PROLOGUE

40 1 0
                                    


Dua bocah bertukar pandang mendapati pemandangan tak lazim di rumah mereka. Sepengetahuan salah satunya, Topan Maysak sudah berlalu di bulan September kemarin. Ini masih musim panas namun isi rumah porak poranda bak diterpa angin kencang. Pandangan keduanya lantas tertuju pada satu tubuh jangkung di dekat nakas. Oh, bukan topan yang membuat rumahnya berantakan, tetapi Apapnya yang ada di sudut ruangan sedang memuntahkan seluruh isi laci ke lantai. Tidak tahu mencari apa.

"Dimana sih? Dimana ya?" Gumam pria itu panik. Tangannya tak berhenti bergerak dengan gesit menyingkirkan barang-barang yang tidak sesuai dengan yang dicari.

"Apap." Panggil salah satu bocah itu.

Panggilan itu tak lantas membuatnya memutar tubuh, masih saja sibuk mencari barang yang menjadi taruhan nyawa, "Jangan sekarang, sayang. Apap masih sibuk. "

"Tapi.."

Menghela nafas tak sabar, Kim Seokjin sontak menoleh, kelepasan menaikkan nada bicaranya, "Apap bilang nanti dulu, Kim Jimin!"

Bocah berumur enam tahun itu tersentak, terlihat dari gerakan singkat dari bahunya dan kerjapan manik sipitnya. Sekonyong-konyong rasa bersalah menusuk relung dada Seokjin melihat dua anaknya ketakutan, terlebih mereka tidak tahu apa-apa. Seokjin mendesah, memejam singkat untuk mengatur tekanan emosinya. Kakinya ditekuk hingga lututnya menyentuh marmer yang dingin, berniat menyejajarkan pandang dengan si anak untuk meminta maaf. Orangtua yang buruk, batinnya.

Jimin mendapatkan usapan lembut dipucuk kepala, raut wajah Sang Ayah tak lagi menakutkan seperti tadi. Sekarang menjadi teduh seperti Apap yang dikenalnya, "Maaf, sayang. Apap sedang kebingungan mencari buku penting jadi tidak sengaja membentak. Ada apa?"

Tapi Jimin hanya berkedip tidak menjawab, lalu menyodorkan ponsel flip milik Seokjin dimana layarnya tengah menyala. Sebuah notifikasi pesan muncul di atasnya.

"Tadi Amam menelpon, katanya Apap harus membuka chat."

Seokjin menerima ponselnya dan memeriksa chat yang dimaksud sang putra. Pupilnya melebar seiring membaca sederet kalimat singkat yang cukup membuat kepalanya terserang pening seolah sebuah gada menghantamnya begitu saja. Terlebih pasokan oksigennya tersendat di kerongkongan hingga terasa paru-parunya akan terbakar. Siang ini tidak sedamai biasanya, Seokjin ingin sekali menambah tingkatan memporak porandakan isi rumah dengan menghancurkan seluruh penjuru rumah sebab darah yang mendidih sudah sampai puncak kepala.

Lovely BaeBae❤️

Missed voice call at 03.59

Kamu tidak mau berbicara denganku?
Aku sudah membawa seluruh barang-barangku
Dan buku tabunganmu
Maafkan aku, Jin

Seokjin mendesis tak percaya, "Dasar—" Dasar penyihir, Seokjin menahan umpatan di depan kedua putra kembarnya. Jemarinya dengan lincah mengetik kalimat.

Missed voice call at 16.06

Angkat panggilanku

Missed voice call at 16.06
Missed voice call at 16.07

Kembalikan buku itu
Kau bisa mengambil seperempatnya
Aku butuh tabungan itu untuk biaya si kembar

Missed voice call at 16.08

Baiklah, setengahnya?

Joohyun
Hei!
Kamu blokir nomorku?!

Seokjin mengerang frustasi melihat centang satu pada tiga bubble chat terakhir. Sungguh tega si mantan istri menggasak satu-satunya tongkat penopang kehidupannya bersama dua anak yang ditinggalkan. Punggungnya bertumpu pada dinding, erangan kali ini disertai kepala yang dibentur pelan berkali-kali, hanya untuk menerima keadaan kalau dia memang bodoh.

Setelah ini bagaimana?

Ia menatap nanar sekelilingnya yang berantakan lalu beralih pada dua malaikat yang dimilikinya. Dua-duanya memandang penuh tanya, seakan mengetahui kemelut resah gelisah yang sedang merundung Ayahnya. Seokjin tersenyum simpul dan merentangkan tangannya, "Taehyungie, Jiminie. Sini. Peluk Apap."

Iya, dua anak dalam dekapnyalah yang menjadi alasan Kim Seokjin mempertahankan garis kewarasan yang sudah tipis ditengah kegilaan dunia. Seokjin mengecup singkat kening anaknya secara bergantian.

"Maaf ya anak-anak, sepertinya kalian harus pindah rumah dan sekolah."

RESILIENCEWhere stories live. Discover now