2 : Pendatang

272 14 1
                                    

Untuk saat ini Ivy tidak terlalu memedulikan anak laki-laki itu. Mengetahui namanya sudah lebih dari cukup. Akan terdengar tidak sopan jika dia melemparkan beberapa pertanyaan lain.

Tidak ingin larut dalam pikiran tentang Gerand, Ivy kembali menata duduknya senyaman mungkin untuk melanjutkan keheningan setelah dia memejamkan mata.

Setetes air terjatuh di punggung tangan Ivy. Seolah sengaja mengusik tidur sang gadis. Selang beberapa waktu tetesan lain terjatuh dua kali berturut-turut. Hingga kawanannya jatuh berkejaran ingin menjadi yang pertama sampai ke tanah.

Ivy terbelalak kaget melihat hujan yang mendadak lebat sebelum dia kembali ke kedo. Tubuh anak itu sedikit terselamatkan oleh bentangan daun-daun di atasnya. Dia tidak bisa menyerahkan diri menghadang hujan. Sehingga apa yang bisa dilakukannya hanya berdiam di sana menunggu awan kehabisan nyawanya.

Jalan gadis peralihan kala itu sangat menggambarkan keadaannya. Terhuyung-huyung, patah-patah. Genangan air terseok-seok. Barisan batu terpisah tak berkata walaupun kakinya pergi tanpa maaf.

Dirasakannya dingin yang merembes ke tulang. Basah sandangnya mengunci kedinginan untuk semakin terasa. Bagaikan anak ayam yang mencari induknya setelah lolos dari kubangan air es.

Dari puncak bukit dia memandang kedo Rosary. Semburat cahaya mulai dikeluarkan bergantian. Tanda malam akan segera tiba.

Ivy melanjutkan langkah malasnya menuruni bukit. Semakin larut, semakin cepat. Mengingat segerombolan laki-laki paruh baya dengan obor digenggaman bisa saja keluar dari kedo utama. Mereka akan berkeliaran mencari warganya yang belum kembali ke kedo saat hari benar-benar gelap.

Sebelum Ivy mulai memasuki kawasan kedo, seseorang mengalihkan perhatian matanya. Diliriknya sosok tubuh tegap itu tanpa memandang lebih lama.

Berbalut setelan jas hitam tanpa kusut berjalan keluar Rosary. Sepatu hitam gaya modern mengiringi langkah lebarnya. Tangan kanannya menjinjing payung bening tertutup. Terlihat air bergulir jatuh dari payung itu. Tanda bahwa dia telah berada di sini sedari hujan lebat mengguyur Rosary tadi.

Tampak sebuah papan dan kertas digenggaman tangan kirinya. Pena hitam terjepit di atas papan itu. Coretan rapi berwarna hitam menodai lembaran putihnya.

Seseorang itu berjalan di tengah rintik lembut hujan yang masih menemani senja Rosary. Didekapnya papan tadi tak ingin air menghantam kertas kering bernodanya.

Hanya dengan lirikan, Ivy dapat melihat detail sosok pria misterius itu. Sangat tak wajar bila dia tidak penasaran siapa pendatang Rosary yang kedua dilihatnya setelah Gerand. Di hari yang sama.

Namun, kehadirannya di kedo saat itu jugalah yang terpenting. Ivy mulai berlari kecil, mencabik-cabik genangan air. Menembus dinginnya angin petang. Bergeliat dengan sepatunya yang menampung sebagian hujan.

Larian kecil berhasil membawanya tiba di kedo sebelum gelap bertambah pekat. Sebuah kedo bertuliskan CCCXXVII. 327. Urutan pembangunannya.

Senyum lega tersinggung di wajah sang ibunda melihat Ivy pulang. Kepercayaan seorang ibu kepadanya dapat mengubur kemarahan dan menginjak kekhawatiran terhadap anak gadis satu-satunya itu.

Diambilkannya handuk dan air yang telah dididihkan sebelumnya ke kamar mandi. Menyuruh Ivy untuk mandi secepatnya sebelum sakit lebih dulu mencabiknya.

Setelah selesai bebersih diri, Ivy mendatangi meja makan bersama makanan hangat di tengahnya. Sop kesukaan Ivy telah disediakan. Daging asap berada di sampingnya. Sepiring nasi terlihat menggiurkan. Buah dan susu menjadi pelengkap hidangan makan malam itu.

Susu yang terakhir ditengguknya. Kemudian Ivy membuka mulut bertanya pada ibunya.

"Apakah ibu pernah melihat orang asing memasuki Rosary?"

"Pernah." jawab ibunya singkat.

"Kapan? Apa yang mereka lakukan di sini?" Kembali dia melontarkan pertanyaan.

"Dulu," ibunya menjawab tanpa ragu. "Sekadar mengecek kota ini."

"Untuk apa mereka melakukannya?" tanya Ivy belum puas.

"Entahlah, lagian sudah lama mereka tidak kembali, dan ibu rasa tidak akan ada lagi yang kemari." jelas Ibu Ivy, Dahlia.

"Tapi, Bu." kata Ivy lagi sebelum dipotong oleh ibunya.

"Sudahlah, pergi ke kamarmu dan tidurlah. Kamu terlihat sangat lelah hari ini. Ibu akan menyalakan api untuk menghangatkanmu." pinta sang ibunda seraya berjalan menuju perapian.

Ivy mengikuti langkah ibunya dan membungkuk ke perapian untuk menyejajarkan tubuh mereka. "Tapi, Bu, aku melihatnya hari ini. Aku melihat orang asing."

Bu Dahlia meletakkan kayu bakar yang dipegangnya, memandang Ivy lekat. "Kau telah melihatnya? Ibu juga."

Membuat Ivy semakin percaya bahwa yang dilihatnya tadi memang benar. Yang dikatakannya juga tidak salah.

Ibunya melanjutkan, "Jangan dipikirkan, mereka tidak jahat, mereka tidak berbahaya. Mungkin hanya mengecek sesuatu."

"Benarkah ibu? Kita tetap aman walaupun mereka kemari?" tanya Ivy penuh harap bahwa mereka akan baik-baik saja.

"Setidaknya itu yang selalu nenekmu katakan kepadaku." balas Bu Dahlia dengan nada tanpa jiwa. Tertunduk. Memandang api yang telah selesai dinyalakannya.

Ibu merasakan hal yang sama denganku. Ibu tidak yakin mereka orang baik. Ibu takut.

Batin Ivy kuat. Tidak tahu mengapa dia sedih. Dia takut. Perasaannya kian bergejolak. Perasaan yang memaksa masuk untuk bersemayam dalam hatinya.

Pikiran dan perasaan Ivy menambah berat langkahnya menuju kamar. Meninggalkan sang ibunda yang tidur di sofa dekat perapian. Diambilnya selimut terhangat. Ditutupinya badan kedinginan itu.

Ivy kembali ke kamar dan melakukan hal yang sama. Menyelimuti dirinya. Menutupi badan dinginnya. Hanya saja selimutnya tak sehangat yang dia berikan pada Bu Dahlia. Tak sehangat cinta yang dia berikan kepada ibundanya.

____________________

You know what I want. To be continued.

Pode GuestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang