"Hal yang paling menakutkan adalah saat aku bertemu dengan iblis sepertimu."
~~~
Raline mempercepat langkah kakinya, sambil sesekali menyempatkan dirinya untuk menengok ke arah belakang. Rasa was-was dan takut merayap dalam hatinya. Di malam gelap gulita yang hampir tidak ada siapa pun di sana, dia berjalan seorang diri.
Ingin rasanya Raline menangis sejadi-jadinya. Dia takut, apalagi saat telinganya tanpa sengaja menangkap suara derap langkah kaki di belakangnya, yang kian mendekat. Tidak ada seorang pun yang bisa menolongnya di sini. Langkah kakinya tak juga berhenti bergerak menjauh. Bergerak untuk mencari tempat sembunyi.
Tak ada yang lebih menakutkan selain saat kamu tahu, kalau seseorang dibalik kegelapan sedang mengejarmu. Dan itu terjadi pada Raline.
Entah musibah atau kejadian apa yang saat ini tengah Raline alami. Tapi yang pasti, ini sangat amat menakutkan.
Berawal dari Raline yang pulang dari universitasnya, di hari yang sudah larut saat orang suruhan Ayahnya yang lupa untuk menjemput, sampai dia harus berjalan kaki ketika menyadari tidak ada uang sedikit pun yang dia miliki.
Jarak antara rumah dan universitasnya, bisa dibilang cukup jauh, ditempuh dalam waktu tiga puluh menit lebih. Itupun jika dia menaiki kendaraan. Tapi Raline tahu jalan pintas yang memperpendek waktu tempuhnya. Sebuah gang sempit, yang ada tepat di belakang universitas. Untuk itulah, dia langsung memilihnya tanpa pikir panjang.
Sayangnya, Raline menghiraukan perkataan temannya yang menyarankan untuk jangan melewati gang tua yang sempit itu. Mereka mengatakan, bahwa di sana terdapat seorang pembunuh berantai yang selalu menunggu mangsanya datang. Tepat, ketika matahari mulai terbenam. Cukup mampu membuat semua orang yang mendengar cerita langsung, mengurungkan niatnya dan bergidik ngeri. Tapi tidak berlaku untuk Raline yang tetap melaksanakan niatnya. Dia hanya menganggap kalau itu hanya rumor belaka.
Namun anehnya, sepanjang perjalanan Raline sama sekali tidak mendapati satu pun orang yang berkeliaran di sana. Hanya dirinya yang berjalan seorang diri di tempat gelap nan kotor itu. Bulu kuduknya ikut berdiri saat angin malam, sepoi-sepoi menyapunya. Kemeja polos dengan celana jeans yang sudah lapuk, membuat rasa dingin langsung menembus masuk ke dalam tubuhnya.
Raline melirik ke kanan dan kiri. Suasana semakin mencekam begitu dia berada di tengah-tengah gang sempit itu. Beberapa kali, sepatu bututnya tanpa sengaja menendang kaleng hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Mengisi keheningan di gang itu.
Raline tidak menampik kalau jalan ini sungguh sangat menyeramkan, seperti kata temannya. Bau busuk, juga begitu menyengat di sini. Membuatnya harus menutup hidung rapat-rapat. Ditambah, dengan kurangnya pencahayaan hingga matanya sulit melihat dengan jelas. Membuat tempat ini cocok untuk sarang kejahatan. Terkadang, dia juga merasa tengah diawasi, oleh seseorang yang entah di mana wujudnya.
Tangan Raline mencengkram tas miliknya sangat erat, dengan bibir yang tak henti merapalkan mantra untuk mengusir ketakutan dalam dirinya. Sampai suara langkah sepatu, membuat rasa takutnya bangkit. Dan kini, dia sadar bahwa apa yang diucapkan temannya adalah benar, bukan hanya sekadar rumor belaka.
Raline sontak menangis, dia mulai berlari sambil tak henti merutuki kebodohannya yang memilih gang sempit ini sebagai pilihannya. Kakinya seolah terasa patah, tapi dia jelas terlalu takut untuk berhenti, karena orang yang ada di belakangnya juga ikut berlari. Raline tidak bisa melihatnya begitu jelas, hanya kegelapan yang terlihat oleh matanya. Tapi yang pasti, orang itu sangat menyeramkan, hingga mampu membuat adrenalinnya berpacu begitu cepat.
Kejadian ini seperti ada di salah satu scene film horor yang pernah ditontonnya, tapi yang jelas sosok yang mengejarnya bukan hantu melainkan orang yang bisa saja membunuhnya.
