Selama hampir sepuluh tahun, Jung Yein terus memimpikan sosok yang sama. Si Pendiam Tampan yang terus menatapnya tanpa melakukan apa-apa. Siapa dia? Datang darimana asalnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus muncul di otak pun tak satupun da...
Teh hangat dan roti panggang adalah sarapan yang sempurna untuk memulai hari sibukku. Ah, tidak sebegitu sibuk juga sih. Lumayan.
"Uh, Cute!" Gumamku sambil menunjuk potret Si Pendiam yang tersenyum gembira di bawah hujan daun maple kering.
"Noona, kau di dalam?" Teriak seseorang dari luar.
Ah, dia muncul lagi.
Aku memilih diam, kembali sibuk dengan roti panggang yang tinggal separuh dan sesi memandang si pendiam.
"Noona, jawab aku!" Dia berteriak lebih keras di luar sana. Bahkan suara bel yang terus dia tekan pun tak dapat meredam suara nyaringnya. "Huh! Membuat kesal saja," keluhnya.
Ya, pulang saja sana. Jangan kembali lagi!
Namun anganku jelas hanyalah keinginan, nyatanya 'seseorang' itu sudah muncul dengan tentengan dua tas besar penuh makanan. Ah, sial. Kenapa dia bisa masuk?
"Noona! Kau ini kerlaluan sekali sumpah! Apa kau tak kasihan dengan adik tampanmu ini, hah? Apa sesulit itu untuk membukakan aku pintu? Untung aku ingat dimana kau menaruh kunci cadangan!"
Sial. Kunci cadangan ternyata.
"Kenapa Noona diam saja?"
Aku mendengus kesal, "Kau terlalu berisik Cha Junho!"
"Wah, bisa-bisanya Yein Noona ini!" Dia meletakkan begitu saja dua tas besar tadi di lantai dan menghampiriku sambil berkacak pinggang.
"Nooㅡ"
Tanganku cepat menahan laju ucapan dengan memasukkan sisa roti tadi ke mulutnya. Omelan seorang Cha Junho di pagi hari bukanlah hal baik, apalagi ini hari Minggu yang cerah.
"Dengarkan Noona berbicara dulu, oke?"
Alis pemuda itu naik sedikit dengan bibir yang sedikit maju karena kesal, sedangkan mulutnya sibuk menguyah.
"Jadi, mengapa seorang Cha Junho datang ke sini pagi-pagi sekali, hah? Berteriak-teriak seperti kucing betina minta dikawinkan. Untung tempat ini bukan kawasan padat penduduk, jika iya sih kau bisa diusir, tahu!"
"Yak! Noona!"
"Nah, berteriak lagi!"
Junho menggeretakkan giginya dengan tangan yang mengepal kesal. Astaga, imut dan menyeramkan dalam satu waktu. Anak itu memang cukup cerewet jika bersama orang-orang terdekatnya. Kendati kami tak memiliki hubungan darah, namun orangtua Junho sudah merawatku sejak lama.
Tenang saja. Aku bukan anak yatim piatu, kok. Hanya saja, Ayah dan Bunda lebih sering menghabiskan waktunya di museum atau tempat-tempat kebudayaan di seluruh penjuru negeri. Dan karena aku memilih tinggal sendiri semenjak lulus sekolah, lalu kebetulan tempatnya satu kawasan dengan perumahan Junho, jadilah anak ini sering berkunjung. Jelas dengan bawaan dari ibunya.
"Noona memimpikannya lagi," kataku tiba-tiba.
Satu kalimat itu sudah menjelaskan segalanya, membuat Junho diam tanpa kata. Pemuda itu sempat beberapa kali membuka mulut untuk bersuara, namun tertelan kembali oleh diamnya.
Aku pun tak bisa menyalahkannya. Topik ini memang cukup sensitif untuk kami. Sebenarnya Junho-lah yang mengetahui dengan jelas segala hal tentang masalah ini. Ayah dan Bunda hanya sebatas tahu bahwa aku kesulitan tidur dan memerlukan bantuan medis. Bukannya aku tidak mau bercerita atau bagaimana, hanya masalahnyaㅡ rasanya sulit sekali untuk membawa masalah ini ke dalam perbincangan keluarga yang sangat jarang terjadi karena kesibukkan kami. Dan ada beberapa topik yang lebih ingin aku bagi kepada Junho. Dia pendengar yang baik, loh.
"Jangan menatapku begitu," kataku sambil bangkit, berjalan mengambil dua tas besar bawaan Junho tadi.
Dia sedikit mencebik, namun memilih membantuku. Keheningan kembali menyelimuti kami, hanya tangan yang berkerja menyusun kotak-kotak makanan ke dalam kulkas, walau semua itu tak berlangsung lama karena ucapan Junho membuat otakku meringis.
"Noona. Ayo kita coba sekali lagi pengobatannya."
ㅡㅡㅡ
Spoiler buat chapter selanjutnya. Ada salah satu calon untuk posisi male lead kita.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.