DIATAS riuhnya buana dunia, ada manusia dengan segala masalahnya. Seringkali menyalahkan takdir juga cara kerja semesta, katanya keterlaluan candaannya.
Padahal jika ditelaah lebih jauh lagi, kita butuh masalah-masalah itu untuk menyadari harga sebuah kehidupan. Tergantung dari kacamata yang mana kita menghargainya.
Bagi seekor burung dalam sangkar, kehidupan seharga sebuah kebebasan. Bagi seorang pengembara, kehidupan seharga menemukan jalan kembali pulang. Bagi seseorang yang selalu bertanya, kehidupan seharga sebuah jawaban. Bagi seorang pecundang, kehidupan itu tak ada harganya. Dan bagi seseorang yang menghabiskan waktunya untuk mencari, kehidupan seharga sebuah penemuan.
Dan kalau diizinkan beri tahu, kisah ini tentang seseorang yang punya banyak pertanyaan, menyerahkan segalanya untuk jawaban, juga seseorang yang selalu mencari, menghargai kehidupan setara dengan penemuan.
Serentetan peristiwa tak terelakkan yang mana kurang lebihnya sering disebut takdir.
Bukan, bukan salah semesta, meski sudah jelas konspirasinya memungkinkan segala probabilitas menjadi nyata. Karena mau disalahkan atau tidak, semesta akan tetap begitu bukan?
i. Gelora dua ribu empat dirundung gelabah
“Aku punya pertanyaan.” Arunika yang terbias tujuh rupa menyusup diantara tersingkapnya tabir-tabir griya menempa rona turut menyimak sepasang kembar yang sepasang maniknya baru terjaga, namun salah-satunya telah menuntut paham.
“Seperti biasa, kamu selalu banyak tanya.” Salah satu lainnya yang banyak tak peduli atau barangkali tak menganggap serius segalanya.
“Ingat yang Ibu kisahkan semalam tidak?”
“Nggak.” Ekspresinya datar, sudah terbiasa begitu. Cukup malas menanggapi jadi salah satu pemicunya.
“Oh, ayolah, kisah pengantar tidur tadi malam tentang dialog raja dan anaknya itu loh, Can. Baru tadi malam loh, tidak ingat?”
“Memang kenapa dengan kisah itu?” Mengalah juga akhirnya. Sadar kalau saudara beda 12 menit dihadapan punya kepala lebih keras daripada batu.
“Aku bingung, Candra, seperti ceritanya tidak tuntas.”
“Kalau memang begitu, artinya kamu harus tanya Ibu saja, Lintang.”
Sepasang kembar yang baru genap dasawarsa usianya, namun tumbuh bersama dongeng-dongeng sederhana. Yang satu punya banyak pertanyaan, yang lain selalu punya sesuatu untuk dicari.
“Bu, aku mau tanya.” Sepetak ruangan sederhana dengan aroma sarapan yang menggoda indera penciuman.
Perempuan dengan raut muka penuh sayang itu tersenyum sejenak, menampilkan garis-garis wajah akibat dimakan usia. Kerasnya tempaan hidup penyebab garis-garis itu muncul sebelum waktunya. Ibu menua mendahului umurnya.
“Ibarat kata Candra sih, kamu selalu banyak tanya, Lintang.” Telapak hastanya yang bergurat kasar sebagai bukti kerja kerasnya menyentuh puncak kepala kedua putra, mengusapnya penuh kasih. “Tapi tak apa, setiap orang punya keunikannya sendiri. Tapi Lintang, apapun pertanyaan kamu itu, ada baiknya kamu bertanya pada dirimu sendiri untuk mencari jawabannya.”
Sontak wajah si bungsu dirundung mendung. “Loh, kok gitu?” Cemberut Lintang tak tertahankan. Candra pun ikut menoleh menatap Ibu.
Sesunggunya Candra anak yang kurang peduli, hanya hal menarik yang bisa meraih perhatiannya. Namun baginya, apapun yang diucapkan Ibu selalu menarik.
Perempuan itu kembali tersenyum. “Karena sesungguhnya, kamu tak akan menemukan jawaban atas pertanyaannmu tanpa mencari, dan kamu tak akan menemukan apa yang kamu cari tanpa bertanya.”
Kata demi kata yang dilontarkan Ibu membuat sepasang kembar itu terdiam. Mereka baru genap dasawarsa usianya, masih terlalu dini untuk memahami, meski kentara sekali ingin mengerti.
“Sudah, kalian sebaiknya berangkat sekolah kalau tidak ingin terlambat.”
Kata-kata Ibu mutlak, si kembar tak bisa menolak. Meninggalkan penasaran dalam kepala yang tak berhenti menggoda untuk dipikirkan.
*
Malam itu, Ibu bersikap sedikit berbeda. Ibu berdoa sangat lama selepas sholat Isya’, yang mana biasanya tak selama itu. Ibu tampak gusar, namun berusaha menutupinya.
Biasanya Ibu hanya mendongengkan satu kisah sebelum tidur dan menyuruh kedua putranya lekas tidur. Malam itu berbeda, beliau kisahkan banyak ceritera.
Biasanya Ibu tidur dikamarnya sendiri, malam itu tidak. Ibu tidur sambil merengkuh kedua putranya. Candra dan Lintang sadar akan perubahan itu, tentu saja. Namun memilih diam terlepas fakta bahwa mereka sudah diserang kantuk.
“Ibu terlihat gusar.” Kata Candra akhirnya atas segala keanehan yang ada. Lintang sudah terlarut dalam tidurnya. Candra belum, begitupun Ibu.
“Tidak apa-apa, Candra. Percayalah, semua akan baik-baik saja.” Hanya itu yang dikatakan Ibu. Ada tanya besar dalam kepala Candra, memangnya apa yang akan terjadi hingga Ibu sebegitu gusarnya. Namun ketika Ibu bilang semua akan baik-baik saja, Candra percaya, selalu.
***
Alkisah seorang pangeran bertanya pada sang raja, mengenai apa hal yang paling penting dalam hidup. Sang raja berkisah, sang angin mulia mengantarkan benih-benih ke tempat yang gersang dan tandus, sang awan hantarkan titik-titik hujan meminta benih mengakar, sang mentari hangatkan benih-benih dan menggoda untuk tumbuh muncul ke permukaan, cacing dan tanah turut andil dalam pertumbuhannya, untuk kemudian menghasilkan buah dan biji yang nantinya sang angin hantarkan lagi ke tempat lainnya, membentuk suatu rangkaian berulang yang bernama siklus.
Dongeng pengantar tidur yang terdengar tak tuntas ditelinga anak sepuluh tahun. Salah satu diantaranya cukup peduli untuk berniat menanyakan kejelasan kisahnya. Satu lainnya tidak terlihat penasaran, karena ia punya pemahamannya sendiri, yang ia simpan sendiri, namun tak memungkiri untuk ingin ikut menyimak penjelasan kisahnya.
Besok-besok mereka menyesal tak bertanya lebih awal. Sesuatu terjadi, penyebab hal besar yang menimpa mereka dan jutaan manusia lainnya. Penyebab jarak bermil-mil tanpa saling mengetahui satu sama lain.
Pagi hari itu, bumi bergetar hebat, kekuatannya masih mampu diukur dalam skala. Tepat sesaat setelahnya balatentara lautan meluluhlantakkan segala yang ada dihadapan.
Peristiwa itu menjadi pemicunya. Seseorang dengan banyak pertanyaan dalam kepalanya, juga seseorang yang mengerahkan segalanya untuk mencari.
Sayangnya, ada satu hal sederhana yang selalu terlupakan, namun setidaknya punya peran penting untuk pemahaman mereka.
Karena sesungguhnya, kamu tak akan menemukan jawaban atas pertanyaannmu tanpa mencari, dan kamu tak akan menemukan apa yang kamu cari tanpa bertanya.
Mereka baru berusia dasawarsa ketika mendengarnya. Masih terlalu awal untuk bisa memahami serangkaian kata yang rumit ditelinga mereka. Masih terlalu dini untuk bisa mengingat hal yang tidak mereka pahami.
Sesungguhnya mereka tidak baik-baik saja. Setidaknya itu yang keduanya rasakan. Namun akhirnya mereka terbiasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pijar | Haechan [ON HOLD]
Teen FictionTentang sesorang yang menghabiskan waktunya untuk bertanya, juga seseorang yang menghabiskan seumur hidupnya untuk mencari tahu, harga untuk sebuah kehidupan.