku. Biji kopipun tak mau kalah, aromanya menyeruak masuk kedalam hidungku seketika pintu terbuka. Seakan menghujam indra penciumanku dengan pukulan bertubi-tubi.
Tidak seperti biasanya, malam minggu ini Coffadict tidak terlalu riuh, bahkan terkesan lowong. Bangunan dua lantai yang cukup luas ini hanya terisi seperempatnya saja. Bangku-bangku yang biasa dipenuhi obrolan dan candaan, kali ini bisu. Mungkin karena hujan masih belum memanggil pulang sisa gerimisnya, padahal ia telah seharian membasahi Jakarta. Juga orang-orang yang lebih memilih terlelap dibuai oleh rintik hujan yang harmoni, membuat malam ini terasa lebih sepi.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling cafe. Hanya aku satu-satunya yang datang seorang diri ditengah pasangan yang sedang merayakan malam mingguan. Setelah memesan secangkir latte panas dan sepotong cheese cake, kuberanjak pergi ke kursi kosong di pojok ruangan yang bersebelahan dengan jendela kaca lebar.
Kursi kayu itu sedikit berdecit saat kutumpahkan diriku sepenuhnya, mungkin ia kaget karena baru aku yang menempatinya setelah seharian ini tiada yang menduduki. Di bawah temaram lampu cafe yang sengaja dibuat redup, dengan pemandangan menghadap langsung ke halaman parkir yang sedikit senyap, kukeluarkan laptop dari tas kanvas berlambang Snoopy lalu menyalakannya.
Sesaat setelah kuketikkan kata sandi, aku disambut senyuman dari fotoku bersama Benny yang sengaja kujadikan wallpaper desktop. Cukup lama kupandangi foto itu, foto yang sebentar lagi akan ku delete sepenuhnya dari memori laptop dan otakku. Kuarahkan kursor menuju folder penyimpanan. Kucari folder bernama 'Benny' yang menyimpan ratusan foto kami lalu membukanya. Kuperhatikan foto-foto yang kuabadikan bersamanya selama 2 tahun ini. Men-scroll foto itu satu-persatu. Tiap kenangan yang berbeda seakan muncul kembali bersamaan dengan munculnya refleksi diri kami.
Kutatap dalam-dalam setiap foto yang muncul. Foto saat kami jalan-jalan ke tempat wisata, foto-foto di restoran, cafe, taman, perpustakaan, bahkan di rumah kami masing-masing. Batinku bergejolak, ada rasa sesak yang memenuhi dadaku. Apakah keputusanku sudah tepat untuk mengakhiri semua ini. Bukan karena aku sangat mencintai Benny, aku kira rasa itu sudah menguap, bahkan mungkin menjadi benci. Aku hanya tidak menyangka lelaki baik sepertinya mampu berbuat hal itu.
Tak lama setelahnya, seorang pelayan pria datang mengantarkan pesananku. Kutatap dia dan memberikan senyuman yang kumaksudkan sebagai tanda terima kasih atas pelayanannya. Tak tahu mengapa aku malah tersenyum alih-alih mengucapkan terimakasih. Terlalu kelu lidah ini untuk berkata-kata. Ia mengangguk, mengerti akan isyaratku lalu membalas senyuman yang kuberikan, kemudian pergi kembali ketempatnya semula.
Kembali ke urusan hatiku, butuh beberapa menit untuk meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan adalah benar. Kuseruput latte yang masih mengepul itu. Hangat espresso yang bercampur dengan lembutnya susu menyusup ke dalam logika yang sudah tidak sinkron dengan hati. Menenangkan mereka berdua yang masih saja berdebat dengan keputusanku. Dengan latte dan cheese cake aku berusaha menghibur diri dan menghilangkan kesedihan. Sudah cukup tiga hari kemarin aku tak henti-hentinya menangisi pria seperti Benny itu.
Kalian mungkin bertanya-tanya apa masalah yang sedang menimpaku. Beberapa pasti sudah menebak kemana arah pembicaraan ini. Namun sebelum muncul manusia-manusia sok tahu, biar kuberitahu satu hal: sebuah hubungan itu bagaikan seutas tali, kadang kau harus menariknya dengan kuat, di lain waktu kau juga harus mengulurnya. Tahu kapan harus menjaga tali itu, juga kapan harus memutuskannya. Hari ini, aku sedang berusaha memutuskan tali itu.
Jadi, empat hari yang lalu, saat aku mengantar adikku ke salah satu toko buku di sebuah mall di Jakarta Selatan, aku melihat pria seperti Benny yang sedang bergandengan tangan dengan seorang wanita yang tak pernah aku kenal. Karena hubungan kami sudah sangat dekat, aku mengenal hampir semua saudara benny: adik, sepupu, bahkan sahabatnya. Namun, wanita yang kulihat kemarin bukan salah satu dari golongan yang kusebutkan tadi.
Sebenarnya aku mau membiarkannya saja, kupikir mungkin dia hanya seseorang yang mirip. Namun, karena beberapa bulan belakangan aku sering mendapat laporan kalau beberapa temanku pernah melihat Benny jalan dengan wanita yang bukan diriku. Ditambah dorongan untuk membuntutinya muncul ketika melihat sepatu yang dikenakannya: Air Jordan putih dengan strip biru laut. Saat itu hatiku berdesir seakan menyuruh untuk mencari tahu fakta yang sedang terjadi. Maka, setelah kutinggal adikku untuk mencari buku yang ia mau, kuikuti si 'mirip Benny' Itu dari jarak yang aman. Hari itu aku menjadi detektif dadakan demi masa depan hubunganku. Target intaianku adalah pacarku sendiri: Benny.
Semakin kuperhatikan semakin si 'mirip Benny' itu menjadi nampak Benny yang asli. Kemudian saat mereka berhenti di depan booth minuman boba, aku berinisiatif melakukan panggilan video dengannya untuk memperkuat fakta. Jika Benny mengangkatnya, berarti pria yang sedang aku ikuti hanyalah orang yang kebetulan mirip Benny dan membuktikan teori bahwa manusia setidaknya memiliki 7 kembaran yang tersebar diseluruh dunia. Sedangkan jika ia tidak mengangkatnya, berarti dia adalah Benny.
Tanpa banyak basa-basi, kucari kontak Benny yang kutulis dengan nama 'Pacarku'. Aku langsung menghubunginya dengan mata yang terus memperhatikan si 'mirip Benny' yang sedang merangkul wanitanya mesra di tengah antrian boba. Sedetik, dua detik, tiga detik menunggu, ternyata panggilanku didiamkan, bukan ditolak. Namun berbarengan dengan itu, si 'mirip Benny' juga mengeluarkan ponselnya, seakan melihat siapa yang menghubunginya lalu mengalihkan ke mode silent. Makin kuatlah duga sangkaku kepadanya.
Sayangnya pengintaian harus terhenti saat adikku menelpon dan mengajak untuk segera pulang. Tetapi kisahnya belum selesai sampai disini. Saat aku sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang, tanpa diduga Benny malah menelponku dan meminta maaf tidak menjawab panggilan video barusan. Dia berkata saat ini sedang menemani sahabatnya mencari baju di mall xx dan tidak mendengar kalau ada panggilan masuk.
Sepandai-pandainya bangkai disembunyikan pasti baunya akan tercium. Bagaikan sebuah puzzle yang disusun satu persatu, lengkap sudah semua bukti yang menunjukkan bahwa orang yang aku lihat barusan adalah Benny. Dia baru saja melakukan blunder dengan menyebut nama mall xx, mall yang aku datangi barusan. Terlebih hari itu dia membuat dua story di IG-nya yang memperkuat buktiku. Pertama, story boomerang tangannya yang sedang memegang gelas boba dengan background booth boba. Dan yang satunya, story foto kaki dengan sepatu yang merupakan hadiah dariku saat anniversary ke 2 tahun kami.
Sehari setelah kejadian itu, aku bercerita kepada sahabatku dan mencurahkan semua air mata yang kemarin sempat tertahan. Kujelaskan dengan runtut dari awal kejadian hingga semua bukti-bukti dan capture story yang kusimpan. Riani yang sudah sering mengingatkanku akan kelakuan Benny malah membentak dan memarahiku karena tak percaya akan nasehatnya. Dia juga menyarankan untuk segera mengakhiri hubungan kami, karena perselingkuhan adalah penyakit yang sulit diobati. Aku hanya terisak membenarkan ucapannya.
Sekarang, di dalam cafe yang senyap ini, setelah kulihat semua foto-foto kenanganku dengan Benny untuk yang terakhir kali, ku klik tombol kanan pada touchpad dan mencari opsi delete untuk menghapus folder bernama 'Benny'. Namun, tepat sebelum jariku menekan kursor untuk memilih kata <Yes>, ponselku berdering.
"Kamu lagi di mana, Beb?" Ujar suara lelaki yang saat ini masih menjadi pacarku.
"Di Coffadict," Jawabku singkat.
"Ngapain di sana sendirian? Kok nggak ngasih tau aku?"
"Bosen di rumah."
"Kamu pasti lagi kenapa-kenapa nih. Yaudah aku kesana sekarang, tunggu aku sebentar!" Tanpa meminta persetujuanku ia mematikan panggilannya.
Ya aku memang sedang kenapa-kenapa, aku sedang tidak baik-baik saja dan itu disebabkan oleh kamu dan kelakuan busukmu, batinku dalam hati. Aku yang bermaksud menekan <Yes> untuk menghapus kenangan kami malah teralihkan dan mengurungkannya. Sebelum ia datang, aku berusaha mengatur emosi, dan menguatkan hati. Tak mau lagi kubuang air mata ini untuknya. Walaupun sakit, malam ini akan kuucapkan kata putus dan membeberkan kelakuannya beberapa hari lalu.
Setelah lima belas menit sejak Benny menyuruhku untuk menunggunya, lonceng tua di cafe ini berbunyi. Kulihat seorang pria dengan jaket levisnya masuk dan berjalan mendekat kearahku. Benny tersenyum ramah melihatku yang duduk seorang diri di sudut cafe. Aku yang sudah mati-matian berusaha menjaga pertahanan akhirnya tak mampu lagi menahan air mata yang menetes seiring dekatnya jarak kami berdua. Emosiku meluap. Namun, hanya air mata yang dapat merepresentasikannya. Sepertinya aku masih sayang dengan Benny, biarlah kesalahannya kemarin aku maafkan. Aku belum sanggup kehilangan dia. Maaf Logika, kali ini kau harus mengalah.
Selesai