"Dasar anak gak berguna!"
Bugh!
"A-ampun yah.."
Anak tersebut hanya dapat melindungi diri dengan tangannya dari pukulan ayahnya.
"Percuma ayah bayarin biaya sekolah dan les kalau kamu nya tetep bodoh gini!"
Bugh!
Plak!
"Udah yah, bentar lagi ayah kan ada meeting. Lagian kalo ayah mukulin Minho terus ntar dia mati"
"Huh. Kalau ayah gak ada meeting, sudah mati kamu di tangan ayah"
Pria tersebut pun mengambil jas dan berlalu pergi meninggalkan Minho.
"M-makasih b-bunda.."
"Gausah manggil bunda bunda, saya berhentiin ayahmu biar ayahmu nyari uang, bukan buat bantuin kamu!"
Minho terdiam dan menunduk, ia rasa tidak ada orang yang benar-benar menyayanginya kecuali ibu kandungnya sendiri.
Ia berlari keluar rumah dan menuju taman bermain yang berada di dekat rumahnya.
Minho duduk di ayunan dan menangis, rasanya sudah tidak kuat.
Ia terus menahan diri agar tidak menangis selama di rumah tadi, Minho tidak mengerti mengapa ayahnya tidak pernah puas dengan pencapaiannya padahal ia sudah berusaha sebaik mungkin.
Tiba-tiba ada seorang lelaki yang menyodorkan tisu kepadanya.
"Kakak kenapa nangis? jangan nangis"
Minho menatap lelaki itu dan tersenyum, lelaki tersebut terlihat khawatir kepadanya.
Minho pun mengambil tisu tersebut dan mengelap air matanya.
"Terimakasih, siapa namamu?"
"Namaku Yang Jeongin!"
"Yang Jeongin? kakak boleh panggil adik peri aja?"
"Ehh? kok adik peri?"
"Karna kamu baik dan lucu kayak peri"
"Hum kalau gitu Jeje mau jadi adik perinya kakak!"
Minho terkekeh gemas dan mengelus kepala Jeongin.
"Hahaha oke, panggil aja kak Minho ya adik peri"
"Okay kak Minho!"