Banyak terjadi perdebatan mengenai siapa saja yang dapat dihitung sebagai tempat pemberhentian. Satu suara berujar bahwa siapa saja yang terlibat, sewajarnya dihitung jua. Ada juga ujaran lain bahwa sebatas mereka yang berhasil melewati batas waktu tertentu. Atau, hanya mereka yang dimulai hubungannya ketika umur sudah beranjak dewasa. Bagiku, perjalanan dalam mencari pemberhentian ini dimulai ketika pemikiranku sudah terbentuk dengan cukup baik dalam menentukan ini dan itu, 2019 lalu.
Sebagai pemberhentian, dia adalah tipikal halte bus sekolah. Cukup menenangkan diantara riuh rendah penjajah dagangan, hangat, pun menyenangkan. Timeline kedatangan dan perginya cukup jelas dan terstruktur. Ekosistem yang bagiku mudah inilah yang kemudian menjerumuskanku akan banyaknya perdebatan dalam menentukan pemberhentian selanjutnya.
Terpaut dua tahun, dia adalah sosok yang cenderung lebih dewasa namun pula bisa mencairkan segala bentuk suasana. Dimulai dari pertemuan yang tidak terlalu direncanakan di sebuah warung kopi kecil, diharuskan untuk berpisah secara jarak selama enam bulan, dan secara resmi menjadi tempat pemberhentianku setelahnya. Tumbuh di bawah naungan ibu yang sangat hangat, bertoleransi tinggi, dan cukup asyik -mengingat latar belakangnya sebagai guru di sekolah dewasa-. Disana lah kebahagiaan kecilku terbentuk. Kekosongan akan rumah dan sosok panutan yang sempurna, dapat diisi dengan baik oleh keluarga kecil mereka. Sang ibu memberikan kepercayaan penuh kepadaku, dari aspek kesehatan, akademis, hingga sosial. Bahkan pada momen tersebut, terlintas pemikiran akan kecocokan beliau sebagai sosok ibu kedua idaman.
Dalam perjalanannya, tidak ada sedikitpun masalah diantara kami. Pertikaian terbesar hanya sebatas dia yang menggelitikku terlalu kencang hingga kepalaku sukses diadu dengan ujung meja. Namun sejujurnya sudah agak samar bagiku, apakah pada waktu itu hubungan tersebut memang terbebas dari masalah atau kmai yang cukup ignorant atas semua sinyal yang ada. Enam bulan berjalan dengan baik hingga akhirnya kutemui beberapa tanda perselingkuhannya. Dari aku yang berusaha menyimpan , menyampaikan , hingga kehilangan rasa, semua sudah terlewatr. Hingga enam bulan selanjutnya, diisi dengan enam perselingkuhan, perdebatan, dan memaafkan. Entah sepertinya di tempat pemberhentianku kali ini, aku sedikit dikutuk dengan selalu bertemu angka enam.
"Sebuah halte bis sekolah yang nyaman di riuh rendahnya", ujarku beberapa huruf yang lalu.
Mungkin itulah yang kemudian memunculkan bias. Aku sudah cukup yakin atas rutinitas yang ada, memberikan kendali penuh atas kepercayaan yang masih utuh kepadanya. Hingga lengah akan semua momen kecil yang justru merupakan potongan puzzle yang harus aku satukan di akhir. Jika diperhatikan lebih seksama, riuh rendah itu juga berasal dari beberapa penumpang lain, mereka yang saling menunggu jadwal penjemputan, yang tentunya sudah disusun sedemikian rupa. Begitu rapih hingga tidak satupun saling menyadari akan kehadiran puan lain.
Total 365 hari ini merupakan sebuah kesempatan yang menyenangkan, sesungguhnya. Namun, sifatku yang terlampau naif, tidak sempat menyiapkan diriku atas apapun itu kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Sehingga ketika hal tersebut terrealisasi, aku yang awalnya utuh benar - benar hancur dan tidak mungkin bisa utuh kembali, entah sampai kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Masing - Masing yang Sempat Menjadi Tempat Berhenti
RandomApakah kalian menyadari kebutuhan manusia akan tempat untuk berhenti. Entah untuk sekedar singgah, sekedar berbagi kesah, hingga mungkin untuk bersandar sedikit lama. Untuk beberapa yang sudah tidak bisa dinaungi, atau bahkan bisa dijadikan yang se...