Sebab - Akibat

12 2 0
                                    

Belum genap satu jam aku duduk di kursi sekolah ini, partner sebangku ku tiba- tiba berbisik di tengah jam pelajaran ekonomi, "Kamu tahu gosip yang lagi trending di sekolah ini?"

Tentu saja aku hanya mengedikkan bahu. Maksud hati tidak ingin ternotice guru, tapi tetap saja anak ini menggangguku. Barusan berkenalan bukannya canggung, malah memamerkan gosip. Selama dia berbicara aku hanya mengangguk walau pupil ku terus mengunci pada tumpukan kertas yang tercetak tiga ratus halaman di mejaku.

"Kamu sekarang di bangkunya."

Akhirnya aku menoleh dengan linglung setelah sekian lama mengacuhkannya. Aku di bangkunya? Bangku siapa?

Aku yakin mimikku sangat membuktikan kalau aku tidak mendengarkannya. Tapi, sepertinya bukan masalah bagi anak ini untuk menjelaskan semua dari awal. Dan kali ini aku tertarik mendengarkannya.

Berjam- jam sudah aku berada di atmosfer sekolah ini. Gosip tentang siswi yang meninggal dalam kecelakaan itu membuatku penasaran bahkan hingga perjalanan ke rumah. Kepoin kelanjutannya, pasti.

Ira, anak yang cerewet tadi mengatakan bahwa siswi itu punya riwayat... skizonia? Entahlah, aku lupa. Dan katanya dia meninggal dengan cara menabrakkan diri pada kendaraan besar.

Ke esokan harinya, aku kembali melontarkan hujan pertanyaan pada Ira seputar siswi itu, dan Ira terlihat bersemangat sekali. Tunggu, semangat?

"Aku bersahabat dengannya."

"Lalu kenapa kamu bercerita seantusias ini? Sedangkan sahabatmu itu sudah meninggal?"

"Karena dia bukan sahabat yang baik!"

Aku membeku seketika, seakan semua huruf yang ingin kurangkai tersangkut di tenggorokan. Bukan sahabat yang baik, katanya.

"Dia berjanji akan bersahabat selamanya denganku, namun dia justru bunuh diri! Apakah itu yang namanya sahabat?"

"Mungkin dia punya alasan lain..."

"Ya! Dia punya alasan lain. Dia ingin mencari teman lain di surga, karena itulah dia mengingkari janjinya sendiri."

"Tapi tidak ada sahabat yang seperti itu."

"Buktinya ada, kan?"

Lagi-lagi aku dibuat terdiam karenanya. Ira sepertinya sangat anti jika aku membela sahabatnya yang meninggal itu. Maklum saja, mungkin merasa dikhianati. Di tengah keheningan aku mencoba untuk bertanya lagi,

"Apakah sebelum itu ia pernah berbuat jahat padamu?"

"Dia pernah membicarakan ku di belakang, dia pernah mengunciku di kamar mandi, dia pernah menghasut sekelas untuk menjauhiku, sedangkan saat itu dia tidak masuk sekolah sehingga aku menghadapi keterpojokan itu sendiri. Dia juga pernah mengadu domba antara aku dan teman lamaku, sehingga kami bertengkar sampai sekarang. Dia pikir aku tidak tahu semua itu?"

"Kejam sekali. Lalu kenapa kamu masih mau menjadi sahabatnya?"

Ira terlihat sedikit menimbang jawabannya sebelum akhirnya menjawab, "Karena aku masih ingin bersahaba tdengannya."

Aku mengangguk kecil. Entahlah, perasaanku campur aduk.

"Kemarin katamu dia mengidap apa? Penyakit mental?" tanyaku memastikan.

"Skizofrenia, jadi dia suka ngehalu, bahkan apa yang di pikirannya kadang mustahil direalisasikan. Kadang aku berpikir dia psikopat."

Aku benar- benar kehabisan kata untuk ini. Aku mendiamkannya.

Hari-hari kami berjalan biasa sebagai mana seorang teman. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya padanya lagi tentang sahabatnya dulu, karena jujur saja apa yang ia lakukan sangat menyakitkan. aku sering kali tidak tega melihat semua ekspresi kecewanya, sedihnya, marahnya, dan segala-galanya tentang temannya itu.

Bulu AyamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang