Unrelenting Pain

770 41 8
                                    

Ini hanyalah goresan tinta kehidupan yang aku alami. Mungkin kalian akan berpikir itu hanyalah cinta monyet para remaja ketika mengetahui bahwa usiaku baru menginjak belasan tahun saat itu. Tetapi kalian salah besar, aku mengerti apa arti cinta sesungguhnya karena dengan sialnya aku harus tertusuk duri bunga mawar sebelum sempat mencium harumnya. Lalu luka itu masih membekas hingga saat ini.

Aku duduk di atas bangku kayu yang sudah mulai lapuk termakan usia. Taman ini sudah tidak diindahkan lagi keberadaanya, padahal tempat ini menyajikan banyak hal yang sebenarnya cukup indah untuk dipandang. Pada hari-hari di musim gugur, tempat ini menawarkan angin sejuk yang membuat badan menggigil dan juga lantai semennya akan hilang, ditutupi oleh tumpukan dedaunan kering berwarna cokelat dan merah.

Aku memejamkan mataku untuk menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhku, sangat segar. Masih dengan earphone yang setia melekat di telingaku, lagu-lagu indah itu terus berputar.

Tiba-tiba, bangku usang yang kududuki sedikit berdecit. Aku menoleh dan mendapati seorang pria dewasa duduk disampingku. Aku melepas earphoneku, lalu kuamati lekat-lekat setiap lekuk wajahnya, takut jika ia adalah seseorang yang berniat menculik gadis belia yang baru duduk di tingkat akhir sekolah menengah sepertiku, walaupun jika dilihat dengan baik orang ini sama sekali tidak berbahaya.

Pria itu terkejut ketika menyadari bahwa aku memperhatikannya dengan begitu dalam.

"Oh maaf, seharusnya aku bertanya dahulu sebelum duduk disini, tapi ya sudahlah. Jadi, bolehkah aku duduk disini, adik kecil?" tanya pria itu dengan senyum tulusnya.

Untuk pertama kalinya aku merasakan jantungku berdegup kencang ketika aku melihat senyum yang ia torehkan padaku. Aku masih terlalu dini untuk menyadari perasaan itu. Apa maksudnya ini? Kenapa tubuhku kehilangan kendali jika berdekatan dengannya?

"Ya, tidak apa-apa, ahjussi. Lagipula ini tempat umum jadi kau bisa duduk di mana pun kau mau," jawabku agak kaku.

''Kau manis sekali. Namaku Cho Kyuhyun, ngomong-ngomong siapa namamu?'' Pria itu mengacak rambutku asal dan tersenyum lembut.

"Na.. namaku Jung Hyemi.''

***

Setelah pertemuan pertama kami, aku terus mendatangi taman ini. Setiap sore aku selalu duduk di bangku usang itu, berharap dapat terus bertemu dengannya. Ini aneh, tidak masuk akal ketika anak berusia tiga belas tahun jatuh cinta kepada pria yang jauh lebih tua darinya.

Kami beberapa kali bertemu di taman ini, hal itulah yang membuat aku lama kelamaan dekat dengannya. Kami bahkan sering lupa waktu jika sudah berbincang mengenai apapun.

Usia kami memang berbeda sebelas tahun, namun jika kau berpikir aku adalah anak kecil yang tidak mengerti urusan orang dewasa, kau salah besar. Nyatanya ibuku sebagai orang tua tunggalku mendidikku menjadi dewasa sebelum waktunya, tentu saja dalam hal positif.

Mari kita lupakan sejenak tentang Kyuhyun, ya ngomong-ngomong aku tidak pernah menyebutnya ahjussi setelah pertemuan pertama kami.

Apakah aku pernah bercerita tentang keluargaku? Kurasa belum, seharusnya aku menceritakannya di awal, tapi aku lupa karena pikiranku terlalu penuh dengan pria yang tingginya mencapai seratus delapan puluh sentimeter itu.

Aku sekarang hanya tinggal dengan ibuku karena ayahku sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika umurku masih delapan tahun. Aku selalu kesepian di rumah karena ibu adalah orang yang sibuk, ibu bekerja menjadi sekretaris di sebuah perusahaan besar bernama Respledent, salah satu perusahaan terbesar di Korea yang bergerak dalam bidang properti.

Ibu selalu bekerja keras agar memenuhi kebutuhanku, aku mengerti itu. Pernah aku berpikir kenapa ibu tidak menikah lagi saja? Jadi dia tidak perlu bekerja lagi, hanya ayah saja yang bekerja nantinya. Tapi beliau selalu bilang kepadaku bahwa mungkin saja suatu hari nanti ia akan menikah, hanya kemungkinan.

IncessantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang