1:42

18 1 0
                                    


Kuadukan dukaku pada tuhan, lalu kujatuhkannya senyum yang rekah, ke mukaku, ke mukamu, dan ke muka bumi, senyum yang basah mengalir tabah.
Untuk puan yang menahan tangisnnya semalaman.

24 jam terakhir sebelum tulisan ini ada , aku sudah melalui bebrapa perasaan yang tidak akan pernah terlewatkan dalam sebuah detak jantung yang melampaui suara detik jam dinding dibawah atap kamarku.
24 jam terakhir, rasanya sakit. Sakit sekali menahan isak tangis yang hampir merobohkan pertahananku, jauh dari pemikiran orang lain , bahwa aku adalah orang yang kuat.
24 jam terakhir , aku melarikan diri dari gemerlapnya malam, setelah terdiam beberapa menit dan menjatuhkan pikiranku pada sebuah mimpi.

Malam itu memang aku masih bisa tertidur nyenyak , sebab aku hanya bisa berjanji pada semesta untuk esok akan menyelesaikan perkara 24 jam terakhirku. Dengan begitu percaya , semesta menyambut tidurku dengan lelap yang kian mengikis kelelahanku pada malam itu. Maka malam ini semesta sepakat. Bahwa tidak ada yang sedang mereka rayakan kecuali kebodohan.

'apa yang paling merepresentasikan duka selain tangis ?'
Bagiku, hal yang lebih menyakitkan dari duka itu sendiri adalah ketidakmampuan kita untuk mengungkapkannya. Seperti satu jam setelah bangun dengan air mata, kau hanya mengingat betapa pedihnnya bermimpi tentang kesedihan tanpa tahu apa yang membuatmu merasakan kesedihan.

Ada yang belum sanggup aku tulis dari tulisan ini , setidaknnya rasanya sudah aku bagi pada orang-orang yang sedang membaca tulisan ini . sebenarnya tidak semua orang harus tahu apa yang kita rasakan , tapi ada beberapa hal yang harus kita ungkapkan agar perasaan itu lebih mengurangi beban pikiranku. Tidak selamanya semua pilihan itu tertuju pada kita , tidak selamnya kita akan diterpa beberapa pilihan yang akan memudahkan jalan kita , dan juga tidak selamanya semesta berpihak pada kita. Aku ini makhluk lemah menopang beberapa masalah, tapi entah kenapa orang lain akan selalu melihatku lebih kuat dari apa yang aku rasa. Katanya , aku ini orang paling pandai menahan dan menabung sebuah masalah sampai tahu jalan keluarnnya , hmmm dibalik itu pikiranku goyah kadang tak tahu kearah mana ia akan berlabu.

Setiap insan memiliki cara untuk melupakan perihal beban yang enggan berkurang. Tidak semua orang akan menerima masalah yang kita hadapi karna tidak semua orang sedang baik-baik saja, orang akan memilih untuk diam bukan karna ia tidak ingin berbagi cerita. Mungkin, itulah cara yang ia lakukan agar merasa bahagia tanpa ada rasa sungkan.

Tulisan ini ada sebagai bentuk sukarnnya aku berterus terang, menjelma diamku. Sebab aku tidak ingin menyalahkan siapapun. aku rasa september ini dimulai dengan cerita yang tidak mengenakkan hati , ada beberapa fase dimana aku terjungkal berkali-kali. Aku tidak akan menyalahkan bulan september kali ini , dia datang pada masanya dan aku harus tetap menyambutnnya dengan baik, aku juga tidak akan menyalahkan angka-angka yang ada dikalenderku yang berubah setiap harinya , dia berputar menuju peraduannya, begitu terus bahkan jauh sebelum aku ada di dunia.

Semesta mungkin tak lupa kapan aku pertama kali memecah tangisan; dimana masa itu semua orang menyabda bahagia.
Seiring waktu yang terus melaju, aku bergulir memijak dan menyicip segala ajaran.
Menyeka seluruh peluh yang terkadang tanpa sadar membuat aku mengeluh.
Menjamah, merangkak, terseok bahkan berlari pernah kulakoni- hanya demi sekedar memberi bukti atas ucap janji "ayah,ibu, aku mampu berdiri!"

Malam menjadi daun yang menguning sebelum gugur dari tangkai tua. Dan aku akan terus kembali terbangun di depan perapian itu, yang membakar satu demi satu kalender yang sudah menguning dan penuh lipatan dengan kelopak mata jendela yang murung. Tanpa pernah tahu, kenapa selalu ada nyeri di setiap langkah waktu.

24 Jam Dalam sehariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang