Semarang (2)

228 35 64
                                    

"Halo, Pih," aku menyapa ayahku yang saat itu sudah duduk di kursi ruang makan, memeluknya sebentar seraya melepas kangen sebelum menarik sebuah kursi untukku duduk.

"Wuuiih, jagoan Papi udah dateng, sampe jam berapa tadi, bro?" balas Papi sambil berkelakar seperti biasa. Papi ini sifatnya jauh berbeda dari Mami. Orangnya cuek, terkesan santai, dan suka mbanyol. Tapi bukan berarti nggak bisa tegas, justru kalau soal hidup beliau lebih tegas, lebih galak dibanding Mami.

Aku jadi ingat saat dulu kuutarakan keinginanku merantau kuliah di Jakarta ikut Pak Lik Yud, saat Mami menangis menolak keinginanku tak tega melepas anak satu-satunya, Papi lah yang memberikan dukungan padaku.

"Tapi hidup di Jakarta itu keras, Pih, selama ini Eko belum pernah jauh dari Mami, gimana dia bisa tahan di sana tanpa Mami, Pih?"

"A Yin sudah besar, Mih, bukan anak kecil lagi. Dia juga anak laki-laki. Biarlah dia belajar kerasnya hidup tanpa orang tua, seperti Papi dulu, seperti kakeknya pula. Kalau dia terus di sini dalam tempurung Mami, gimana dia bisa maju?"

"Tapi, Pih. . ."

"Mih, sudah cukup selama ini Mami manjakan dia, A Yin sudah memilih jalan hidupnya sendiri biar Tuhan sekarang yang menjaganya. Papi yakin dia bakal jadi orang!"

Begitulah kurang lebih percakapan Mami dan Papi hari itu, aku tidak sengaja menguping loh, hanya kebetulan lewat di depan kamar mereka dan mendengarnya saja. Dan ucapan Papi saat itu seolah menjadi doa sekaligus cambuk bagiku. Saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri untuk mewujudkan doa Papi. Jadi orang!

Hal itu sudah kubuktikan kini, dengan kehidupanku, pencapaianku, kebanggaan serta nama baik yang kubawa hingga detik ini, kudedikasikan untuk Papi dan Mami.

Aku tersenyum memandang kerutan-kerutan halus di wajah Papi yang mulai kentara karena usia, "tadi jam empat, Pih," kujawab pertanyaan Papi tadi, " Papi gimana kabarnya, udah sehat? Mami bilang udah mulai sering nyeri pinggang?" selorohku balas berkelakar.

"Papimu ini loh, payah, baru umur segitu sudah encok-encok, gimana mau gendong cucu nanti?" Mami nimbrung.

Papi tampak cemberut mendengar gurauan Mami, "loh loh loh, jangankan gendong cucu, gendong Mami aja Papi masih kuat kok," ketus Papi sesumbar sambil membusungkan dada.

Meledaklah tawaku seketika itu, apalagi kulihat semburat merah muda menjalar di wajah putih Mami. Sekarang sudah tahu 'kan darimana kudapatkan skill nggombalku selama ini?

"Hush, Papi itu loh, macem-macem aja kalo ngomong!" Mami memprotes dengan wajah merahnya yang malu-malu

Papi mengerling, "kenapa toh, Mami mau bukti? Sini loh, Mih, pangku sini!" godanya sambil menepuk-nepuk pahanya, senyum jahil jelas kentara di wajahnya yang masih terlihat tampan dan berkharisma di usianya.

"Papi!" seru Mami dengan maksud menghentikan guyonan Papi, meski terlihat jelas sekali kalau Mami juga senang digoda seperti itu oleh sang Arjuna. Tinggal aku yang geleng-geleng kepala menonton romansa muda-mudi tahun 70-an itu. "Oiyah, kamu sudah bangunkan Dimas, Ko?" tanya Mami perpaling padaku yang masih tertawa geli, mengalihkan pembicaraan.

"Udah, Mih, tadi katanya mau mandi dulu baru turun, paling sebentar lagi," jawabku.

Panjang umur, setelah berkata begitu ternyata Dimas sudah keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju kemari. Ia lalu menghampiriku yang duduk di samping Papi, aku berdiri mengenalkannya pada Papi. Dimas menyebutkan namanya sambil memberi salam dan mencium tangan Papi lalu duduk di kursi yang sudah kusediakan, bergabung untuk makan malam. Tak lama kemudian kamipun terlibat obrolan seru. Dimas tertawa sampai hampir menangis mendengar guyonan Papi meski awalnya suasana agak sedikit haru saat Dimas menceritakan kalau ayahnya sendiri sudah lama meninggal. Papi turut menghibur Dimas dan mengatakan padanya kalau dia tidak perlu sungkan dan menganggap keluarga ini sebagai keluarganya, dan orang tuaku juga orang tuanya.

Dimas & Eko [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang