"Kebebasannya hangus dan digantikan oleh pena dan selembar kertas yang memuakkan."
Tampaklah sebuah tulisan tinta hitam ketika Chiyo membuka suratnya. Tulisan yang rapi, tetapi berdempetan sehingga kerutan tercipta di kening putih gadis berdarah blasteran Jepang-Indonesia yang mengeluh—katanya mata Chiyo sakit membacanya.
"Gila! Orang yang menulis surat ini pasti berhasrat bikin mata gue jadi tersiksa! Masih mendingan gue disuruh baca buku mapel sejarah."
"Udahlah, Chiyo. Bacain sampe abis, baru ngeluh. Pikiran gue pecah gara-gara lo buang waktu terus," sela Lucia sabar.
Lucia sih, tidak terlalu mempermasalahkan keluhan Chiyo. Dirinya memilih fokus menyimak ulasan teman barunya yang sudah berlangsung selama dua puluh menit yang lalu. Beberapa kali, Chiyo menegur Lucia yang nyaris tertidur di kantin.
Makanan yang dipesan Lucia sudah habis tak bersisa di meja. Kenyang yang ia rasakan menurunkan keaktifan kerja otaknya alias mengantuk. Lucia melirik makanan Chiyo yang terlihat utuh. Lihatlah, teman barunya menunjukkan keloyalitasannya kepadanya—rela menunda makan siangnya, membacakan isi suratnya sampai penggalan terakhir—yang nampaknya penantian Lucia butuh waktu sedikit lama sampai itu terwujud.
Lucia ingin mencuri sebuah jeruk di piring makan siang milik Chiyo. Namun, dia mengurungkan niatnya.
Benar-benar, deh. Lucia tidak kuat mendengar kalimat membosankan yang disampaikan oleh si penulis surat itu dalam kertasnya. Chiyo bilang ini masih pembuka sebelum masuk intinya.
"Hah ... kapan kelar bacanya?" tanya Lucia menatap Chiyo yang lipatan dahinya sudah tidak terhitung banyaknya. Seakan-akan ini tahap tersulit mencerna surat dibanding mengerjakan ujian saat masuk sekolah SMA ke sini.
Lucia menggelengkan kepalanya, bersabar akan raut Chiyo yang berjuta makna.
"Lo gak pernah belajar membaca sejak play group ya? Gimana cara lo bisa naik ke bangku SMA? Ah, ralat ... gimana bisa lo masuk SD kayak gitu?" Ucapan sarkas Lucia memancing delikan kesal milik Chiyo.
"Ish, Ci ... bisa mingkem dulu gak? Gue lagi terjemahin maksud penulisnya ke bahasa manusia!"
Lucia terbahak, mengimbuhkan, "Lo aja gak bisa bahasa manusia! Gimana caranya lo paham sama bahasa lain?"
Ups, sepertinya Lucia tengah membangkitkan sisi mengerikan dari air sungai yang tenang sebelumnya tanpa adanya buaya. Oh, tetapi ingat! Chiyo bukanlah orang yang tepat sebagai tandingan debat melawan semburan pedas si Lucia.
"Iya, gue emang gak bisa bahasa lain. Tapi, kayaknya lo lupain asal-usul gue, nih? Hum, apa lo sanggup mengartikan tulisan hiragana sama katakana dari negara gue ke bahasa Indonesia?" tantang Chiyo. Sekilas Lucia menelan ludah, kemudian membuang wajahnya.
"Gak jadi ngeledek lo." Singkat. Namun, Chiyo tetap terkekeh melihat sikap Lucia yang menciut saat dirinya balik menantangnya. Siapa suruh membuat Chiyo marah?
"Info yang gue tangkep dari maksud suratnya mengatakan bahwa lo harus mencari majikan lo yang sekaligus penawar kutukan lo itu. Ingat yang gue omongin kemarin?" Chiyo memejamkan matanya sejenak.
Lucia mengusap dagunya, menyahut dengan deheman dua kalinya. "Yang lo bilang dia punya penyakit yang cuman dua puluh persen di dunia itu, 'kan? Sama yang korban lemah dan sering ditindas? Huh ... susah tau nyarinya!"
"Gue udah dapet petunjuk lain yang bisa bantu lo buat nyari belahan ji—ehm, maksud gue penawar kutukan lo supaya lo bisa balik jadi manusia seutuhnya." Chiyo merotasikan matanya untuk membaca ulang sebentar.
"Wah, emang udah ada? Mana?" Tanpa aba-aba, Lucia merampas lembaran kertas dengan hiasan pita merah muda yang lecek—sewaktu Lucia paksa mengambilnya dari Chiyo.
"Padahal gue belom bilang boleh," gumam Chiyo.
Lucia menyengir sebagai balasannya. Jemarinya yang menggenggam sisi suratnya ia entakkan sekali—mengusir debu yang menempel. Chiyo yang tahu aksi hiperbola Lucia akan kambuh, mendengkus geli.
"Catatan bawahnya itu ada! Ditulis di situ kalo ciri-ciri penawar kutukan gue itu sering mengurung diri di kamar. Trauma berkepanjangan, punya tingkah yang aneh, berteriak dan menghindari ...." Lucia terdiam, sengaja tidak melanjutkan ucapannya dan menatap sangsi ke arah Chiyo yang tidak menunjukkan ekspresinya.
"Baca dari atas! Jangan baca bawah duluan," pinta Chiyo kalem. Melipat tangannya di dada, menanti gerak-gerik Lucia yang unik saat menyambut kejutannya.
"Perjanjian yang dibuat berdasarkan permintaanku adalah pihak pertama yaitu penawar kutukan si pihak kedua yang bernama Lucia Aquilina—" Mata Lucia terbelalak. Bahkan yang menulis surat ini mengetahui namanya, sementara dirinya tidak? Tidak adil, pelakunya tidak mencantumkan namanya di surat yang ditujukan ke Lucia.
Lucia cemberut, menatap lagi Chiyo yang menangkupkan pipi kanannya bosan seraya mengaduk-aduk sedotannya di jus Alpukatnya. Mengapa Chiyo tidak menjelaskannya?
"Lo 'kan yang ngambil surat itu sebelum gue ngejelasin lagi, gue persilakan lo membacanya sendiri. Itu yang lo mau," kata Chiyo yang seakan bisa menjawab isi kepalanya.
"Pihak kedua harus menemukan pihak kedua dan menobatkan diri menjadi pelayannya sampe kontrak habis. Itu artinya sampe gue udah sembuh, 'kan, ya?" Chiyo mengangguk samar.
"Btw, yang nulis ini mau ngejek gue atau gimana? Nyebelin!" Lucia menunjuk ke paragraf keempat surat. Ujuk-ujuk, Chiyo bangkit menariknya keluar kantin.
"Eh, oh, hei! Lo mau ngajak gue ke mana?" seru Lucia kaget berusaha menyeimbangkan langkahnya menyelaraskannya dengan Chiyo yang tergesa-gesa.
"Udah bunyi bel dan lo masih bisa santai, dodol emang!" hardik Chiyo. Lucia menganga mendengarnya dan tanpa disadari kertas yang digenggamnya terbang entah ke mana.
***
SETENGAH PART DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN
KAMU SEDANG MEMBACA
Cat Girl Vs Ailurophobia ✓
Teen FictionMayoritas Teenfection - Minor Fantasi (15+) Sudah terbit ••• Bagaimana jadinya kalau cewek berwujud kucing bertemu cowok penderita Ailurophobia? Lucia panik! Kutukan aneh mengubahnya menjadi seekor kucing! Lucia, gadis pecinta kebebasan dan tidak su...