Prolog

34 6 0
                                    

Jam weker berbunyi nyaring, suara burung itu membangunkan seorang gadis di bawah selimut tebal bermotif Keroppi. Gadis itu bangkit dari tidurnya dan menguap. Mulai mengusap matanya kemudian mematikan bunyi nyaring itu.

Dengan kesadaran yang masih belum terkumpul, ia mencoba melangkah menuju kamar mandi kamarnya. Matanya sedikit terpejam dan kakinya kelimpungan. Efek dari wine yang sudah difermentasi selama 30 tahun ternyata mampu mengambrukkan tubuhnya yang kebal akan alkohol.

Duk

Gadis itu segera tersadar dan mengaduh. Menyumpah serapahi dinding putih sebelah pintu kamar mandinya.

"Siapa sih yang naruh dinding di sini?" rancaunya.

Ia membenarkan keadaan dan mulai melangkah normal. Matanya pun ikut menormal walau kepala yang awalnya pening menjadi berputar.

Suara air mengalir dari kran wastafel menjadi bukti adanya kehidupan. Dia tidak pingsan. Gadis itu membasuh mukanya perlahan. Mulai menatap wajahnya yang pucat pasi efek dari wine yang dia minum semalam. Surai hitam legam yang berantakan semakin memperburuk penampilannya.

Dia mulai menunduk dan melihat lengan tangannya yang dipenuhi lebam berwarna keunguan. Raut sedih tercetak jelas diwajah kuning langsat itu.

Piama bergambar kartun kodok hijau senada dengan selimutnya pun mulai dia tanggalkan. Hal yang sama pun ia temukan dibagian bahu dan pinggangnya. Guna memastikan apa yang terjadi, dia menekan perlahan lebam itu.

"Ish." ringisan terdengar dari bibir mungil berwarna merah muda itu. Rasa sakitnya terasa. Kejadian semalam adalah nyata.

Buru-buru ia menuju bilik shower dan memutar kran airnya. Sungguh, rasa dingin kucuran dari shower ini membuat perasaannya sedikit ringan. Dia menyukai sensasi ini. Tubuh menggigil dan bibir bergetar karena rasa dingin menyenangkan psikisnya.

Ingin sekali berlama-lama disituasi seperti ini. Apalah daya jam yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi, membuatnya mau tidak mau menuntaskan formalitas bersih diri. Ya, dia masih siswi sekolah.

🍀🍀🍀🍀

10 menit setelahnya, dia turun ke lantai satu yang lebih tepat di sebut ruang makan. Meja panjang dan berderet kursi menjadi pemandangan pertama. Ya, hanya itu.

"Bi Um, masak apa?" tanyanya kepada asisten rumah tangga yang orang tuanya pekerjakan.

"Ya ampun Non. Kapan turunnya? tau-tau udah di dapur aja. Kaget Bibi, Non. Untung lagi nggak pegang pisau." Bi Um memang orangnya mudah terkejut, walaupun sebatas bunyi alarm burungnya.

Ruang makannya yang bersebelahan dengan dapur, mempermudah pemasak membawa makanan yang sudah jadi ke ruang makan.

"Bi Um masak rendang kesukaan Nona. Udah lama toh Nona nggak makan rendang buatan Bibi?" kata-kata Bi Um jelas berisi godaan untuk gadis bersurai hitam legam ini. Sambil alisnya yang naik turun beserta senyum tengil andalan Bi Um.

Jelas itu membuat gadis ini terkekeh. Bi Um itu suasana maker dan mood wrecker. Contohnya sekarang, mood buruk tentang kejadian semalam menguap hanya dengan banyolan kecil. Ibaratnya, Bi Um adalah warna kuning di kotak crayonnya. Dia sendiri adalah kotak crayon kosong sebelum bertemu dengan begitu banyak jenis crayon yang dalam hal ini di anggap sifat manusia.

"Iya deh iya. Aku tunggu di sebelah ya, Bi. Jangan lama-lama oke? oh iya, susu putih yang biasanya nggak lupa kan?"

Setelah memastikan Bi Um tak melupakan hal keramatnya di pagi hari, ia berjalan menuju tempat pertama kali ia lihat saat sampai di lantai 1. Ia mendudukkan dirinya di kursi ujung. Total 7 pasang kursi berhadapan di sebelah kanan dan kiri dan 1 pasang kursi di masing-masing ujung.

Thanks YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang