JANGAN VOTE, JANGAN KOMEN, JANGAN DIMASUKIN READING LIST!!!
AWAS MATURE, NON-CON, DUB-CON
-----------------------------------
Egalita
Entah berapa lama kuhabiskan dengan upaya putus asa untuk mencakar dan memukuli lengan Theo, namun pria itu dapat menangkisnya dengan mudah. Terengah, aku berhenti melawan dan meringkuk di kursiku. Theo tidak terlihat terpengaruh sedikitpun, pandangannya lurus ke depan. Tangannya memegang kemudi, kakinya menginjak pedal gas membawa mobil yang kami tumpangi meluncur cepat.
Mobil yang dikendarai Theo berbelok ke sebuah kompleks bangunan yang menyerupai apartemen, terus masuk melewati palang otomatis menuju ke parkiran bawah tanah. Theo mengendarai mobil itu hingga sampai ke titik blindspotyang tersembunyi dari kamera CCTV di balik jajaran mobil-mobil yang terparkir. Mungkin lokasi itu adalah tempat parkir pribadi miliknya, atau Theo sengaja memilihnya agar tersembunyi dari pandangan orang seandainya ada mobil yang melintas.
"Theo..."
"Please Ega, jangan melawan. Aku butuh kamu."
"Sadar Kak, mama baru aja nggak ada. Masa kamu tega?" Mengamatinya melepaskan sabuk pengaman, aku semakin meringkuk ke pojok pintu mobil. Tanpa ragu kugunakan semua kartu yang kumiliki. Mengingatkan laki-laki itu bahwa ia adalah kakakku walau bukan sedarah, membawa Firda ke dalam percakapan kami, berusaha membuat Theo ingat bahwa tidak ada kepantasan dalam hasratnya atas diriku.
"Ega, kamu bisa pilih. Mau di atas atau di sini."
"Kak..."
Senyum Theo mengembang tipis mendengarnya. "Kamu selalu panggil aku 'kak' kalau lagi ada maunya."
"Ya pasti! Aku mau kamu berhenti! Jangan kak! Ega nggak mau lagi!"
"Kamu pilih. Mau di atas atau di sini?"
Theo melepas sabuk pengamanku, tidak terpengaruh sedikitpun oleh pukulan di dadanya. Aku menggeram frustrasi, mencakar wajahnya hingga kacamata Theo terjatuh ke bawah memperlihatkan lingkaran iris matanya yang hitam legam. Hasrat menguasai tatapan matanya, membuat bulu kudukku merinding. Kalau saja aku bisa melihat bola mata Theo ketika kakak tiriku itu menjemputku di bandara, aku tidak akan pernah mau sukarela masuk ke dalam mobil yang sama dengannya. Wajahnya terlihat gila, matanya menggelap. Ekspresinya terlalu familiar, mengingatkan aku pada malam-malam ketika Theo menyelinap masuk ke dalam kamarku untuk menunaikan gairahnya dulu.
Beringas.
Brutal.
"Di sini ya kalo gitu," ujar Theo. Ketenangan dan rautnya yang kalem membuatku nyaris gila karena sama sekali tidak ada yang wajar dari situasi ini.
Lengan Theo terulur dan hanya dalam beberapa detik punggung kursiku turun rebah. Theo bergerak maju, meraih daguku dan menyatukan bibir kami. Tiga tahun tak bersua, permukaan bibirnya terasa begitu asing sekaligus familiar. Ciumannya, lidah Theo merayap masuk memaksa, menjelajah yang bukan miliknya. Kugigit bibir Theo keras hingga rasa metalik darahnya terasa pekat memenuhi indera pengecap dan penciumanku.
"Ow."
Geraman terdengar dari bibir merah tipis yang selalu menghantui mimpi burukku. Theo menyatukan bibir kami lagi dan memagut bibirku tanpa peduli konsekuensi apapun, mengambil apa yang diinginkannya tanpa ragu.
Terengah, aku sedikit pusing ketika Theo membungkuk dan menyeberang ke belakang sambil menarik tubuhku bersamanya. Meskipun sempit, manuver Theo dan kekuatan lengannya menyebabkan aku berhasil dipindahkan ke jok belakang meski susah payah. Ketika kami selesai nanti, jelas bakal ada lebam di sana-sini.