Harapannya hampir putus saat Raline sama sekali tidak menemukan orang lain selain gang-gang kecil yang berliku, seperti sebuah labirin. Sialnya, karena rasa panik yang mendera, Raline justru malah lupa mana jalan yang harus dia pilih untuk sampai ke rumahnya. Dia malah berbelok ke sembarang arah.
Di tengah rasa gelisah dan ketakutan yang mencekam, mata Raline tanpa sengaja menemukan beberapa rumah tak jauh dari posisinya kini. Bukan hanya satu, tapi lumayan banyak. Pikirannya langsung berkata, bahwa itu adalah rumah para warga sekitar.
Senyumnya mengembang. Raline berlari semakin cepat. Harapan kalau dia akan selamat, semakin besar. Dia bisa meminta tolong pada sang pemilik rumah untuk menampungnya barang semalam saja.
"Permisi Tuan, Nyonya?" Raline menggedor-gedor pintu itu dengan panik. Dia melirik ujung gang gelap tempatnya keluar tadi dengan takut. Takut jika orang yang mengejarnya akan segera datang.
"TUAN, NYONYA!!!"
Tidak ada satu pun yang menyahut dari dalam. Hal itu lantas langsung memudarkan rasa lega yang tadi sempat hadir. Keringatnya semakin banyak, seiring dengan gedoran pintu yang semakin keras. Bahkan saking takutnya, Raline sampai tidak bisa menelan ludahnya sendiri.
Rasanya dia ingin menjerit dan berteriak sekeras mungkin sekarang, tapi apalah daya rasa takut mengalahkan semuanya.
Sampai, apa yang dikhawatirkannya terjadi, seseorang keluar dari gang gelap dan sempit itu. Kali ini dia tidak berlari, melainkan berjalan santai. Menimbulkan suara ketukan sepatu yang berirama. Orang itu, seolah tahu kalau mangsanya tidak akan bisa melarikan diri.
Tubuh Raline menggigil ketika orang yang mengikutinya sudah keluar dari gang tersebut. Namun, tak sekalipun dia memperlihatkan wajahnya. Dia menutupi sebagian wajah atasnya dengan sebuah topeng berwarna hitam dan berjalan semakin mendekat. Sementara Raline mencoba untuk mundur dengan waspada. Tangannya secara spontan mengambil sebuah ranting cukup besar dan menodongkannya pada orang serba berjubah hitam itu.
"Jangan mendekat!
Raline mengambil ancang-ancang untuk melawan jika orang itu hendak membunuhnya. Setidaknya jika dia harus mati, dia hanya boleh mati dengan perlawanan, bukan dengan kepasrahan. Namun sebelum sempat orang itu mendekat, seseorang tiba-tiba memukulnya dari arah belakang. Membuat kesadarannya perlahan mulai menghilang.
"AAAKKKHHH ...."
Tubuh Raline akhirnya tumbang di tanah. Seiring dengan orang berjubah hitam yang kini menatapnya dari dekat.
"Apa yang kau lakukan? Dasar sialan!" sentak laki-laki bertopeng itu pada orang yang tadi memukul Raline. Ada sorot ketidaksukaan yang terlihat sangat kentara di matanya. Tubuhnya berjongkok, tepat di depan Raline. Memerhatikan wanita itu dengan seksama.
"Sudahlah! Kau terlalu banyak bermain-main. Aku ingin cepat pulang, lalu tidur." Orang yang memukul Raline tadi, berdecak kesal. Dia tampak jenuh mendengar perkataan rekannya. Tidak terlalu memedulikan kemarahan yang terlihat di balik topeng hitam itu. Dia lebih memilih berjalan kembali ke dalam gang sempit dan gelap itu. Meninggalkan rekannya dengan wanita yang kini terkapar tak berdaya.
"Sungguh sayang, kau terlalu cantik untuk aku lenyapkan," gumamnya pelan. Tangannya mengelus lembut pipi wanita yang dibuat tak sadarkan diri oleh temannya. Lalu dengan cepat, dia membopong tubuh Raline dalam gendongannya. Berjalan menuju ke arah gang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Hero (TAMAT)
ChickLit(TERSEDIA DI APLIKASI NOVELME) Warning 21+ Raline tidak pernah menyangka, niatnya untuk mencari jalan pintas demi pulang ke rumah, malah berujung pada dirinya yang tertangkap dan terbelenggu dalam kuasa laki-laki bertopeng bernama Arsen. Laki-laki y...