Prolog

85 54 44
                                    

Hai semua para readers.
Saya cuman mau bilang, terima kasih sudah mampir di story saya. Dan maaf jika alurnya agak membingungkan, karna saya masih di tahap belajar. Jadi, ingatkan saya jika ada yang salah ya?

.
.
.
.

Happy Reading🎊



Cuaca siang hari yang sedikit panas membuat gadis itu berdiri dibalkon kamarnya sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajah mulusnya. Ia menyeruput teh yang ia buat tadi. Sesekali ia tersenyum dengan pikirannya sendiri. Cara sederhana menikmati hari ini.

Gadis tersebut bernama Fanya. Bernama lengkap Fanya Amelia. Gadis periang yang mempunyai sifat baik, ramah. Namun kadang bersifat konyol bila sudah berada didekat orang-orang yang ia kenal.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuat sang empu tersadar dari lamunannya. Ia berjalan memasuki kamar dan meletakan cangkir teh-nya dimeja nakas.

Ceklek

Seketika sosok wanita yang berumur 40-an itu tersenyum kala pintu itu terbuka. Sosok wanita yang telah lama tinggal dirumah itu sebagai pembantu rumah tangga namun telah dianggap keluarga oleh pemilik rumah tersebut.

"Non," sapa Bi Idah.

"Ada apa bi?" tanya Fanya

"Tuan manggil Non. Tuan lagi diruang keluarga," ujar Bi Idah.

"Oh, iya. Fanya akan kesana," Bi Idah hanya mengangguk dan pamit pergi. Fanya berjalan menuju ruang keluarga seperti yang dikatakan Bi Idah.

Berhubung kamarnya berada dilantai dua, Fanya menuruni tangga. Setelah sampai diruang keluarga, disana telah duduk sosok yang pria yang telah membesarkannya, menyayanginya seorang ayah sekaligus sosok ibu pengganti baginya. Ya, Fanya hanya mempunyai seorang ayah, ibunya telah meninggal saat ia masih berumur tujuh tahun.

Namun ia tetap bersyukur, ia masih mempunyai seorang ayah yang menemaninya dari kecil sampai sekarang. Ia juga hanya anak tunggal, membuat ia terkadang merasa sepi. Namun dengan kehadiran teman dan sahabat sudah cukup ia rasa.

Fanya duduk disamping ayahnya yang sedang sibuk dengan laptopnya dan secangkir kopi. Ia tersenyum sejenak, ayahnya seorang pekerja keras. Karena hasil jerih payah ayahnya ia bisa kuliah, bisa dibilang keluarga Kira hanya tergolong keluarga sederhana. Ayah Fanya mempunyai sebuah perusahaan kecil yang bergerak dibidang properti. Perusahaan itu berhasil berdiri dengan jerih payah Ayahnya.

"Yah? Ayah manggil Kira?," tanya Fanya sambil memakan cemilan yang tersedia dimeja tersebut.

Rudi--Ayah Fanya menghentikan aktifitasnya dan beralih menatap putri semata wayangnya tersebut. "Ayah mau kenalin kamu sama anak teman Ayah," ujarnya lembut. Namun terkesan to the point.

"Emang ada apa? Pake kenalin segala?" Ia masih asik dengan makanannya.

"Nanti kamu bakal tau. Nanti malam jam tujuh kamu harus dandan. Kita bakal kedatangan tamu!" Rudi mengambil kembali laptopnya, melanjutkan aktifitas yang ia tunda tadi.

"Emang ada acara apa, Yah?" Fanya bingung, tak biasanya Ayahnya mengundang orang. Kalaupun rekan bisnis Ayahnya, biasanya mereka makan diluar.

"Nanti kamu bakal tahu. Udah nurut aja, oke?" Rudi tersenyum lembut.  Fanya menghembuskan nafas kasar namun tak urung mengangguk.

________

Jam sudah menunjukan pukul tujuh lewat dua menit. Fanya sedang menyiapkan makanan diatas meja dan di bantu oleh Bi Idah. Ia sendiri sudah siap dengan pakaian rapi. Kini tinggal menunggu tamu tersebut datang.

Fanya duduk dikursi makan lalu memainkan ponselnya sedangkan Ayahnya sudah duduk dari tadi dan sedang menelfon seseorang.

Setelah beberapa menit kemudian bunyi bel rumah tersebut berbunyi. Ia dan Ayahnya beranjak dari kursi lalu berjalan menuju pintu.

Ceklek

Setelah pintu dibuka, didepan mata telah berdiri tiga orang yang diyakini sebagai tamu Ayah Fanya. Tiga orang tersebut tersenyum, Fanya pun menyalami dua orang yang seumuran dengan Ayahnya itu.

Ayah Fanya mempersilahkan mereka masuk, dan diikuti Fanya dari belakang. Ia dari tadi memperhatikan laki-laki yang seumuran dengannya.

'Kok kayak pernah liat. Dimana, ya?' batin Fanya. Tanpa ia sadari ia menubruk tubuh laki-laki tersebut membuat ia meringis. Fanya mengusap-ngusap dahinya lalu tersenyum kikuk karena laki-laki tersebut meliriknya tajam.

"Sory gak sengaja," Fanya tersenyum lalu buru-buru duduk didekat Ayahnya.

Setelah itu, kedua keluarga tersebut makan malam bersama tanpa ada yang berbicara. Setelah selesai merekapun mulai berbincang tentang perjodohan.

Fanya yang mendengar itupun sontak membulatkan matanya. Ia masih mencerna apa yang dibicarakan ketiga orang tua tersebut.

'Apa? dijodohkan? Gue belum mau nikah! Ayah kenapa gak bilang kalau gue mau dijodohin?' Batinnya dengan posisi yang diam terpaku. Ia tak menyangka ia akan dijodohkan.

Sungguh Fanya belum siap, apalagi ia harus mengurus suaminya. Ia belum lulus kuliah. Apa lagi ia menikah tanpa ada rasa cinta. Apa ia bisa membangun rumah tangga tanpa rasa cinta? Apakah laki-laki yang bersanding dengannya mau menerima ia apa adanya?

Fanya terlalu sibuk dengan pikirannya, membuat Ayahnya bertanya pun ia tak respon. Setelah beberapa saat ia tersadar dari lamunannya dan tersenyum kala semua orang menatapnya.

"Jadi Fanya mau dijodohin sama Aradi, 'kan?" tanya Rudi sambil menatap putrinya itu. Fanya mengerjap beberapa kali.

Aradi? Ia pernah dengar dan ia pernah lihat. Tapi dimana? Setelah berfikir, Fanya ingat! Aradi adalah kakak seniornya dikampus. Maklum Fanya kurang kenal karena biasa mereka hanya berpapasan tanpa tegur sapa.

Selanjutnya, Fanya memikirkan pertanyaan dari Ayahnya tersebut. Apakah ia bisa? Kalau ia menolak pasti Ayahnya kecewa. Orang tua mana yang salah memilih calon untuk anaknya? Tapi kenapa harus sekarang? Ia masih kuliah.

Ia fikir mungkin ada tujuan dari semua ini. Ya tujuan dari takdir. Ini sudah takdir. Ia tidak ingin mengecewakan Ayahnya yang terlihat sangat berharap kepada putrinya tersebut. Ia tidak mau mempermalukan Ayahnya.

Toh, ia dijodohkan. Bukan karena ada masalah yang membuat mereka terpaksa menikah seperti cerita-cerita anak SMA yang sudah menikah akibat kelakuan mereka yang kelewatan batas. Ia juga dijodohkan pasti dengan keluarga baik-baik.

Fanya menarik nafas dalam. Sebelum mengeluarkan jawaban dari mulutnya ia tersenyum singkat lalu menganggukan kepala sambil berkata. "Fanya terima. Apapun keputusan Ayah, Fanya ikuti,".

"Kita nggak maksa kalian kok, Nak. Kalau nggak mau ya nggak apa-apa," ujar Fira--mama Aradi.

Fanya tersenyum lalu menggeleng, ia pikir ini keputusan yang sudah bulat. Ayahnya juga sudah tersenyum senang. Tidak mungkin ia menarik ucapannya lagi. Sudah terlanjur.

"Nggak kok tante, keputusan Fanya sudah bulat," kedua orang tua Aradi, Fira dan Faldi tersenyum mendengar jawaban dari calon menantu mereka tersebut.

Sedangkan Aradi? Ia hanya menyimak percakapan mereka. Kalau pun ia ditanya ia hanya mengangguk.

'Aradi anak penurut atau irit ngomong? Dari tadi hanya ngangguk aja,' batin Fanya sambil menatap Aradi.

Mereka melanjutkan percakapan tentang hari pernikahan yang akan dilaksanakan dua minggu kemudian. Fanya yang mendengar itu pun hanya membulatkan matanya sambil menelan salivanya kasar.

'Jadi gue beneran mau nikah, nih?' Kira meminum air putih tersebut sampai tandas. Hari ini penuh dengan kata-kata yang membuat ia syok.

.

.

.

.

.

JANGAN LUPA VOTE, DAN KOMEN YA? JANGAN LUPA JUGA FOLLOW AKUN WATTPAD SAYA, HEHEHE. THANK'S.🕊

Tertanda:

Inna

My Little Wife (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang