¤

28 4 2
                                    

Patrilia,

Sepertinya kebanyakan manusia memanggilku Lia. Itu lebih mudah. Pasalnya namaku terlalu susah untuk diucapkan di Jawa.

Tapi tak apa, aku sudah melupakan alasan itu sampai detik ini. Sudah cukup lama juga aku tinggal di Jawa. Rasanya sama, hanya saja disini cukup panas ketika kemarau.

Langitnya sekarang cerah. Udaranya cukup sejuk karena aku duduk di pinggir sungai. Tempat favorite ku untuk sekedar melukis.

"Hei"

Laki-laki ini lagi. Aku bahkan hampir bosan melihatnya, tapi bibirku tak bisa bohong jika suka tersenyum saat suaranya muncul.

"Apa lagi? Mau mengacaukanku?!" Suaraku berubah dengan nada tinggi namun bercampur senyum.

Rasanya aneh jika tidak tersenyum didekatnya.

Walau tak bisa di cerna lagi kenapa aku begitu.

"Apa lagi? Setelah pohon pohon di tepi sungai, sekarang kau mau melukis apa?"

Aku sedikit bergumam. Dia benar, aku lebih suka melukis pohon dari pada manusia, lebih suka menangisi binatang dari pada manusia, lebih suka diam dengan suara sungai dari pada tertawa dengan manusia, pasalnya hanya aku yang pantas melakukan itu. Dia tidak, tapi itu katanya.

Dia tahu, aku terlalu KAKU untuk sekedar mengatakan SUKA.

"Johan? Aku melupakan sesuatu" kataku sedikit membuka mata jauh lebih lebar.

"Kuasmu? Atau cat air dengan air curian di sungai?"

Aku lantas terkekeh.

"Bukan itu! Memangnya air sungai milik siapa sampai pantas di bilang curian?!"

"Milik tuhan tentu saja"

Laki-laki itu menyebalkan. Dia berjalan membelakangiku sekarang. Entah mau kemana saat aku membutuhkan bantuannya.

"Johan! Tolong ambilkan cat air warna oranye"

"Tidak! Nanti kau hilang lagi!" Teriaknya membalas teriakanku.

Kita hanya saling memandang. Lantas dia pergi begitu saja.

-

Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang