¤

6 1 0
                                    

"Siapa, Li?"

"Bentar" lantas Lia keluar.

"Natan?"

Sang empu menoleh, disusul kedua laki-laki lainnya.

Natan menatap sendu Lia. Lantas melihat kesekeliling tempat ia berdiri. Menyaksikan beberapa gedung tengah berdiri dengan kokoh.

Beberapa orangpun sudah muak dengan apa yang terjadi, lantas pergi meninggalkan tempat kejadian. Juga kakek tua tadi yang mendegus kesal meninggalkan mereka.

"Kau bisa pergi" lirih Natan pada laki-laki itu.

Apa yang pantas dipertanyakan sekarang hanyalah "apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan sepele itu membuat Natan sedikit bingung, ditambah raut wajahnya yang terkejut.

"Aku bertanya padamu, bukan orang lain"

Natan mengangguk ragu. Luka yang tercipta di sudut bibir juga pelipisnya tidak lagi terasa perih. Matanya terus menyaksikan Lia yang tengah mengeledah isi tasnya.

"Kau bisa pakai ini"

Natan diam lagi, melihat plester perban di tangan Lia. Bukannya mau menolak, tapi Natan melihat betuk warna cerah plester itu. Warna yang sama sekali tidak ia sukai.

"Kau tidak bisa memakainya?"

"Lia? Kenapa?"

Lia tersenyum menatap Hasan.

"Tak apa, em, 5 menit lagi makan siang berakhir kan?"

Hasan lantas mengangguk sambil melirik jam tangan hitam di tangan kanannya sendiri. Lalu melihat laki-laki babak belur didekat Lia.

"Kau bisa pergi dulu, mungkin 1 atau 2 menit lagi aku sampai"

"B-aik-lah" titah Hasan. Dia sedikit ragu dengan keputusan sahabatnya itu. Selanjutnya melangkahkan kaku menjauh dari keduanya dan mendekat ke kantor.

"Kalau lukamu tidak segera di obati akan infeksi" Lia meletakkan plester itu ke tangan kanan Natan. Sisanya dia gunakan sisa waktu jam makan siangnya untuk mengobati luka Natan. Bahkan dia belum sempat melahap semua makan siangnya.

"Aku harus segera ke kantor"

"Aku tidak tahu jika kau bekerja di daerah ini" suara Natan terdengar sangatlah pelan dan gusar.

Lia tersenyum.

"Aku duluan"

Langkahnya menjauhi Natan lebih cepatt karena dia harus segera menyelesaikan tugasnya. Sementara Natan masih melamun dan menatap punggung Lia dari kejauhan.

"AKU BELUM MENDENGAR TERIMA KASIH DARIMU"

Lamunannya pecah. Dia masih bingung dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu.

"Terima kasih"

Bahkan Natan yakin jika Lia tidak mendengar ucapannya yang pelan. Namun sekiranya Lia melihar gumaman mulutnya dari jauh.

🍓

Nafasnya berat sekarang. Bahkan seakan ada yang tengah mengikat dadanya dengan begitu kuat dengan tali tambang. Lia terus saja berusaha menetralkan nafasnya, namun kenyataannya sama saja.

"Baiklah, aku akan datang"

Suara akhir panggilan telfon terdengar jelas. Lia baru saja sampai rumah dan langsung mendapatkan berita tidak mengenakkan ini bagi beberapa orang.

Baginya ini biasa saja, walau kenyataan yang terjadi adalah ayahnya meninggal.  Maksudnya ayah tirinya yang meninggal. Bahkan tidak ada ucapan bela sungkawa untuk ibunya yang tengah menangis di sebrang sana. Juga tak ada isakan kesedihan karena kehilangan. Lia hanya bersikap seolah orang yang tengah hilang dari bumi itu hanyalah orang yang tidak ia kenal.

Perempuan itu lantas mengunci setiap pintu dan lemari. Kemudian berjalan keluar setelah mengambil apa yang pantas dan membuang apa yang tidak pantas dia bawa.

Ini akan jadi perjalanan panjang.

"Kau bisa bantu aku?"

"Ada apa?"

Lia kembali menarik nafas dan membuangnya dengan begitu berat. Sambil berfikir mau mengatakan dengan cara bagaimana pada Hasan lewat telfon.

"Aku bahkan bingung bagaimana mengatakannya"

"Katakan saja"

Lia berdercak sejenak lalu masuk ke dalam kereta.

"Ayahku, maksudku ayah tiriku meninggal dan aku harus pulang ke jawa sekarang"

"Oh, astaga, maafkan aku, aku turut berduka"

"Ya, kau hanya perlu membantuku mengatakan pada bos jika aku mengambil cuti 3 hari"

"Baiklah, jika kau tidak mengirimkan surat aku akan membantumu"

"Terima kasih"

"Tentu saja"

"Kau sahabatku yang baik"

Hasan lantas terkekeh di sebrang sana. Baru saja Lia akan duduk namun seorang nenek sudah lebih dulu masuk. Dia bahkan mengurungkan niatnya dan membagi tempat duduknya.

"Sampai jumpa"

"Tentu"

🍓

Manik matanya melihat kesekeliling jalanan dan halaman rumah. Dia sudah muak pulang lagi malam ini. Lantas memilih untuk berjalan santai walau sudah malam. Suara pecahan piring dan gelas membuatnya pusing. Bahkan luka di wajahnya saja belum kering. Namun ditambah lagi dengan luka di hatinya.

Natan menendang kaleng bekas cola di jalan ke tempat sampah terdekat. Dia memang brandal, tapi tidak dengan membuang sampah sembarangan. Tangannya dia masukkan ke saku hoodie karena cuaca malam cukup dingin.

Tak lama berjalan bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Sambil menyaksikan sebuah rumah di ujung jalan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal hatinya malam ini.

Bukan, bukan karena keluarganya yang tengah bertengkar. Bahkan dia belum bisa memastikannya. Atau mungkin karena Lia? Gadis yang menurutnya cantik, yang memberikan sebuah perhatian kecil, yang membuatnya sadar bahwa dunia tidak sekejam itu.

"Apa dia sudah tidur?" Natan melangkah mendekati rumah itu. Pasalnya lampu di rumah itu sudah padam walau masih jam 8 malam.

Pandangannya menyisiri setiap taman didepan rumah yang terlihat hijau dengan beberapa bunga warna merah dan kuning. Gerbangnya terkunci.

Natan hanya berdiri menatap gembok itu namun pikirannya entah melayang kemana-mana. Entahlah keluarganya yang hampir saja hilang, atau kedatangan Lia yang membuatnya sadar, bahwa kata-kata "Kalau lukamu tidak segera di obati akan infeksi" menandakan bahwa masih ada sekiranya satu saja manusia yang peduli padanya.

Natan tersenyum. Laki-laki brandal yang selalu terlihat cuek dihadapan dunia, bahkan di hadapan dirinya sendiri, sekarang tersenyum. Hanya karena perlakuan kecil dari seorang gadis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang