intro

694 32 2
                                    

baby peony

Satu dari puluhan hari berhujan di Eldern. Theodore Lawrett terbiasa dengan hujan. Menurutnya, hujan dan dirinya bagaikan satu kesatuan yang sudah dijodohkan semesta. Tidak pernah terpisahkan. Bahkan jika ibunya bercerita, mungkin Theo dapat mendengar beliau menceritakan bagaimana sejak kecil Theo selalu diikuti "hujan" dan bagaimana mereka berdua seharusnya akrab satu sama lain—bagaikan teman hidup.

Biasanya, di kala hujan, Theo akan menarik selimut dan mendengarkan lagu-lagu sendu favoritnya. Mungkin ia akan terbangun sebentar untuk duduk sembari meneguk teh hangat. Theo akan berdiam diri tanpa ada gangguan. Meskipun, Mary menemaninya hingga suasana kamar jauh lebih hangat, Theo tahu, hujan hanya membawa kegelisahan dan .. kesedihan yang tidak terkendali. Tetes demi tetes bagaikan sendu dan lagu perpisahan dari langit kepada bumi.

Di hari ini, lengkap sudah bagian terakhir puzzle mengapa Theo benci hujan—ini merupakan mimpi buruk. Satu skenario yang tadinya hanya jadi bayang-bayang, jadi ketakutan dalam dada dan sekarang sudah tersaji apik di depan mata.

"Kau harus kuat, Lawrett," kata seseorang menepuk bahu pria berjas hitam itu.

Di bawah payung lebar sepekat malam, dia menyaksikan bagaimana istri dan putranya berada dalam peti kemudian dimasukkan ke dalam tempat peristirahatan terakhir mereka. Bahkan, ia tidak sempat mengucapkan apapun kepada putranya, bahkan belum sempat menerka apakah dia punya bola mata indah Mary atau miliknya. Tidak juga punya kesempatan melihat senyuman istrinya karena berhasil melahirkan buah cinta mereka; hasil penantian sembilan bulan. Theo benci dunia, benci hujan, dan benci semua kepedihan yang mengungkungnya.

Theo menoleh dengan mata melelehkan air mata. Betapa menyakitkan melihat orang-orang terkasihnya menangis, nyaris mengalahkan guntur dan mengabaikan bagaimana hujan sudah memantul di bahu dan punggung mereka. Theo ingin lenyap, mengapa dia masih di sini?

Theo berbalik, meninggalkan kerumunan yang tengah berduka itu. Dia berjalan ke dekat mobilnya, melemparkan payungnya hingga jatuh tidak berdaya, kemudian mengunci dirinya di sana. Sembari memukul-mukul roda kemudinya, Theo memejamkan matanya dan sekuat tenaga menahan tangisannya yang hampir pecah.

*

*

Tidak apa kan? Tidak masalah? Ini bukan yang pertama.

Peony menunduk, memasukkan sisa beberapa bingkai di kamarnya untuk dimasukkan ke dalam kardus besar. Tadinya, karena hujan deras, ia mungkin berpikir acara untuk packing akan terhenti sejenak. Nyatanya, ibu tetap gigih meminta Peony untuk bergegas karena mobil pengangkut akan tiba pagi buta. Mereka akan meninggalkan tempat ini, selamanya.

Peony tidak punya hak untuk memprotes. Kedua orang tuanya baru saja mendapatkan deal besar di Eldern, sekaligus hunian yang sudah mereka kunjungi dengan wajah berseri. Peony tidak ikut karena harus tetap bersekolah dan dia percayakan saja betapa orang tuanya menceritakan hunian itu lebih besar dan nyaman.

Peony pun tidak punya hak untuk menolak kepindahan ini.

Dia bangkit, membawa kardus penuh itu ke dekat pintu, kemudian mengambil kardus lain untuk diisi beberapa pajangan di lemari tinggi putihnya. Dengan tangan-tangan mungil dan rapuhnya, dia memasukkan itu semua dengan hati-hati—memastikan tidak ada yang rusak. Tidak lupa, dia memasukkan beberapa kotak hadiah yang berada di bagian bawah lemarinya, tersembunyi di pojokan. Di sana, ada beberapa kotak berisikan diari, jepitan rambut, boneka lusuh, potongan hiasan dari ulang tahun ketujuhbelasnya, beberapa sisa pita, dan juga sebuah foto di mana Peony tersenyum ke arah kamera dengan wajah penuh riasan cantik.

Dengan agak berat hati, Peony pun mengepak itu semua juga bersama dengan beberapa sepatunya, beberapa tas dan juga sisa aksesoris yang ia punya. Ini jadi kepindahan yang merepotkan dan menguras tenaga serta emosinya. Letak Eldern membutuhkan setidaknya empat jam perjalanan darat jika menggunakan jalanan bebas hambatan, ditambah dengan hari berhujan yang membuat jalanan licin, mungkin butuh lima sampai enam jam. Peony tidak begitu menyukai terjebak di dalam mobil, dengan barang-barang, ataupun hatinya yang masih berada di sini.

Jadi, sejak kemarin bahkan sejak hari terakhir di sekolah, Peony berusaha meneguhkan dirinya. Entah mengatakan bahwa tempat itu memang sebagus itu, dan dia akan nyaman. Ataupun mengatakan kepada dirinya bahwa Eldern tidak seburuk kedengarannya. Meskipun, Peony selalu merasa perutnya tercubit kecil jika membayangkan kota asing, dengan tetangga yang kaku dan penuh aturan yang konkret. Peony bisa stres karenanya. Apalagi, bisa dipastikan juga dia akan terus sendirian—ibu dan ayah akan mati-matian mengurus pekerjaan dan juga urusan administrasi sekolah. Peony mendapatkan bagian untuk bertahan di sana serta menyesuaikan diri.

Hm, mungkin tidak seburuk itu. Peony menunduk, menyingkirkan satu helai rambutnya untuk ditaruh ke belakang telinga dan mengangkut kardus penuh lagi ke dekat pintu. Sesaat dia bangkit, pintu pun terdorong dan ibu membantunya untuk membawa kardus-kardus ke lantai bawah. "Apakah masih banyak? Kalau tidak penting, tinggalkan saja, aku akan minta petugas untuk menyingkirkannya. Aku tidak mau kamarmu akan penuh barang-barang nanti, oke?"

"Oke."

Ibu tersenyum dan mengusap sisi wajah Peony. Dia bergegas menaiki anak tangga, sedangkan Peony memandangi sekitar dan menaruh benda tersebut. Dia menggigil merasakan giginya bergemeletuk. Mungkin malam ini, dia akan menenangkan diri dan menahan bagaimana dia sebenarnya tetap ingin di sini—di kesehariannya yang membosankan, di tempat yang sudah dia kenali betul, bersama dengan dirinya yang tidak pernah peduli tentang apapun.

Dia benci hal-hal yang asing dan baru. Itu membuat dadanya terpecut, dan bibirnya gemetaran. Itu membuatnya tidak nyaman—bagai didekap ketakukan yang membesar seperti monster kaki gunung. Kemudian sang monster siap menelannya hidup-hidup.

[]

baby peony ✔ (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang