Hubby-Part 4

2K 324 149
                                    

Jam kini menunjukkan tepat pukul lima sore. Namun Hinata belum juga tampak siap untuk pulang. Ia dan teman-temannya justru duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya berbincang-bincang banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh dan kopi berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan ringan lainnya.

"Hei, kalian lihatlah nona yang satu ini! Kalau dibiarkan, kurasa dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi," seru Shion kepada Ino dan Sakura, sedangkan empu yang dibicarakan memilih cuek. Menyesap latte tentu jauh lebih nikmat dari pada terus menerus mendengar ocehan teman-temannya secara bergantian.

"Kami terkadang heran, Hinata. Kenapa bisa suamimu dengan mudahnya memberi semua kartu kredit itu padamu? Kau bahkan punya Black Card." Sakura menimpali, lalu menyesap perlahan teh chamomile-nya.

Shion mengangguk kemudian menyambung perkataan Sakura, "Kalau saja kau rela memberi satu kartumu itu untuk kami bagi bertiga."

"Dalam mimpimu, Shion. Kau pikir suamiku relawan sosial? Mendanai uang belanja kalian semua? Enak saja, aku lebih setuju kalau Naru menyumbangkannya langsung ke panti asuhan," ucapnya menohok, kemudian mengambil sepiring cheesecake yang menjadi kue favoritnya.

"Astaga! Sikapmu langsung berbeda jika kami membahas tentang suamimu. Kentara sekali kau pencemburu, Hinata. Siapa tahu kalau kami yang memintanya langsung, dia akan senang hati merelakan untuk kami." Ino berujar dengan gelagat menggoda. Perempuan itu mengedipkan sebelah matanya, lalu bertopang dagu di atas meja.

"Ya silakan kau coba, Ino. Ide yang bagus menurutku. Bergabunglah bersama Shion di alam mimpi. Karena hanya di sana kalian bisa berkhayal sepuasnya." senyum remeh Hinata layangkan kepada tiga perempuan sosialita tersebut. Tak lama tawa keras bersusulan di antara mereka.

"Sakura, dari kami semua... bukankah kau yang pertama kali menikah? Tapi hingga sekarang kau belum juga hamil." Ino mengalihkan topik setelah ia menyeruput choco float itu.

"Aku memang belum berencana untuk punya anak. Kau sudah tahu profesiku 'kan? Karierku masih panjang... dan ya, aku tidak ingin semua impianku terhalang hanya karena kehadiran seorang anak," jawab Sakura seadanya. "Tunggu! Kau bertanya padaku soal anak? Padahal kau sendiri pun belum."

"Tak jauh beda darimu, Sakura. Walau aku bukan seorang model, tapi jabatanku di perusahaan baru saja naik. Selanjutnya... kau pasti tahu sendiri. Jika aku hamil, maka kebijakan perusahaan akan memberi cuti panjang sampai kondisiku kembali siap untuk bekerja." Ino seketika mendesah pelan, "Aku bahkan tidak sudi untuk membayangkannya. Apa kalian tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan agar bisa mendapatkan pangkat tinggi seperti sekarang? Lima tahun. Tidak perlu berpikir ulang, aku jelas tidak siap untuk kehilangan itu."

Shion mendengkus, hingga atensi mereka berpindah padanya. "Kenapa denganmu, Shion? Kau  terlihat tak senang," tanya Sakura.

"Mendengar perkataan kalian tadi, membuatku semakin percaya bahwa memiliki anak adalah pekerjaan yang sangat berat dan aku tidak perlu terburu-buru menginginkannya." Shion menjawab tenang. Ia kembali rileks, kemudian mencicipi kue tiramisu.

"Entah, kau tidak usah memastikan hal itu sekarang. Semuanya akan terjawab saat kau si Sabaku menikah nanti." Ino menyahut dengan bijak, dipertegas anggukan oleh Sakura.

Baru saja Hinata mereguk latte yang berangsur-angsur dingin, tiga pasang mata indah tersebut tertuju padanya. "Ada apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu?"

"Karena kau sendiri yang berbeda. Bisa dibilang kau dalam posisi emas. Suami tampan, kaya raya juga sangat mencintaimu. Kau bisa dapatkan segala yang kau mau tanpa harus berusaha keras, sementara kami? Semua ini baru kami nikmati dengan kerja keras," kata Shion menceritakan seadanya.

"Lalu?" Hinata balik bertanya, menggulir pandangan secara bergilir pada mereka.

"Ya Tuhan. Aku tidak menyangka kalau terbuai dalam hidup enak bisa membuat seseorang menjadi bodoh. Sadarlah, Hinata. Semua wanita di dunia  memimpikan berada di posisimu," ketus Ino.

Sedangkan Hinata, dengan sikap tenang ia berkata, "Nikmati saja hidup kalian, setiap orang punya jalan takdirnya masing-masing."

-----

Bersama suasana hati yang gusar, Naruto menunggu istrinya di ruang TV. Padahal sudah hampir malam, namun Hinata belum juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumah. Bahkan ponselnya tak lagi bisa dihubungi, berkali-kali mencoba dan tetap gagal. Kemungkinan ponsel Hinata kehabisan daya atau dengan sengaja menonaktifkannya. Enggan berprasangka buruk, Naruto tetap pada dugaan pertama. Karena ia tahu Hinata belum pernah melakukan hal seburuk itu.

Kepalanya perlahan terasa berdenyut. Memikirkan undangan makan malam dari keluarga Nara dan Hinata yang tak kunjung pulang, menyebabkan ia mendadak pening. Naruto mendengkus kasar, lalu berjalan menuju kamar. Mau tak mau ia harus tetap menepati janjinya walau tanpa Hinata.

-----

"Maaf, aku terlambat," ucap Naruto sopan di meja makan, yang saat ini penuh dengan bermacam hidangan. Ia pergi seorang diri memenuhi undangan keluarga Nara.

"Omong-omong, di mana istrimu, Tuan Nami?" Temari menanyakan selagi ia menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir keramik yang pula sudah ditata di atas meja.

"Tadinya dia ingin ikut, tapi aku melarang. Kulihat wajahnya lesu, mungkin dia kelelahan. Jadi aku memintanya untuk tetap beristirahat di rumah," kata Naruto beralasan.

"Istrinya juga sedang hamil, sama sepertimu." Shikamaru meneruskan, ditanggapi senyuman oleh Temari.

"Sayang sekali, padahal aku sangat berharap dapat bertemu dengannya. Pasti seru jika memiliki teman dengan kondisi yang sama, barangkali kami bisa berbagi banyak hal. Khususnya masalah kehamilan." penuturan Temari terdengar serius, wajah perempuan itu berbinar-binar kala mengucapkannya.

Melamun sejenak, suara Shikamaru menyentak lelaki berambut pirang tersebut. "Masih banyak waktu. Kalau kau mau kita bisa bergantian untuk berkunjung ke rumah mereka."

"Benarkah? Aku sangat menantikannya, sayang." Temari menjawab semringah.

"Kita tanyakan dulu pada, Naruto."

"Ehm?" lelaki itu mengangguk lambat. "Tentu, sepertinya akan menyenangkan. Nanti kuberi tahu istriku di rumah. Dia pasti gembira saat mendengar kabar baik ini."

"Sudah, sudah. Nanti saja mengobrolnya." Temari melepas senyum mengembang. Perempuan ini benar-benar ramah, pandai membuat suasana menjadi cepat akrab. "Jangan sungkan, ya. Nikmati makanannya dan kuharap semua sesuai dengan seleramu."

"Aku jadi tidak sabar untuk mencicipinya," jawab Naruto juga dengan ramah.

Aura menggembirakan tampak menguar menguasai ruang makan. Silih membalas senyum, melempar tawa juga senda gurau secara bergantian berlangsung di antara mereka.

"Silakan dimakan, Naruto. Buat dirimu santai, aku akan senang jika kau merasa nyaman di sini."

-----

Di perjalanan pulang, Naruto menyetir mobilnya dengan perasaan gusar. Entah sudah yang ke berapa kali ia menghubungi ponsel Hinata, namun tak juga berhasil. Semua bercampur aduk di benak lelaki itu. Rasa cemas yang teramat, kesal pula kecewa merundung kepalanya begitu kuat saat ini. "Kau di mana, Hinata?!"

Bersambung...

Hinata HUBBY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang