Suasana ruang perawatan rumah sakit terasa tenang namun tegang. Mesin monitor berdetak perlahan, menjadi irama latar dari doa yang lirih. Patricia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Arnold yang belum juga bergerak. Di sekelilingnya, Afifah, Azizah, Almira, Alya, dan Sheren ikut menundukkan kepala, memanjatkan doa dengan penuh harap.
“Dokter bilang kalau Papa sadar hari ini... besok bisa pulang,” ucap Patricia dengan suara bergetar.
Azizah menimpali, “Semoga Allah beri kesembuhan... dan perlindungan untuk kita semua.”
Tak lama kemudian, jemari Arnold bergerak. Matanya perlahan membuka, pupilnya berusaha menyesuaikan cahaya. Patricia langsung menunduk, memeluknya erat.
“Arnold! Alhamdulillah kamu sadar!”
Afifah menahan air mata haru, sedangkan Almira dan Alya tersenyum lega. Sheren tak berkata apa-apa, hanya memandangi ayah tirinya dengan mata berkaca.Arnold mengerjapkan mata. “Kalian... semua di sini?”
Patricia mengangguk. “Kami menunggumu bangun. Kamu selamat, Arnold... kamu selamat.”Namun di balik kegembiraan itu, seseorang mengawasi. Di luar ruangan, berdiri sosok laki-laki tinggi berpakaian serba hitam. Topi menutupi sebagian wajahnya, dan dia tidak mengenakan masker. Dia berdiri kaku, pandangannya menembus kaca jendela menuju ruang perawatan.
Tak jauh dari situ, Famael memperhatikan gerak-gerik pria itu dari ujung lorong. Ia mengenakan earphone kecil, dan tangan kirinya menyentuh mikrofonnya secara halus.
“Zed,” bisiknya, “pak Arnold sudah sadar. Tapi tadi gue dengar perawat bisik-bisik... katanya, Arnold hampir dibunuh—ada yang masukin zat ke infusnya kemarin malam.”
Zed yang berada di mansion mendengar dengan jelas. Suaranya terdengar pelan dan dingin di telinga Famael.
“Orang yang berdiri di luar ruangan itu... pakai hitam dan topi?”Famael menoleh kembali, tapi pria itu sudah hilang. Hanya bayangannya tersisa di kaca.
“Dia sudah nggak ada,” kata Famael pelan. “Tapi gue yakin... dia bukan orang biasa.”Zed menunduk sambil mengetik sesuatu di laptop. “Kalau benar ada yang coba bunuh Arnold... berarti dia pegang sesuatu yang penting.”
Famael mengepalkan tangan. “Kalau memang itu peringatan... maka kita harus siap diserang balik.”
Zed menjawab dengan nada dingin. “Tak perlu bertahan, Fam. Kita yang akan mulai memburu duluan.”Lorong rumah sakit masih lengang, hanya suara langkah suster yang terdengar sesekali. Famael bersandar di dinding, earphone masih menempel di telinganya. Suara Zed terdengar samar dari sisi lain.
“Pak Arnold selamat. Tapi jelas dia jadi target,” ucap Zed.
Famael menghembuskan napas kasar. “Gue nggak habis pikir. Orang ini bener-bener dendam ama Pak Arnold. Kemarin udah coba sabotase motor—gagal. Sekarang nyoba lewat zat beracun di infus... Gila.”Ia melirik sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar, lalu lanjut bicara.
“Coba lo tanya ke Darda. Pasti dia udah punya infonya. Tapi—” Famael berhenti sejenak, suaranya jadi serius, “—ada yang lebih heran sih. Kenapa lo bersikeras ngelindungi Arnold? Lo bukan anak buahnya. Lo bukan siapa-siapa buat dia.”Hening sesaat.
Zed tertawa pelan dari balik earphone, suara rendahnya penuh percaya diri.
“Karena gue mau anaknya.”
Famael terdiam. “Hah? Lo... ngomong apa barusan?”“Gue mau Almira,” ulang Zed santai.
“Dan kalau bokapnya mati sekarang, itu bakal merusak semuanya. Gue nggak suka main dengan kartu rusak. Gue pengen dia jatuh ke tangan gue... bukan ke kubur.”
Famael memicingkan mata, terdiam beberapa detik sebelum tertawa pelan. “Gila... lo bener-bener psycho, Zed.”
Zed menyeringai. “Semua orang punya motif, Fam. Dan motif gue... sederhana. Gue pengen Almira. Seutuhnya.”
Famael mencabut earphone-nya perlahan, menatap ruangan tempat Arnold dirawat.

KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE'S FOR THE DEAD. (SEGETA TERBIT)
FantascienzaDi balik wajah dunia yang damai, tujuh pemuda menyimpan luka, kemarahan, dan dendam yang tak berkesudahan. Zed, pemimpin dingin yang tak pernah ragu membunuh. Zion, bagaikan api liar, brutal dan tak terkontrol. Kalif, diam dan sadis seperti kematian...