05. Ilona

9 3 0
                                    

Langit biru semakin indah karena ada guratan putih dari awan. Sama seperti keluarga. Namun sayangnya hal itu tidak berlaku dalam keluarga kecil yang Ilona miliki. Sosok ibu yang Ilona kenal adalah sosok yang pekerja keras, tidak banyak bicara namun kasih sayangnya seluas samudra.

"Ayah, hari ini usia Ilo genap 17 tahun.  Ilo ingin menangih janji Ayah satu tahun yang lalu." Ilona menarik napas sejenak, seolah mengumpulkan keberanian untuk dirinya sendiri.

"Siapa Ibuku, Yah? Di mana dia sekarang? Kenapa Ilo tidak pernah sedikit pun mendengar cerita tentangnya?" mata Ilona mulai berkaca-kaca napasnya tersegal-segal karena menahan emosi.

Ayahnya masih bergeming tak ada tanda akan menjawab pertanyaan Ilona yang sekarang mulai tenang.

"Ayah, Ilo sudah dewasa. Sebentar lagi Ilo akan punya KTP Ilo sudah dewasa! Selama 17 tahun ini sosok Ibu yang Ilo kenal adalah Ayah."

Ayah kembali meminum kopi dari cangkir yang isinya tinggal setengah sembari meletakkan koran yang tadi dibacanya.

"Duduk dulu tu Nak. Jangan marah-marah nanti cepat tua loh."

"Ilo sedang tidak ingin bercanda Yah!" Dengan wajah mengkerut Ilona duduk di kursi yang ada di sebelah Ayahnya.  Meja kecil dengan taplak berwarna putih menjadi pembatas keduanya.

"Sekarang coba Ilo lihat langit itu, biru kan."

"Putih!" Jawab Ilona sarkas.

"Langit Itu bagai Ibumu. Biru yang meninggalkan haru. Saat kamu berusia 2 tahun Ibumu tidak sanggup lagi bertahan di samping Ayah. Kehidupan kita sangat susah sekali saat itu. Ayah tidak bisa menyalahkan Ibumu dia berhak memilih jalannya sendiri. Tapi, saat dia pergi Ayah meminta agar langit yang biru meninggalkan mataharinya agar awan punya pekerjaan."

"Pekerjaan?" Ayah tersenyum mendengar pertanyaan Ilona, senyum yang begitu meneduhkan.

"Di siang Hari awan ingin matahari berdiri di belakangnya agar tidak terlalu dibenci manusia bumi." Ilona memandang nanar ke arah Ayahnya yang kembali meminum sisa kopi di gelasnya. Cerita tanpa premis barusan sudah mampu mengobati rasa penasaran Ilona akan sosok Ibunya. Ilona tahu bahwa sosok Ayah yang terlihat kokoh di sampingnya ini telah melewati lelucuan semesta yang kadang kelewat batas.

"Apa Ibu pernah kembali?"

"Tidak sekalipun."

"Apa Ayah ingin Ibu kembali?"

"Kisah Ayah dan Ibu sudah usai bertahun-tahun yang lalu Nak. Namun biar bagaimana pun dia tetap Ibumu."

"Ilo tidak akan meninggalkan Ayah apapun keadaannya!" Sekali lagi Ayah tersenyum. Senyum yang lagi-lagi membuat Ilona merasa teduh saat melihatnya.

Siang itu langit terlihat biru dengan sedikit guratan putih milik awan. Panas sekali, membuat Ilona harus berteduh di bawah pohon besar yang ada di pinggir jalan sembari menunggu angkot yang entah mengapa belum terlihat sejak tadi.  Seragam putih abu-abu yang Ilona kenakan menempel di badannya karena keringat. Kulit sawo matangnya semakin memerah karena biang keringat. Lagi dan lagi, takdir sedang bercanda!

Saat Ilona terlena dengan pikirannya sebuah mobil SUV berwarna putih berhenti tepat di depannya.  Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam mobil tersebut. Pakaian, tas dan sepatunya memberitahukan status sosial wanita itu. 

"Halo adik manis tahu alamat ini di mana?" Wanita itu menyerahkan secarik kertas yang sudah terlihat usang dan kumal. Syukurnya tulisan di kertas itu masih bisa dibaca.

Ilona menajamkan penglihatannya, dia berkali-kali membaca ulang alamat yang ada di kertas itu. Dia tidak salah baca, alamat itu adalah alamat rumahnya. Siapa sebenarnya wanita itu?

ILONA  (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang