PART 1

54 9 2
                                    

GEDUBRAK!

GEDBURAK!

Eka yang sedang asyik mengaduk adonan kue di dapur terperanjat kaget mendengar suara benda jatuh. Meski terdengar samar namun tetap saja mengagetkan, suaranya tak sekali tapi berulang kali. Melongokkan kepala ke arah ruang tengah seraya mengerutkan kening. Berisik sekali, pikirnya.

"Nazma, Gilang, tadi apa yang jatuh?" tanya Eka dengan suara yang nyaring. Mengalihkan atensi dua orang yang sedang asyik di ruang tengah.

"HAH?!"

"ITU TADI APAAN YANG JATUH?" balas Eka membahana. Hampir menggetarkan seluruh lemari kaca yang ada di rumah.

"NGOMONG NAON SIH, KAK? KAGAK KEDENGERAN! SUARA MIXER-NYA MATIIN DULU, OI!"

Hampir saja ingin mengeluarkan teriakan yang maha dahsyat, Eka langsung nyengir tanpa sadar karena suara mixer yang ia pegang ternyata menghambat pendengaran mereka dan alhasil mereka saling berteriak meski jarak dapur dan ruang tengah tak terlalu jauh.

"Oiya, hehehe." Eka mematikan mixer. "Itu apaan sih, yang jatuh? Kalian kalau mau gelud mending di ring tinju atau gak di lapangan RT!"

"Gak gelud, Astagfirullah! Adem ayem begini. Btw dari tadi nggak ada benda jatuh di sini, kok," ucap Nazma yang mendongak di balik sofa. Gadis itu tengah mengunyah keripik kentang dengan tangan yang sibuk menggulir layar ponsel. Padahal tidak ada pesan masuk, tapi masih saja begitu seperti tak ada kerjaan. Maklum nasib jomlo.

"Remote tetangga kali yang jatuh," sambung Gilang sembari memakan cemilannya sambil menonton siaran ulang pertandingan sepak bola di televisi. "Udah, ah. Jangan ganggu."

"Yeuuu, si budjank!" rutuk Eka sambil terus mengaduk adonan kuenya yang setengah jadi. Setelah meletakkan adonan kue di loyang dan memasukan ke oven, Eka melepas celemek dan mencuci tangannya.

Krsssrk ... krsssrk ... krsssrk ...

Suara berisik kembali terdengar yang entah dari mana asalnya. Eka lagi dan lagi berhenti sejenak dengan kening berlipat bingung. Kenapa begitu gaduh? Padahal di rumah hanya ada ia, Nazma dan Gilang sedangkan adik-adiknya yang lain sedang keluar rumah. Eh, ralat! Masih ada satu spesies manusia yang masih mendekam di kamar. Yaitu Riska. Mungkin bisa saja suara itu berasal dari Riska yang berlatih drama bela diri dengan guling hingga terjatuh dari kasur. Entahlah.

Ingin memastikan tidak ada apa-apa yang terjadi, Eka memilih untuk ke kamar adiknya.

Hingga ia sampai di depan kamar Hikmah dan Riska. Baru saja tangannya terjulur ingin mengetuk pintu, ia terlonjak kaget saat pintu utama dibuka dengan kasar hingga benda itu terbentur keras dengan dinding.

"SAMLEKOM, MAMANK!" teriak suara yang familiar dari arah ruang tamu. Terlihat Ridho, Mustofa, Ahfad, Ica, Syifa, Hikmah dan Rizqi baru saja pulang dari sekolah.

"HELLO EPRIBADEH! KAMI SUDAH PULANG SEKULA DENGAN SELAMAT SENTOSA! RED CARPET SERTA BUNGANYA MANA NIH?!  WOIII! ADA ORANG GAK DI RUMAH?!" teriak Ridho.

"WOI GAK USAH TERIAK-TERIAK! GUA GAK BUDEK!" Itu suara Gilang.

"LAH LU NGAPAIN TERIAK JUGA, WOI?!"

"KAN GUA NGIKUTIN ELU!"

Eka mendengkus kesal. Buru-buru ke depan dan langsung berkacak pinggang. Wajahnya terlihat sebal. "Ridhooo, bisa nggak sih ngucap salam yang bener? Nggak sopan banget, anjim."

"Biasa lah, Mbak. Namanya juga Ridho. Iya nggak, Dho?" tanya Mustofa sambil merangkul Ridho.

"Bukan saudara gua tuh, amit-amit gua punya saudara macam tarzan," imbuh Ica.

"Untung gua enggak alhamdulilah," balas Gilang sambil mengelus dada yang rata.

"Lu juga sama aja," gerutu Eka. "Sana, pada ganti baju. Habis itu makan siang. Gue mau ke kamar Riska dulu, tadi ada suara jatuh di kamarnya. Takutnya kenapa-napa. Dia, kan, kalau sakit suka pecicilan kayak cacing dikasih garam."

"Oh iya. Ika, Nana, Chris, David, sama Iky mana? Kok nggak ikut pulang sama kalian? Perasaan tadi gue juga minta David buat jemput kalian, deh."

Hikmah memberikan secarik kertas. Eka membaca isi kertas.

Dear, Kak Eka

Kak, Aku sama Nana ijin bawa Chris dan Iky buat bantu tugasnya kami berdua, ya. Kami janji kok, nggak akan pulang terlalu sore. Mwah...

Love,
Ikuk

"Jaman udah modern masih aja pake surat," kata Hikmah.

"Aneh emang Kakak lu," balas Syifa.

"Tadi aku malah liat Kak David main PS di rumah tetangga," ucap Ica yang sedang meletakkan tas dan buku-buku jurnalnya di meja.

"Asem," gerutu Eka dalam hati. "Lang, sambil nanti makan siang, tolong kalo ovennya bunyi kuenya diangkat, ya. Nggak boleh protes," ucap Eka sebelum melangkah ke kamar Riska membawa nampan berisi makan siang untuk Riska. Ia tak begitu mempedulikan gerutuan Gilang yang sedikit kesal.

***

"Iky mana, Kak? Lagi makan siang, kah?" tanya Riska.

"Dia lagi bantuin Ika sama Nana ngerjain tugas praktikum. Bentar lagi juga pulang, kok," jawab Eka sambil meletakkan piring dan gelas kosong di atas nampan. "Kakak mau cuci piring dulu ya, di dapur. Kamu mau istirahat atau mau nonton tv di depan?"

"Aku istirahat dulu aja, Kak. Nunggu Iky pulang."

Eka tersenyum dan menutup pintu kamar Riska pelan. Baru ia akan melangkah, suara berisik itu datang lagi. Ia meletakkan nampan di samping rak sandal dan berusaha mengikuti sumber suara. Hingga sesampainya ia di depan gudang, ia mendengar suaranya semakin keras dan terdengar dari bawah tanah.

Apa rumah ini punya basement? Tanyanya dalam hati. Bahkan, almarhumah Bibi Shahna tak pernah bercerita soal seluk beluk rumah ini. Ia semakin penasaran. Eka mondar-mandir mencari jalan menuju sumber suara yang ia duga dari basement. Beberapa menit mencari, ia merasa lelah dan menyadarkan dirinya di tembok.

Sreeett! Gubrak!

Ia terjatuh dan terpanjat kaget dengan pemandangan yang ada di sampingnya.

Bersambung_

***

Anyyeong, gaes. Terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini. Insya Allah, bakal sehari up sekali sampai 6 part ke depan ya. Vote jika suka, comment kritik dan saran jika ada kesalahan dalam tanda baca/penulisan kata, kritik dan saran sangat aku butuhkan buat karya aku yang masih berumur sehari ini. Hehehe...

Terima kasih sudah membaca. Part kedua aku up besok, ya. Salam literasi!

Love,
Emaknya cerita Fur Elise

Fur EliseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang